Praktisi ISO Management System and Compliance
Jakarta Tersandera Ketika Waktu Hidup Dihitung dalam Jam Macet
6 jam lalu
Setiap hari, warga Jakarta kehilangan rata-rata dua jam karena macet. Ini bukan hanya soal jalan penuh — tapi soal sistem yang gagal.
***
Pukul 21.48. Mobil saya terjebak di tol Jagorawi, hanya tiga kilometer dari rumah. Google Maps, yang biasanya jadi penolong, kini menertawakan saya: “Perkiraan tiba: 00.05.” Lima jam perjalanan dari kantor ke rumah. Bukan karena saya kerja lembur. Tapi karena Jakarta telah lama menyandera waktu hidup warganya.
Di kursi belakang, anak saya tertidur pulas. Ia sudah melewatkan makan malam, mandi, dan ritual baca buku sebelum tidur — rutinitas kecil yang dulu menjadi fondasi kedekatan kami. Kini, semua itu dikorbankan demi kemacetan yang tak pernah berakhir.
Saya tidak sendiri. Setiap hari, rata-rata warga Jakarta kehilangan 2 jam hanya untuk perjalanan bolak-balik kerja. Data INRIX Global Traffic Scorecard 2024 mencatat, angka itu setara dengan 417 jam per tahun — lebih dari 17 hari penuh yang hilang dalam hidup setiap orang. Waktu yang bisa digunakan untuk berkarya, belajar, atau sekadar bernapas.
Tapi kita terus membangun jalan. Tol Cengkareng-Batang, Japek Layang, Cimanggis-Cibitung — proyek demi proyek diluncurkan dengan janji: “Ini akan mengurai kemacetan.”
Padahal, fakta menunjukkan sebaliknya.
Studi dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) 2023 membuktikan: setiap penambahan 10% kapasitas jalan, hanya menunda kemacetan selama 6–12 bulan. Mengapa? Karena semakin banyak jalan, semakin banyak orang yang memilih naik mobil — fenomena yang disebut induced demand. Kota kita bukan lagi ibu kota. Ini adalah ibu kota mobil.
Transportasi Umum: Ada, Tapi Tak Diutamakan
Transjakarta, MRT, LRT — nama-nama ini sering muncul dalam pidato pejabat sebagai simbol kemajuan. Tapi bagi penggunanya, realitasnya berbeda.
Transjakarta padat, tak nyaman, dan jalurnya sering terganggu kendaraan lain. MRT hanya menjangkau segelintir wilayah elit. LRT masih terbatas dan belum terintegrasi. Sementara itu, hanya 28% warga Jakarta yang menggunakan transportasi umum (BPS, 2024). Artinya, 72% bergantung pada kendaraan pribadi — motor, mobil, ojek online — yang justru memperparah kemacetan.
Bayangkan jika 72% penumpang Commuter Line tiba-tiba beralih ke mobil pribadi. Jakarta akan lumpuh total dalam hitungan jam.
Di Seoul, bus koridor memiliki jalur eksklusif dan dipantau secara real-time. Di Amsterdam, lebih dari 60% perjalanan harian dilakukan dengan sepeda atau angkutan umum. Di Bogotá, sistem TransMilenio mengangkut 2,4 juta penumpang per hari tanpa rel, dengan biaya operasional yang jauh lebih rendah daripada MRT.
Apa bedanya dengan Jakarta?
Politik prioritas.
Kita membangun kota untuk mobil, bukan untuk manusia.
Solusi yang Tertunda, Janji yang Terus Diputar
Pemerintah kerap menjawab krisis kemacetan dengan solusi teknokratis: elevated road, ganjil-genap, rekayasa lalu lintas. Itu penting, tapi tidak cukup.
Yang dibutuhkan adalah transformasi paradigma:
- Prioritas Mutlak untuk Transportasi Umum
-Jalur eksklusif untuk bus dan MRT/LRT.
-Integrasi tarif dan aplikasi digital (satu kartu untuk semua moda).
-Frekuensi tinggi, kebersihan, dan kenyamanan yang dijamin. - Pembatasan Kendaraan Pribadi
-Perluasan ganjil-genap hingga akhir pekan.
-Penerapan road pricing (bayar saat masuk zona macet), seperti di Singapura.
-Insentif bagi perusahaan yang menerapkan remote work atau flexi time. - Kota Ramah Pejalan Kaki & Sepeda
-Trotoar lebar, teduh, dan aman.
-Jalur sepeda terhubung antarwilayah.
-Program bike-sharing publik. - Desentralisasi Pusat Aktivitas
-Kurangi ketergantungan pada CBD (Central Business District).
-Bangun pusat ekonomi lokal di tiap wilayah, agar warga tidak harus ke pusat kota.
Program-program ini bukan mimpi. Mereka sudah berhasil di negara lain. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian politik dan komitmen jangka panjang — bukan pencitraan jangka pendek.
Penutup: Waktu Hidup Bukan Barang Murah
Ketika lampu merah menyala, dan saya melihat sopir angkot menatap lurus ke depan, matanya sayu, usianya mungkin 50-an, saya bertanya: Berapa banyak waktu hidupnya yang telah hilang di kemacetan?
Ia bekerja 12 jam sehari, hanya untuk membawa pulang uang yang pas-pasan. Tapi separuh harinya habis di jalan. Ia tidak punya pilihan. Seperti jutaan warga Jakarta lainnya.
Kemacetan bukan sekadar soal jalan penuh. Ia adalah soal keadilan sosial, produktivitas nasional, dan hak atas waktu hidup.
Kita tidak butuh lebih banyak jalan. Kita butuh kota yang berpihak pada manusia.
Karena waktu hidup warga Jakarta terlalu berharga untuk dihabiskan di kemacetan.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Artikel Terpopuler