Pencopotan Ketua Tanfidiyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) KH. Marzuki Mustamar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menuai pendapat beragam dari berbagai pihak. Pelengseran tersebut membuat kepercayaan warga Nahdliyin kepada elit NU menurun.
Hal ini didasarkan akan banyaknya opini yang menganggap bahwa pencopotan tersebut karena adanya pandangan politik antara PBNU dan KH. Marzuki Mustamar, namun PBNU membantah kabar yang beredar tersebut.
Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) kini tengah berada di persimpangan politik yang terbilang cukup rumit. Dinamika politik yang kian meruncing di tubuh PBNU membuat para elitnya gusar akan keputusan yang dibuatnya sendiri.
Bahkan, para pimpinan PBNU satu persatu mencutikan diri demi bisa ikut andil dalam pusaran politik elektoral. Hal ini menjadi kebingunan tersendiri di internal NU yang sebelumnya menyatakan bahwa NU secara kelembagaan tidak memihak siapapun dalam kontestasi politik Indonesia.
Namun, rasa-rasanya aktor-aktor elit PBNU tidak bisa dilepaskan dari politik praktis. Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarkatan NU tidak bisa dilepaskan dari politik. Bahkan, NU pernah menjadi partai politik yang ikut dalam pemilu. embrio tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa NU dan politik adalah mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Meski, politik d isini tidak sepenuhnya dimaknai sebagai politik praktis saja. Dari latar historis tersebut jika NU hari menyatakan sikap tegas tidak ikut andil dalam politik akan membingungkan internal NU sendiri.
Mengingat jumlah jamaah yang cukup besar dan selalu diperebutkan suaranya saat pemilu. maka sikap lentur dan dinamis dalam politik bisa jadi jalan tengah hari ini.
Ikuti tulisan menarik Muhammad Rizal Firdaus lainnya di sini.