Transformasi Pola Makan dan Kesehatan Publik di Era Fast Food dan Minuman Manis

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Transformasi Pola Makan dan Kesehatan Publik di Era Fast Food dan Minuman Manis
Iklan

Makanan cepat saji dan minuman manis bukan sekadar konsumsi, melainkan simbol kemudahan hidup modern.

***

Wacana ini ditulis oleh Zahra Aliyah Verisah, Luthfiah Mawar M.K.M., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Dalam sebuah wawancara mendalam dengan sejumlah remaja dan orang tua di kota besar Indonesia, terungkap bahwa pilihan makanan sehari-hari seringkali lebih dipengaruhi oleh kepraktisan dan citra modern daripada pertimbangan kesehatan. Seorang ibu berusia 38 tahun menuturkan, “Kadang lebih mudah membelikan anak makanan cepat saji karena waktunya terbatas, daripada harus menyiapkan makanan di rumah setelah seharian bekerja.”

Ungkapan ini mencerminkan realitas yang semakin lazim di masyarakat urban: makanan cepat saji dan minuman manis bukan sekadar konsumsi, melainkan simbol kemudahan hidup modern. Namun, di balik citra praktis dan modernitasnya, konsumsi berlebihan dari produk ini memunculkan ancaman serius terhadap kesehatan publik, terutama jika pola ini berlanjut dalam jangka panjang (Susilawati, 2022).

 

Daya tarik utama makanan cepat saji memang terletak pada kenyamanannya. Di tengah kehidupan perkotaan yang bergerak cepat, banyak individu memilih makanan siap saji karena alasan waktu dan biaya. Harga yang relatif terjangkau membuatnya mudah diakses, bahkan bagi pelajar dan mahasiswa, sementara iklan yang masif melalui televisi, media sosial, dan aplikasi daring menanamkan persepsi bahwa produk-produk ini bagian dari gaya hidup modern. Secangkir kopi susu manis, boba, atau soda dingin kini menjadi bagian rutinitas, seolah kehadirannya tak terpisahkan dari identitas urban, sementara rasa asin, gurih, dan manis yang adiktif semakin memperkuat keterikatan konsumennya (Wicaksari, 2023).

 

Namun, konsekuensi kesehatan dari pola konsumsi ini jauh dari sepele. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi jangka panjang makanan cepat saji dan minuman manis meningkatkan prevalensi obesitas, terutama pada anak-anak dan remaja. Kandungan kalori tinggi, lemak tidak sehat, dan gula berlebihan mendorong akumulasi energi yang sulit dibakar oleh tubuh, sehingga risiko penyakit metabolik meningkat secara signifikan (Harahap, 2025). Selain obesitas, konsumsi gula berlebih juga memperbesar risiko penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung. Gula yang dikonsumsi berlebihan dapat memicu peradangan kronis, melemahkan sistem imun, dan mempercepat proses penuaan sel (Ahsan dkk, 2025).

 

Dampak ini bahkan lebih terlihat pada anak-anak, yang mudah tergoda oleh camilan manis dan minuman bergula tinggi. Akibatnya, mereka lebih rentan mengalami kerusakan gigi, penurunan energi, dan kesulitan berkonsentrasi di sekolah. Kebiasaan ini, jika tidak dikoreksi sejak dini, dapat menimbulkan pola makan yang buruk hingga dewasa, meningkatkan risiko penyakit kronis di masa produktif (Febriyanti dkk, 2023).

 

Selain dampak individu, pola makan ini juga membawa implikasi ekonomi. Biaya pengobatan penyakit akibat konsumsi makanan cepat saji dan minuman manis terus meningkat, menimbulkan beban finansial baik bagi individu maupun sistem kesehatan nasional. Dengan kata lain, pilihan pola makan tidak sehat tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga membebani ekonomi masyarakat dan pemerintah (Costlow, 2025).

 

Beberapa faktor memperkuat kerentanan masyarakat Indonesia terhadap pengaruh makanan cepat saji dan minuman manis. Pertama, edukasi gizi yang belum memadai membuat banyak orang kurang memahami risiko gula, lemak, dan garam berlebih dalam tubuh (Islam & Sim, 2021). Kedua, regulasi periklanan makanan tidak sehat masih longgar, sehingga anak-anak mudah terpapar iklan tanpa peringatan yang jelas. Ketiga, keterbatasan waktu di perkotaan mendorong masyarakat lebih memilih makanan siap saji dibandingkan memasak di rumah, karena opsi sehat yang cepat dan murah masih terbatas. Alhasil, makanan cepat saji dan minuman manis menjadi pilihan utama karena mudah diakses di mana saja (Eva Susanti & Putri, 2022).

 

Meski demikian, peluang untuk mengatasi masalah ini tetap terbuka. Pada tingkat individu, membatasi konsumsi makanan cepat saji dan minuman manis, serta menggantinya dengan air putih atau jus tanpa gula, adalah langkah sederhana namun berdampak besar. Keluarga memiliki peran strategis dalam membentuk kebiasaan makan anak-anak, mendorong kecintaan terhadap sayur, buah, dan makanan rumahan agar pola sehat melekat hingga dewasa. Pemerintah, di sisi lain, perlu memperkuat regulasi: membatasi kandungan gula, mengenakan pajak minuman manis, meluncurkan kampanye edukasi gizi berskala besar, dan membatasi iklan makanan tidak sehat, terutama yang menyasar anak-anak. Penyediaan ruang publik sehat dan akses terjangkau terhadap makanan bergizi juga menjadi intervensi penting (Febriyanti dkk, 2023).

 

Gerakan kolektif masyarakat juga dapat mengembalikan popularitas makanan lokal sehat. Tren gaya hidup sehat, seperti mengonsumsi salad, smoothie buah, dan hidangan tradisional bergizi, dapat menjadi alternatif bagi dominasi makanan cepat saji dan minuman manis. Konsumsi makanan cepat saji sesekali tidak menjadi masalah, tetapi jika dijadikan kebiasaan harian, risiko kesehatan meningkat secara signifikan. Menjaga pola makan sehat bukan hanya bermanfaat bagi tubuh, tetapi juga merupakan investasi untuk kualitas generasi masa depan (Stanley dkk, 2025).

 

Secara ilmiah, makanan cepat saji mengandung kalori tinggi, lemak tidak sehat, dan garam berlebihan, sementara serat dan vitamin yang diperlukan tubuh sangat minim. Minuman manis seperti soda, teh botol, dan minuman berenergi menambahkan gula tanpa nilai nutrisi. Kombinasi keduanya menciptakan konsumsi kalori tinggi tanpa nutrisi seimbang, meningkatkan risiko obesitas, hipertensi, dan penyakit jantung di kemudian hari (Popkin, 2022).

 

Maka, perubahan pola makan menjadi sebuah urgensi nasional. Kesadaran untuk memilih makanan sehat, meminimalkan konsumsi cepat saji dan minuman manis, dan menanamkan kebiasaan sehat sejak dini bukan sekadar tindakan personal, melainkan investasi kolektif bagi kesehatan generasi mendatang. Keputusan yang tampak sederhana hari ini akan menentukan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat di masa depan. Kesehatan publik adalah modal sosial yang tak ternilai, dan menjaga pola makan adalah jalan strategis menuju bangsa yang lebih kuat dan tangguh.

 

Corresponding Author: Zahra Aliyah Verisah ([email protected] )

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler