Perjanjian Renville: Sejarah, Latar Belakang, dan Dampaknya bagi Kemerdekaan Indonesia
Selasa, 13 Agustus 2024 07:15 WIBPerjanjian Renville (17 Jan 1948) antara Indonesia dan Belanda, dimediasi oleh KTN di USS Renville, bertujuan menghentikan konflik tapi justru memunculkan kontroversi. Indonesia kehilangan wilayah, mengalami kerugian teritorial, dan terjadi ketidakpuasan politik yang memicu pemberontakan, sementara kedua delegasi menghadapi kritik.
Perjanjian Renville merupakan salah satu perjanjian penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ditandatangani pada 17 Januari 1948, perjanjian ini adalah hasil dari negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN).
Diawali pada akhir Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947 - 5 Agustus 1947), terjadi tekanan internasional yang cukup besar kepada Belanda untuk menghentikan serangan militer. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk membantu mediasi konflik ini. KTN terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Perundingan dilanjutkan pada akhir tahun 1947 di atas kapal perang Amerika Serikat bernama USS Renville, yang berlabuh di perairan Jakarta. Dari sinilah perjanjian ini mendapatkan namanya, yaitu Perjanjian Renville.
Perwakilan Indonesia dan Belanda dalam Perjanjian Renville
Dalam perundingan ini, masing-masing pihak diwakili oleh tokoh-tokoh penting:
Perwakilan Indonesia:
Amir Sjarifuddin: Perdana Menteri Indonesia yang memimpin delegasi. Setelah perjanjian ini, posisi Amir melemah karena banyak pihak kecewa dengan hasilnya.
Ali Sastroamidjojo: Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, yang terlibat aktif dalam negosiasi.
Mohammad Roem: Anggota penting delegasi yang kelak berperan dalam Perjanjian Roem-Royen tahun 1949.
Perwakilan Belanda:
Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo: Wakil Belanda dalam delegasi, seorang birokrat berdarah Indonesia yang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda.
Hubertus van Mook: Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memimpin delegasi Belanda dan menjadi arsitek strategi yang berusaha mempertahankan kendali Belanda melalui pembentukan negara-negara federal.
Peran Komisi Tiga Negara (KTN)
KTN, yang terdiri dari perwakilan Amerika Serikat, Australia, dan Belgia, berperan sebagai penengah dalam perundingan. Mereka berusaha meredakan ketegangan antara Indonesia dan Belanda serta mencari solusi damai bagi konflik yang terjadi. Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari:
- Amerika Serikat: Diwakili oleh Frank Porter Graham.
- Australia: Diwakili oleh Richard Kirby.
- Belgia: Diwakili oleh Paul van Zeeland.
KTN berperan sebagai penengah dalam perundingan, dengan tujuan untuk meredakan ketegangan antara Indonesia dan Belanda serta mencari solusi damai bagi konflik yang terjadi.
Keseluruhan proses negosiasi yang berlangsung dalam Perjanjian Renville menunjukkan kompleksitas hubungan antara Indonesia dan Belanda pada masa awal kemerdekaan, serta bagaimana pihak internasional turut berperan dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.
Isi dan Ketentuan Perjanjian Renville
Peta Indonesia Pasca Perjanjian Renville
Perjanjian Renville mencakup beberapa poin penting, di antaranya:
- Garis Demarkasi Van Mook: Dalam perjanjian ini, ditetapkan garis demarkasi yang memisahkan wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Republik Indonesia. Garis ini dikenal sebagai Garis Van Mook, yang dinamai sesuai dengan nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook.
- Pengakuan Belanda terhadap Wilayah Republik Indonesia: Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto Republik Indonesia atas wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra. Sementara itu, sebagian besar wilayah lain tetap berada di bawah kendali Belanda.
- Gencatan Senjata: Kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan permusuhan dan melakukan gencatan senjata di sepanjang Garis Van Mook.
Dampak Perjanjian Renville bagi Indonesia
Perjanjian Renville membawa dampak yang cukup signifikan terhadap situasi politik dan militer di Indonesia:
- Kerugian Teritorial: Perjanjian ini sangat merugikan Indonesia karena wilayah kekuasaan Republik Indonesia menjadi sangat terbatas. Banyak wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Republik harus diserahkan kepada Belanda, sehingga melemahkan posisi Indonesia.
- Penolakan oleh Pejuang dan Rakyat: Banyak tokoh perjuangan dan rakyat Indonesia yang menentang perjanjian ini, karena dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Hal ini memicu ketegangan internal di dalam negeri.
- Pemberontakan Madiun: Ketidakpuasan kaum kiri Indonesia dari perjanjian Renville mendorong Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan yang dikenal dengan Pemberontakan PKI Madiun 1948.
- Long March Divisi Siliwangi: Akibat Jawa Barat yang diambil pihak Belanda membuat TNI divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Meski ada pihak yang menolak mundur yang kemudian hari memunculkan Pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwirjo.
Nasib Dua Delegasi: Amir Sjarifuddin dan Hubertus van Mook
Meski sudah mendapatkan kesepakatan dari pihak yang berselisih, tetapi para delegasi perjanjian Renville maupun pihak Indonesia dan Belanda mendapatkan kritikan dari rakyat dan parlemen negara masing-masing terutama Amir Sjarifuddin dan Van Mook yang merupakan ketua delegasi masing-masing negara.
Amir Sjarifuddin
Perjanjian Renville dianggap oleh banyak kalangan di Indonesia sebagai perjanjian yang sangat merugikan, terutama karena wilayah yang diakui sebagai bagian dari Republik Indonesia menjadi sangat terbatas. Banyak pemimpin dan rakyat Indonesia kecewa dengan hasil perjanjian ini, yang dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Amir Sjarifuddin, sebagai pemimpin yang memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan Renville, mendapat banyak kritik. Beberapa kelompok politik, termasuk mereka yang berasal dari sayap kiri dan nasionalis, menuduh Amir terlalu kompromistis terhadap Belanda.
Tekanan yang semakin besar akibat ketidakpuasan terhadap hasil Perjanjian Renville menyebabkan Amir Sjarifuddin kehilangan dukungan politik di parlemen dan di kalangan militer. Hal ini memaksanya untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri pada Januari 1948, hanya beberapa hari setelah perjanjian tersebut ditandatangani. Posisi Perdana Menteri kemudian digantikan oleh Mohammad Hatta, yang mengambil alih kepemimpinan pemerintah Indonesia.
Hubertus Van Mook
Di sisi Belanda, terdapat kritik yang signifikan dari kalangan oposisi di parlemen Belanda, termasuk dari pihak-pihak yang berhaluan kiri dan beberapa partai konservatif. Mereka berpendapat bahwa Perjanjian Renville terlalu banyak memberi konsesi kepada Republik Indonesia dan merugikan kepentingan kolonial Belanda. Kelompok ini merasa bahwa perjanjian tersebut melemahkan posisi Belanda di Indonesia dan tidak cukup mempertahankan kontrol Belanda atas wilayah yang lebih luas.
Beberapa anggota parlemen bahkan mengkritik Hubertus van Mook secara pribadi, menilai bahwa pendekatan diplomatis yang diambilnya terlalu lunak dan tidak efektif dalam mempertahankan dominasi Belanda di Indonesia. Kritik ini semakin tajam setelah terbukti bahwa Perjanjian Renville tidak mampu membawa perdamaian jangka panjang dan justru memperpanjang konflik.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Zaken Kabinet Hanya Merupakan Utopia?
2 hari laluSaatnya Anies Buat Partai Baru
Rabu, 21 Agustus 2024 18:52 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler