Aktivitas Bela Negara, kok, Hanya Dibatasi Kegiatan Baris-berbaris

Senin, 15 Juli 2024 20:30 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tata Kelola Negara
Iklan

Pembatasan konsep bela negara hanya sebatas bisa melakukan kegiatan PBB. Skeptisisme ini cukup sempit mengenai seseorang untuk membela Negara.

Pembatasan konsep bela negara hanya sebatas bisa melakukan kegiatan PBB,
Skeptisisme ini cukup sempit mengenai seseorang untuk membela Negara
”. 

    Tulisan ini tidak memiliki maksud untuk mendiskreditkan aktivitas kegiatan (Peraturan Baris-Berbaris) PBB. Tulisan ini hanya mempertanyakan mengenai konsep Bela Negara yang tidak dibelenggu oleh kanal-kanal kaku hampir bersifat militeristik. Kanal kaku semestinya harus diluweskan dengan konsep-konsep Bela Negara yang lebih bersifat aksidental dan bersifat aksiomatif untuk memaknai aksi membela suatu negara.

     Sebelum membahas mengenai terms Bela Negara, maka lebih baik kita mulai dengan konsep definisi negara dari para pendiri bangsa terdahulu. Menurut Tan Malaka negara merupakan tempat masyarakat untuk bebas dari perbudakan kolonialisme melalui usaha dengan mempergunakan pikiran rasional. Tan Malaka juga menjelaskan terkait konsep negara sebagai manifestasi dari pertentangan kelas atau pembelaan ketidak adilan masyarakat kalangan bawah. Konsep negara menurut Sutan Syahrir negara yang ideal harus berlandaskan berdasarkan pemikiran paradigma humanistik ( kemanusiaan) agar tidak mengarah pada fasisme dan chauvinistik. 

   Konsep negara menurut Soekarno dari asas sosio nasionalisme, negara berkelindan dengan nasionalisme yang menyangkut masalah masyarakat, berusaha mencari keselamatan bagi segenap masyarakat. Menurut Mohammad Hatta, negara adalah negara yang berbentuk republik bersendikan masyarakat tanpa diskriminasi dengan sistem desentralisasi. 

    Secara epistemologi negara merupakan organisasi institution yang memiliki keteraturan di dalamnya melalui sistem-sistem desentralisasi yang diperluas dengan menegakkan keadilan masyarakat secara humanistik, untuk tidak mengarah kepada dehumanisasi. Pengertian konsep tersebut memberikan abstraksi berpikir mengenai apa itu negara, sehingga menjadikan alasan masyarakat Indonesia untuk terlibat membela sebuah negara. 

    Membela negara ditanamkan kepada seluruh masyarakat Indonesia melalui berbagai cara dan metode penyebaran. Salah satu cara yang dilakukannya yakni mewajibkan setiap warga negara ikut serta dalam upaya kegiatan aktivitas Bela Negara sesuai dengan pasal 27 ayat 3 UUD 1945. Sebenarnya, Apa yang perlu dibela di dalam ruang lingkup negara?. Hingga stakeholder gencar-gencar melakukan kegiatan Bela Negara, meskipun di dalamnya hanya menitik beratkan pada parsialisasi PBB. Hal yang perlu dibela di dalam suatu negara antara lain adalah pertama status kemerdekaan atau kedaulatan negara.

      Kedaulatan memiliki makna arti kekuasaan paling tinggi di suatu negara, jika diartikan secara sederhana, di Indonesia yang memiliki kekuasaan paling tinggi adalah masyarakat karena masyarakat menjadi landasan fundamental untuk menentukan kekuatan Indonesia di bidang apapun mulia dari budaya, ekonomi, hingga politik.

      Kedaulatan rakyat ditetapkan sebagai kedaulatan yang dianut oleh sistem negara. Kedaulatan rakyat sendiri merupakan gambaran sistem negara untuk menghendaki kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Berdasarkan pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yang mengatur bahwa kedaulatan berada dibawah tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.  

     Sementara, saat ini yang memegang secara sublimasi adalah otoritas Pemerintah dari partai-partai dengan maksud dan tujuan tertentu melalui golongan-golongan mereka sendiri. Secara tidak langsung rakyat hanya menjadi tempelan simbol kedaulatan tanpa memiliki power untuk mengekspresikan kekuasaan tertinggi di negara “ bebas mengeksplorasikan makna sebuah negara”. 

