x

Bicara

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 20 Desember 2023 07:32 WIB

Tidak Bisu dan Tuli Hanya Saat Dirinya Membutuhkan?

Di zaman ini, justru akan membuat kita bingung, bila yang normal, mampu berbicara dan mendengar, tidak pura-pura bisu dan tuli saat ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanggung jawab, hingga kewajibannya. Lazimnya, tentu akan pura-pura bisu dan tuli. Dari rakyat jelata hingga elite di negeri ini, mudah diidentifikasi, siapa para aktor dan aktris yang tabiatnya seperti itu. Tetapi, saat dirinya sendiri yang meminta bantuan, meminta tanggung jawab, meminta kewajiban dari orang lain, bisu dan tuli tidak disandangnya lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bersyukurlah menjadi manusia yang sejak lahir sampai mati, dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi secara normal karena beragama, berbudi, dan berbudaya. Lebih bersyukur lagi, bila menjadi manusia yang normal, tidak bisu-tuli. Maka, gunakanlah kenormalan itu untuk berkomunikasi dengan bahasa manusia yang penuh sopan-santun dan etika, dalam komunikasi di berbagai ruang. Yang bisu dan tuli saja ingin diberikan kenormalan agar dapat berbicara dan mendengar. Tetapi mengapa yang dapat berbicara dan mampu mendengar, malah banyak yang pura-pura bisu dan tuli? Tidak bertanggung jawab, pura-pura tidak membaca informasi, pura-pura tidak tahu, tetapi langsung tidak bisu dan tuli saat ada hal yang menguntungkan dirinya sendiri. (Supartono JW.19122023)

Di zaman ini, justru akan membuat kita bingung, bila yang normal, mampu berbicara dan mendengar, tidak pura-pura bisu dan tuli saat ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanggung jawab, hingga kewajibannya. Lazimnya, tentu akan pura-pura bisu dan tuli. Dari rakyat jelata hingga elite di negeri ini, mudah diidentifikasi, siapa para aktor dan aktris yang tabiatnya seperti itu. Tetapi, saat dirinya sendiri yang meminta bantuan, meminta tanggung jawab, meminta kewajiban dari orang lain, bisu dan tuli tidak disandangnya lagi. Sepanjang manusia hidup di dunia, panggung dramanya, ada satu ruang atau lingkup yang membatasi manusia. Ruang atau lingkup itu adalah komunikasi. Sementara untuk komunikasi dan berkomunikasi, manusia sudah pasti menggunakan bahasa.

Dapat dibayangkan bila manusia hidup di dunia tidak ada bahasa untuk dapat saling berkomunikasi hingga sampai pada titik ada budaya komunikasi di kehidupan menusia dengan menggunakan bahasa. Dari lahir, hidup, mati, semua terus ada komunikasi. Sesuai fitrahnya, manusia lahir ke dunia sudah dibekali dan membawa tanda-tanda. Tanda-tanda itu adalah, saat baru lahir bayi akan memberi isyarat dengan tangisan. Tangisan bayi ini, menjadi hal yang sangat ditunggu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semua awalnya menunggu sang buah hati dengan ada perasaan cemas, berikutnya ada rasa haru, hingga berujung bahagia. Namun, ada juga pihak keluarga yang cemas dan gundah, tatkala setelah sekian lama menunggu, ternyata tidak juga terdengar sang buah hati menangis. Saat bayi lahir, kemudian tidak menangis, akan ada upaya dari yang membantu kelahiran, seperti dukun bayi/paraji/bidan/dokter, menepuk-nepuk agar si bayi bisa menangis. Bila pada akhirnya bayi tetap tidak menangis, maka itu pun bagian dari rencana Tuhan untuk kehidupan di dunia. Namun, terkait komunikasi, baik bayi yang dapat menangis setelah lahir atau bisu/tuli, semua dalam kehidupan ini akan ada jalannya masing-masing.

Baik dapat berkomunikasi karena lahir normal atau ada kendala bisu dan tuli, maka dalam berkomunikasi tetap ada cara dan etikanya. Bayi yang kemudian menjadi anak, remaja, dewasa, hingga menjadi orangtua, terus membekali dirinya dengan bahasa untuk berkomunikasi dengan ruang lingkupnya, baik yang normal atau tidak. Tentunya ada yang belajar berkomunikasi melalui jalur pendidikan keluarga, sekolah, perguruan tinggi, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat, dll. Sehingga kemampuan berbahasanya akan menyesuiakan dengan situasi dan kondisi lingkungannya.

Karenanya, bersyukurlah bagi manusia yang sejak lahir ke dunia, sudah dianugerahi kehidupan normal, dapat menangis yang pada akhirnya mampu berbicara dengan bahasa untuk berkomunikasi di kehidupan nyata. Saat manusia menginggalkan dunia ini (mati), menghadap Tuhan, sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, maka saat di alam kubur, manusia juga akan kembali menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan terhadap apa yang telah diperebuatnya di dunia. Ada amal baik dan perbuatan tidak baik yang ditimbang, juga menggunakan komunikasi dengan bahasa. Dengan demikian, harus selalu kita sadari bahwa komunikasi adalah hajat dan kehidupan manusia.

Manusia mengawali hidup di dunia dengan komunikasi bahasa (bayi lahir menangis atau tidak menangis). Menjalani kehidupan dengan komunikasi bahasa. Mengakhiri kehidupan di dunia dengan komunikasi bahasa. Di alam kubur pun tetap ada komunikasi bahasa. Jadi, selalu bersyukurlah menjadi manusia yang sejak lahir sampai mati nanti, tetap dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi secara normal karena beragama, berbudi, dan berbudaya. Lebih bersyukur lagi, bila menjadi manusia yang normal, tidak bisu-tuli.

Maka, gunakanlah kenormalan itu untuk berkomunikasi dengan bahasa manusia yang penuh sopan-santun dan etika, dalam komunikasi di berbagai ruang. Yang bisu dan tuli saja ingin diberikan kenormalan agar dapat berbicara dan mendengar. Tetapi mengapa yang dapat berbicara dan mampu mendengar, malah banyak yang pura-pura bisu dan tuli? Tidak bertanggung jawab, pura-pura tidak membaca informasi, pura-pura tidak tahu, tetapi langsung tidak bisu dan tuli saat ada hal yang menguntungkan dirinya sendiri.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler