https://www.indonesiana.id/read/171609/manunggaling-kawula-lan-gusti-melalui-jumat-agung-dan-paskah
Peran Pemerintah dan Budaya Terhadap Alasan Perceraian
Senin, 3 Juni 2024 08:40 WIB
Perceraian sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya. Trias Politika sepatutnya merangkul kekuatan budaya sebagai partner perubahan. Rakyat yang berkualitas dan berkesejahteraan, adalah pemerintah yang berhasil.
Sosiologi menyimpulkan bahwasanya budaya terdiri dari unsur-unsur nilai, pandangan, kepercayaan, sistem bahasa, komunikasi serta praktik-praktik dimana suatu masyarakat memiliki kesamaan makna yang dihidupi bersama sehingga menghasilkan produk kebiasaan dan benda yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Dapat diartikan budaya adalah aturan yang “tidak tertulis” dalam suatu masyarakat. Sehingga dapat menjadikan budaya sebagai “hukum” tertua tidak tertulis. Lebih tua daripada hukum tertulis tertua didunia yang ditoreh pada batu Hammurabi, dimana tentang perceraian adalah penting untuk diatur.
Indonesia diberkati dengan keberagaman budaya yang diwarisi turun-termurun. Paling menonjol adalah rembukan adat untuk menyelesaikan masalah. Namun faktor budaya turut pula mempengaruhi munculnya alasan perceraian. Peran pemerintah tidak saja terkait dengan azas keadilan lewat perangkat hukumnya, tetapi bagaimana pemerintah menghasilkan fungsinya untuk melindungi masyarakat dari pengaruh-pengaruh yang merugikan.
Penting untuk merangkul masyarakat adat sebagai rekan pembangunan yang merupakan salah satu fungsi struktural yang telah hadir sejak dulu di tengah-tengah masyarakat dan mengerti kondisi sesungguhnya serta memiliki kekuatan menggerakkan massa.
Pada artikel sebelumnya, Madat menjadi salah satu alasan perceraian. Artinya ada akses narkoba disekitar masyarakat. Alasan cerai lainnya adalah Judi. Meski kedua alasan ini telah diatur dalam undang-undang namun masih tersedia ditengah-tengah masyarakat. Bahkan, Judi dan Madat muncul dalam kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa yang keduanya adalah perwira tinggi dalam institusi penegakan hukum Indonesia, sehingga cukup melemahkan kepercayaan masyarakat.
Grafik-grafik berikut, memaparkan Alasan Perceraian pada tingkat provinsi. Banyak yang bisa di analisa untuk melakukan intervensi yang efektif-efisien terhadap masyarakat. Data Alasan Perceraian ini adalah bukti empirik adanya mal-fungsi sehingga timbul korban yang artinya dana pembangunan tidak digunakan efisien.
Adakah Pengaruh Budaya Dalam Memicu Perceraian?
Alasan yang dipengaruhi oleh budaya cukup pelik rencana penanganannya. KDRT tertinggi terdapat di Jawa Timur, yang menyebabkan 1577 perceraian tahun 2022. Sementara provinsi lain “hanya” menyebabkan ratusan perceraian.
Saya mengira “Mabuk” tertinggi terdapat di wilayah Timur, Tengah dan Sumatra Utara, namun angka tertinggi berada di Jawa Timur. Mungkin, budaya berperan menyelamatkan perceraian pada alasan “Mabuk”. Tuak sendiri, sudah hadir di masyarakat Batak sejak lama dan mungkin menjadi salah satu unsur wajib dalam kegiatan “Paradaton” disamping Ulos, Jambar, dan Parhataon. Kelihatannya pun tuak menjadi salah satu “tanda” pergaulan ditengah-tengah masyarakat Batak.
Hal ini mengingatkan saya pada suatu perjalanan tahun 2008 ke Tuk Tuk Siadong, daerah wisata terkenal di Pulau Samosir, kampung saya. Sembari menunggu mujair bakar sambal andaliman kesukaan saya untuk diner, saya berjalan kearah seorang ibu paruh baya yang berdagang jagung bakar dipinggir jalan. Singkat cerita, inang itu mengatakan kalau suaminya suka minum. “Boha baenokku, nga songoni do ibana”, yang artinya “Kek mana mau kubikin, sudah kek gitu dia” ketika saya menyinggung “cerai”.
Alasan-alasan seperti Mabuk, Judi, Madat, KDRT, Zina, termasuk Dihukum Penjara adalah rangkaian alasan yang bisa berkaitan. Muncul dan saling memicu bertubi-tubi.
Alasan lain yang bisa dikaitkan dengan budaya adalah “Kawin Paksa”. Tetapi Kawin Paksa ini bisa pula muncul karena didorong oleh alasan Ekonomi, Judi, Madat dan Mabuk. Apakah Kawin Paksa dapat dikategorikan sebagai Perdagangan Manusia? Artinya ini melanggar HAM. Tetapi ketika berada dalam konteks budaya, cukup sensitif untuk menangani. Disamping itu ada faktor tidak meratanya pendidikan dengan “payung masalah” yang dipalu dengan kondisi daerah yang dikategorikan oleh pemerintah sebagai “daerah tertinggal”. Tetapi kemudian pertanyaannya mengapa bisa menjadi daerah tertinggal ketika pembangunan tidak lagi sentralisasi dan APBD dikelola oleh masing-masing daerah lewat mekanisme needs assessment yang merangkul semua golongan masyarakat. Mengapa dikatakan daerah tertinggal ketika Trias Politika memiliki fungsi pengawasan, perencanaan, penganggaran seperti DPRD dan BAPPEDA? Apa sih masalah sesungguhnya?
Masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya patrilinealnya turut andil dalam mengakibatkan perceraian dengan alasan “Kawin Paksa”. Perempuan harus patuh, bukan? Ironisnya, ada pula kasus dimana perempuan dikorbankan bagai barang dagangan ketika Judi, Madat dan Mabuk mengalahkan hati nurani.
Kawin Paksa tertinggi terdapat di Jawa Timur (178), Jawa Tengah (70), Sulawesi Selatan (36) dan Jawa Barat (26). Provinsi lain dibawah 10. Jika pemerintah berniat melakukan intervensi komprehensif, data Kawin Paksa perlu dilengkapi dengan keterangan “dibawah umur”.
Coba perhatikan Grafik untuk Maluku, Papua, NTB dan NTT dibawah ini. Apa yang menarik untuk dibahas? KDRT melejit 307 kasus di NTB.
Bagaimana dengan nilai-nilai keagamaan? Apakah agama turut andil dalam memicu perceraian? Pastinya tidak, meskipun terdapat Murtad dan Poligami. 5 perceraian tertinggi dengan Alasan Poligami terjadi di Jawa Barat (166), Jawa Timur (141), Jawa Tengah (69), Sulawesi Selatan (68), Aceh (57).
Ada Apa Dengan 3 Alasan Perceraian Tertinggi yang terjadi merata di seluruh provinsi?
Lari Dari Pasangan, menyisakan sakit mungkin tanpa usai, karena tidak ada “closure”. Pertanyaan “mengapa” itu tidak pernah terjawab.
Tetapi dalam Terus Bertengkar ada ekspresi kata-kata yang memuaskan namun meletihkan jiwa-raga, dan merupakan bentuk KDRT verbal dan tidak mustahil disertai pula dengan physical abuse. Mertua, ipar, teman, “I always know, not you”, berpotensi menjadi sebab Terus Bertengkar.
Ekonomi Bukan Alasan Signifikan Untuk Bercerai?
Sekali lagi, mungkin budaya berperan dalam mempertahankan rumah-tangga. Seluruh provinsi ber-angka relatif “stabil” (dibawah 600), kecuali Lampung (2,438) dan KalTim (1,101). Grafik berikut menjelaskan fenomena bahwa "ekonomi bukan alasan signifikan untuk bercerai".
Grafik penutup berikut mestinya dibandingkan dengan total pasangan berkeluarga yang didata di tiap provinsi. Karena data belum ditemukan, maka dibandingkan dengan total penduduk di provinsi tersebut.
Trias Politika perlu mendata jumlah rumah-tangga di provinsi. Sistem e-KTP yang mengorbankan trilyunan dana, perlu dimaksimalkan agar terbukti efisien dan tentu menjadi sumber empirik untuk melakukan analisa.
Mengingat kesibukan terkait IKN, tumpukan korupsi, dan terkini Tapera yang disinyalir "saweran" rakyat swasta untuk keberlangsungan Trias Politika, maka sebelum menikah lalu bercerai, tanyakan dirimu: “Apakah Aku Siap Membina Rumah Tangga?”.
#SosiologiKeluarga #FamilyPlanning #KetahananKeluarga #AdatNusantara

Penulis Indonesiana | HUPOMONE | May you be healed from things no one ever apologized for | May you win all the silent battles you dont talk about
1 Pengikut

Aung San Suu Kyi, Is It Worthy Losing Half-Souls Over Nation?
Jumat, 8 Agustus 2025 06:13 WIB
Ghosts of the Unburied: The Echo of Japan’s Unatoned Sexual Slavery Crimes
Sabtu, 26 Juli 2025 06:26 WIBArtikel Terpopuler