     Kedua yang perlu di bela di Indonesia adalah Kesatuan dan kerukunan bangsa. Kerukunan diciptakan oleh kesadaran berpikir mengenai kesamaan identitas mulai dari budaya, agama, dan politik. Dari ketiga identitas tersebut yang paling krusial melemahkan kesatuan dan kerukunan negara adalah politik, mengapa?. Dunia politik sangat bersifat dinamis dan pragmatisme, hal itu terlihat dari sejarah Indonesia mulai dari penumpasan partai politik PKI beserta siapapun yang ikut terlibat secara langsung atau tidak langsung, peristiwa pembungkaman (Orde Baru) Orba mengenai penculikan bagi siapapun yang dianggap membahayakan perpolitikan negara ( situasi negara), hingga saat ini dinamisasi kerukunan tergoyahkan oleh kegiatan-kegiatan politik.

     Kolonialisme dibuat oleh dunia politik untuk menguasai rakyat dan sumber daya negara. Banyak sekali perilaku Pemerintah yang terbentuk dari sistem politik dengan menggerakan aktor pengamanan negara untuk menguasai sumber daya, sehingga menimbulkan perpecahan kerukunan antar masyarakat. Tetapi mengapa yang dijadikan objek pembahasan Bela Negara hanya sebatas kerukunan budaya dan agama, sedangkan politik tidak tersentuh sama sekali?.

      Ketiga yang perlu dibela di Indonesia adalah nilai-nilai budaya Indonesia. Nilai-nilai budaya Indonesia yakni kebiasaan yang diciptakan oleh struktur lingkungan dan kepercayaan masyarakat dalam melaksanakan aktivitas humanisasi. Nilai-nilai tersebut dimulai dari kepercayaan terhadap Tuhan atau keTuhanan. Sejak awal sebelum Indonesia ada semua para nenek moyang atau leluhur Nusantara sudah mengenal konsep berkontemplasi melalui berbagai macam cara. Nilai budaya selanjutnya adalah nilai kemanusiaan.

    Nilai tersebut mengarah terhadap sosialistik tentang bagaimana manusia Indonesia mengartikan kesamaan manusia atau makhluk hidup, untuk bebas mengakses apapun, dan berhak mendapatkan kenyamanan serta keamanan bersama dalam bersosialisasi atau mengekspresikan diri tanpa membahayakan manusia lainnya ( keadilan bersama). Tetapi dalam pembahasan aktivitas konsep Bela Negara, mengapa nilai budaya kemanusiaan dan kesetaraan atas makhluk hidup dikesampingkan? Mengapa hanya nilai keTuhanan yang disinggung secara sederhana, tidak secara mendalam?. 

     Aktivitas Bela Negara selama ini hanya tentang pertahanan suatu negara dengan cara PBB dan game-game, alasan tersebut dilakukan karena melatih kedisiplinan diri. Arti disiplin tidak serta merta harus bersikap tegap dan sempurna, melainkan disiplin untuk bebas berani berpikir, bertanya, berbuat, dan bertindak untuk negara. Tidak dibatasi oleh koridor-koridor patuh, sesekali kita harus berdikari dengan perspektif analisis kita mengenai konsep suatu negara harus seperti apa.

     Perlu adanya uji coba untuk menjalankan kehidupan bernegara. Selama ini masyarakat Indonesia dikendalikan oleh kebiasaan yang tidak dipertanyakan lagi. Seperti kegiatan Bela Negara saat ini, mengapa Bela Negara tidak mengkaji tentang kedaulatan rakyat, Kekacauan masyarakat akibat aktivitas politik, dan nilai humanisme culture ?. Sedangkan, itu semua termasuk kedalam futuristik penguatan membela suatu negara. 

Dinamisasi Konsep Aktivitas Bela Negara.

    Dinamisasi konsep Bela Negara dimulai dengan cara bagaimana masyarakat berbicara soal negara Indonesia. Tidak hanya melakukan kegiatan PBB ( Peraturan Baris Berbaris), meskipun kegiatan tersebut memang positif. Alangkah universal apabila konsep Bela Negara diganti dengan konsep masyarakat berbicara soal negara?.  

     Konsep ini menjadi cara untuk membangun dan membela negara, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih dalam pertumbuhan “ penjadian diri” ( in making) sangat lumrah dan sangat memungkinkan adanya trill-and-error-nya. Keluasan konsep dengan pemantik bagaimana cara masyarakat berbicara soal negara dapat memberikan stimulus pada aktivitas Bela Negara untuk mengkaji mengenai kebebasan berpikir terhadap ideologi negara, budaya, kesetaraan atas hak, dan kekayaan negara.

Dinamisasi Aktivitas Bela Negara.

      Aplikatif kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara terhadap ideologi negara sebagai bentuk dinamisasi aktivitas kegiatan Bela Negara. Kebebasan berpikir merupakan aksiomatif dari konsep demokrasi tentang seseorang bebas mengekspresikan semua pemikirannya tanpa adanya kerugian dari pihak manapun. Selama ini semua konsep-konsep identitas negara selalu diberikan labeling secara paten, oleh mereka-mereka yang memiliki kekuasaan penuh atas otoritas rakyat.

     Labeling tersebut seperti kata “ Final, paten, dan  harga mati”. Secara tidak langsung hal tersebut akan menimbulkan fluktuasi terhadap ideologi itu sendiri, karena masyarakat dilarang mengeksplorasi atau berimajinasi tentang ideologi-ideologi lainnya, seperti sosialisme demokrasi, nasionalisme, liberalisme, marhaenisme, feminisme, bahkan pancasila itu sendiri.

     Seharusnya kata “Final” dihilangkan karena kita perlu mengkaji secara runtut dan mendalam disetiap kegiatan Bela Negara mengenai ideologi-ideologi yang ada atau pernah digagas oleh pendiri bangsa terdahulu. Hal itu diperlukan sebagai amunisi kita untuk membela negara dari ideologi-ideologi yang kurang sesuai dengan Indonesia, tanpa harus mematikan imajinasi rakyat dengan kata “Pancasila Sudah Final”, serta tidak menghukum orang lain dengan cap “anti pancasila”.  

     Aplikatif selanjutnya sebagai bentuk aktivitas kegiatan Bela Negara adalah mengkaji tentang bagaimana masyarakat berbicara tentang kesetaraan atas kewajiban hak di dalam suatu negara?. Hak makhluk hidup merupakan hak fundamental yang diberikan oleh Allah kepada setiap makhluk hidup dan melekat pada dirinya secara mutlak.

     Perlu digaris bawahi aturan penting kesetaraan adalah setiap orang berasal dari item yang sama, khususnya produksi Allah yang tidak memiliki alasan untuk membedakan manusia satu dengan manusia lainnya. Atas dasar pedoman tersebut, bahwa setiap orang memiliki situasi yang sama dalam memperoleh kesamaan dan mengakses haknya. 

       Pemangku otoritas negara tidak berhak sama sekali memberikan ketidakadilan dengan alasan PSN tanpa memberikan timbal balik yang diminta oleh rakyat. Semua rakyat bebas atas haknya menerima atau bahkan menolak semua kebijakan dan tindakan yang merugikan bagi keberlangsungan hidup masyarakat.

   Selama ini negara hanya digerakan oleh satu roda berjalan yakni Pemerintah, sehingga kesetaraan atas kewajiban hak sangatlah tipis. Sebagai contoh kesetaraan masyarakat adat atas hak tanah ulayat, kesetaraan mengakses hukum, dan kesetaraan atas jaminan keamanan rakyat ketika memprotes hipokrisi Pemerintah dalam bertindak soal kemajuan negara.

    Aplikatif kegiatan Bela Negara lainnya yakni perspektif rakyat berbicara soal negara terkait kekayaan yang ada di Indonesia. Kekayaan yang ada di Indonesia berakar dari budaya dan potensi alam. Kekayaan tersebut sangat diakui serta dijunjung tinggi oleh khalayak masyarakat, khususnya masyarakat adat maupun masyarakat yang letak geografisnya berada di pesisir laut dan di area pegunungan. Lalu saat ini, negara dikomandoi oleh Pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan perluasan wilayah kapital dengan cara menguasai area hutan, pegunungan, hingga kawasan laut.

     Area tersebut merupakan tempat episentrum munculnya sebuah peradaban budaya lokalitas berupa potensi mata pencaharian (profesi lokal) yang menjadi salah satu identitas kekayaan bangsa Indonesia. Semestinya siapa yang perlu kita bela, apakah Pemerintah Negara yang memperluas kapital dengan menggadaikan kekayaan bangsa Indonesia, atau kekayaan bangsa Indonesia melalui kehidupan lokalitas masyarakat?. 

      Kehidupan lokalitas masyarakat menjadi stimulus munculnya konsep pembelaan atas kekayaan bangsa tanpa adanya destruktif dari pihak Pemerintah. Seharusnya, pembelaan atas keberlangsungan kekayaan bangsa dengan tidak menghancurkan identitas masyarakat lokal, kaitannya yakni habitat terkecil mereka berupa hutan, gunung, dan laut.

   Tindakan itu menjadi cara mendorong kekayaan bangsa. Bukan dengan labeling proyek pembangunan strategis nasional (PSN) dengan menghilangkan sedikit demi sedikit kekayaan budaya masyarakat lokalitas. Kenyataannya saat ini, Pemerintah atas nama kemajuan bangsa semua itu dilupakan hanya dijadikan sebatas pengguguran syarat Indonesia agar disebut sebagai negara berbudaya. 

    Altruisme empati sebagai puncak aplikatif dinamisasi aktivitas Bela Negara. Definisi altruisme diambil dari sosiolog Auguste Comte, menjelaskan bahwa altruisme sebagai antonim dari egoisme. secara harfiah altruisme sebagai tindakan kita untuk meningkatkan kesejahteraan makhluk hidup, bahkan dengan segala resiko dan konsekuensi yang harus kita terima.

      Perlunya kesadaran altruisme memberikan keterhubungan dengan makhluk hidup lainnya. Kita ketahui bersama bahwa altruisme empati sering terjadi dikalangan masyarakat horizontal, sangat sulit ketika altruisme empati bergerak antara lapisan masyarakat vertikal dan horizontal karena disebabkan perbedaan posisi status sosial, peran sosial, dan diferensiasi yang membedakannya.

      Saat ini, empati sosial disublimasikan oleh mereka yang memiliki peran dan status sosial lebih tinggi di negara ini dengan menjadikannya sebagai alat pelancar menyakinkan perannya dalam mengatur negara. Menurut Comte dasar munculnya sikap altruisme adalah sikap kemampuan berempati dengan beberapa aspek yakni aspek honesty (kejujuran) dan helping (menolong). Dalam aktivitas Bela Negara pembahasan aspek kejujuran dilupakan ditutup dengan pembahasan keberagaman. 

      Aspek honesty seharusnya diberikan ketika melakukan pelaksanaan aktivitas Bela Negara untuk mengaktifkan rasa altruisme empati sosial, dengan mengambil contoh dari beberapa kasus mengenai perilaku politik atau politisi yang menanggalkan sikap kejujuran. Digaris bawahi melalui pertanyaan pemantik, mengapa harus menanggalkan sikap kejujuran dalam bernegara?, apa yang ditutupi sehingga memaksa semua penegak hukum, pemimpin kementerian, dan jajaran lainnya untuk menanggalkan aspek kejujuran?.

     Pembahasan aspek Helping turut luntur dalam kegiatan aktivitas Bela  Negara. Helping selalu identik dengan manusia yang suka memberikan pertolongan, walaupun harus merelakan kepentingan pribadinya. Saat ini semua urusan perpolitikan negara selalu tidak lepas dari kepentingan pribadinya, seolah mereka tidak bisa membedakan urusan negara dengan urusan bisnis yang mensejahterakan.

      Banyak kasus kecurangan para pemimpin negara yang bermain-main dengan kewenangannya. Transformatif kekuasaan berpindah hanya dari satu kolega menuju kolega keluarga, dan  kolega kerabat hanya untuk melanggengkan ambisi bisnis di dalam lumbung kekuasaan. Kemudian apakah dengan aspek menolong dan kejujuran yang belum terlaksana dengan semestinya, bisa disebut sebagai dasar berjalannya kemanusiaan adil dan beradab?. 

     Krisis multidimensional tidak hanya bisa diselesaikan dengan kanal kaku melalui konsep kegiatan Bela Negara seperti saat ini. Negara dan pemerintah tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik. Kita hanya mengedepankan sikap serba memudahkan (easy going) malas untuk menanyakan kembali tentang kebiasaan yang berhubungan dengan masa depan bangsa. Hal itu menyebabkan tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan, kejahatan korupsi dan konflik kepentingan (conflict of interest).

   Aktivitas Bela Negara seharusnya segera dirombak dengan perspektif kegiatan yang mengedepankan pola-pola pengamatan fenomena kehidupan sosial politik, konflik kepentingan, dan aktivitas kecurangan politik. Semua itu bisa dilakukan dengan mengedepankan diskusi, atau debat, atau eksplorasi sudut pandang agar memunculkan pengetahuan baru tentang sebuah negara yang benar-benar berpihak terhadap masyarakat.

     Saling bertukar sudut pandang akan memunculkan sebuah nilai, sehingga mulailah menanyakan sesuatu hal atau aktivitas yang sudah lama berjalan, untuk memberikan pembaruan atau me-restart kembali agar lebih memperkuat nilai-nilai yang ada. 

Perpustakaan UNESA-Surabaya, 04-07-2024.

*Penulis: Wahyu Umattulloh AL *

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Wahyu Umattulloh AL

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler