Praktisi ISO Management System and Compliance
Rakyat Dibebani Kenaikan Tarif L:istrik, Proyek Mercusuar Dapat Diskon
2 jam lalu
Tarif listrik naik, rakyat diminta hemat. Tapi infrastruktur rapuh & boros dibiarkan. Untuk siapa sebenarnya kita berkorban?
***
Pagi itu di Bekasi, Ibu Lina (48) menatap tagihan listrik bulanannya dengan rasa tidak percaya. Meski sudah mematikan AC lebih awal, mengurangi penggunaan rice cooker, dan menjemur pakaian alih-alih pakai mesin cuci, angkanya melonjak 40% dibanding bulan lalu. “Saya sudah irit, Bu,” katanya kepada tetangganya sambil menunjukkan kertas berlogo PLN. “Tapi kok bayarnya makin mahal? Sebenarnya untuk siapa kita diminta hemat?”
Pertanyaan Ibu Lina bukan keluhan biasa. Di baliknya, tersembunyi ketidakadilan yang sistemik: rakyat diminta berkorban demi efisiensi energi, sementara akar masalah—ketidakandalan infrastruktur, transparansi tarif, dan beban distribusi yang timpang—tetap dibiarkan.
Per 1 Oktober 2025, pemerintah resmi menerapkan penyesuaian tarif listrik, terutama bagi golongan rumah tangga menengah ke atas (R2 dan R3). Alasannya, menurut PLN, adalah fluktuasi harga bahan bakar global dan kebutuhan pemeliharaan jaringan. Namun, dalam konteks daya beli yang terus tertekan—dengan inflasi tahunan mendekati 4%—kenaikan ini terasa seperti pukulan tambahan bagi kelas menengah yang sedang berjuang bertahan.
Yang lebih ironis, kenaikan tarif terjadi di tengah krisis kepercayaan terhadap layanan listrik nasional. Pemadaman massal April 2025 akibat gangguan gardu induk Ungaran membuktikan betapa rapuhnya sistem kelistrikan Jawa-Bali. Rumah sakit, pabrik, UMKM, dan pelajar daring lumpuh selama berjam-jam. Tapi setelah semua kembali menyala, tidak ada evaluasi mendasar, hanya permintaan maaf dan janji perbaikan yang tak kunjung tuntas.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan publik menjadi semakin menggugat: kalau pasokan belum andal, kenapa tarif harus naik? Dan jika rakyat diminta berhemat, untuk siapa sebenarnya penghematan itu dilakukan?
Fakta menunjukkan bahwa beban kenaikan tarif justru paling dirasakan oleh rumah tangga kelas menengah—mereka yang tidak lagi masuk kategori miskin, tapi juga belum cukup kaya untuk punya genset atau panel surya. Sementara, industri besar dan proyek-proyek strategis seperti IKN Nusantara sering mendapat skema insentif, diskon, atau subsidi silang yang tidak dipublikasikan secara terbuka. Mereka konsumsi listrik jauh lebih besar, tapi jarang diminta "berhemat".
Ironi lain terlihat di lingkungan perkotaan: gedung-gedung pemerintah dan mal-mal masih menyala 24 jam, AC beroperasi penuh meski sepi pengunjung, sementara warga diminta matikan lampu jam 9 malam. Tidak ada kampanye nasional untuk efisiensi institusi negara, padahal potensi penghematannya jauh lebih besar.
Masalahnya bukan hanya soal harga, tapi sistem yang tidak adil dan tidak transparan. Formula tariff adjustment masih gelap bagi publik. Masyarakat tidak tahu persis bagaimana biaya bahan bakar, pemeliharaan jaringan, atau margin profit masuk dalam perhitungan. Akibatnya, kenaikan tarif terasa seperti dipaksakan, tanpa dialog atau partisipasi publik.
Belum lagi soal infrastruktur yang boros. Jaringan listrik tua, tiang karatan, dan kabel tipis seperti benang—yang diakui sendiri oleh teknisi PLN—menyebabkan kebocoran teknis yang signifikan. Data internal PLN menyebut technical loss masih di atas 7%, jauh di atas standar internasional. Artinya, sebagian besar energi yang diproduksi hilang sebelum sampai ke konsumen. Dan ujung-ujungnya, kerugian itu ditanggung oleh rakyat lewat kenaikan tarif.
Padahal, solusi sudah ada. Negara-negara seperti Jerman dan Denmark telah beralih ke model decentralized energy: pembangkit tersebar, mikrogrid, dan integrasi energi terbarukan lokal. Di Sumba, program Sumba Iconic Island membuktikan bahwa desa terpencil bisa mandiri listrik dari tenaga angin dan surya. Tapi di tingkat nasional, transformasi itu masih lambat karena dominasi model sentralistik dan ketergantungan pada batubara.
Untuk itu, saatnya kita merombak paradigma. Pertama, transparansi total formula tarif, termasuk komponen biaya dan dasar hukum penyesuaian. Publik berhak tahu apakah kenaikan itu benar-benar didorong oleh kondisi ekonomi, bukan sekadar mekanisme pembiayaan jaringan yang rusak.
Kedua, subsidi tepat sasaran: alihkan sistem subsidi silang ke mekanisme langsung, seperti cash transfer digital bagi rumah tangga rentan. Jangan jadikan rakyat menengah sebagai penanggung utama reformasi fiskal.
Ketiga, percepat transisi ke energi terbarukan dan desentralisasi. Beri insentif nyata untuk panel surya atap, bangun mikrogrid di daerah rawan blackout, dan libatkan komunitas dalam pengelolaan energi lokal.
Keempat, audit efisiensi institusi negara. Wajibkan kementerian, BUMN, dan pemerintah daerah melaporkan konsumsi listrik dan program penghematan. Jadikan efisiensi energi sebagai indikator kinerja aparatur.
Terakhir, libatkan publik dalam perencanaan kebijakan energi. Tarif listrik bukan hanya urusan teknokrat dan birokrat—ia menyangkut hidup jutaan orang. Harus ada ruang partisipasi yang bermakna.
Ketika listrik padam, kita bicara soal ketahanan infrastruktur. Saat harga sembako naik, kita bicara inflasi. Tapi ketika rakyat diminta berhemat sementara sistem yang boros dibiarkan, kita diam. Padahal, penghematan energi hanya adil jika semua pihak ikut bertanggung jawab.
Jadi, untuk siapa kita diminta hemat?
Jawabannya harus jelas: tidak untuk memperkaya sistem yang rapuh, tapi untuk membangun masa depan energi yang adil, andal, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler