Aku yang Selalu Mengelak dan Kau yang Selalu Menunggu

Selasa, 20 Agustus 2024 09:20 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua remaja yang tidak bisa lagi berjalan ke arah yang sama.

“Hari ini kah?” Aku kemudian menatap ke arah sekolahku. “Haha, apa yang dilakukan anak itu.”, ujarku sambil melihat lambaian tangan darinya. Bahkan di hari libur seperti ini kau masih lebih dulu daripadaku. Dari awal selalu seperti itu. “Hei, kau dengar kalau Arika dapat beasiswa yang ke Jepang itu loh? Hebat sekali ya, udah cantik pintar juga.”, dia yang mendengar ucapan itu langsung senyum ke arah wajahku. Kau selalu saja seperti itu. Dia kemudian berlari dan memberikan tangannya kepadaku. “Kau selalu saja seperti ini.”, ujarku sambil membiarkan tangannya. “Mengapa kau tidak menerimanya? Hei Nico!” Dia pasti akan berada di depanku dengan tangannya yang siap menarikku. Tetapi, itu bukanlah yang aku inginkan. Biarlah kalau ini memang sebuah bentuk dari sifat keras kepalaku, aku tidak akan pernah menerimanya. Betul, tidak akan pernah. Namun, bagaimana jika sebaliknya? Andai saja?

Aku kemudian duduk tepat di sampingnya yang terlihat kesepian. “Hei, mengapa kau sudah sampai di hari libur seperti ini? Bukannya janjiannya di jam 10 ya?” Dia hanya tersenyum di bawah teriknya matahari. Aku mengeluarkan sesuatu yang mungkin bisa mencairkan suasana ini. Betul. “Hei Nico, ayo beli es goyang! Goyangan abang itu dahsyat sekali, lihat!” Tidak imut sama sekali, seharusnya kau menunjuk ke arah es itu dan sambil malu malu memintanya kepadaku. Dasar. “Ayo Nico!” Lihatlah betapa kekanak-kanakannya dia, mengapa kau tidak bisa menjadi cool beauty saja kah?

Cool beauty, kah?” Aku melihat dia yang duduk di sampingku, diam melihat ke arah langit yang luas. “Langitnya biru sekali ya.”, ujarku yang kagum dengan langit tanpa pembatas ini. Apakah kau selama ini memiliki sesuatu yang membuatmu bertindak seolah menikmati seluruh momen dalam hidupmu? Aku rasa tidak. “Nico, sepertinya aku adalah orang yang berpikiran sempit.”, ujarnya. Kau yang selalu menerima orang mengatakan dirimu sempit? “Huh? Putri yang memaafkan siswi yang mengejek orang tuanya? Jika kau menyebut itu sempit, kau belum saja melihat isi kepalaku.”, ujarku. Namun, dia hanya tertunduk sedih. “Aku pikir, aku tidak akan bisa menyukai adikku lagi.”, di hari itu, kedua orang tuanya berpisah dan ibunya pergi bersama adiknya, sedangkan dia pergi bersama ayahnya. Aku yang menganggap dia akan berubah di hari itu langsung dibuat tercengang di keesokan harinya. Benar, keesokan harinya dia tidak masuk sekolah.

“Ingatkah waktu itu, satu kelas heboh mengapa kau tidak masuk sekolah. Aku ingat mereka terus menanyakanku tentang kondisimu. Merepotkan sekali tahu. Kau seharusnya yang membelikanku es goyang.”, ujarku. Dia hari ini memang tidak banyak bicara. Sampai kapan? Berapa lama lagi aku harus seperti ini? Sesaat pikiran itu terlintas, Arica melihat ke arahku. Dia kemudian memegang pipiku. “Dingin tahu.”, ujarku. Namun, dia tidak berkutik. Dia seolah berusaha menenangkanku. “Berisik. Kau tidak perlu melakukan itu.”, ujarku. Aku kemudian dibuat goyah akan wajahnya yang terlihat semakin sedih. “Sial.”, mengapa kau selalu seperti ini?

Aku berlari dengan napas yang terengah-engah. “Kau dengar itu? Kau dengar nggak? Eh, dengar deh. Gawat!” Berisik! Kalian semua berisik. Kalian yang tidak tahu apa-apa tentang dia, apa hak kalian untuk beranggapan seperti itu?! Suasana pecah di kelas waktu itu. Benar, seorang idol di kelas kami yang secara mengejutkan melakukan sesuatu yang bahkan seseorang dengan pemikiran sempit sepertiku tidak berani untuk melakukannya. “Arica!” Hari itu hujan deras, namun mataku masih terhenti yang melihat pemandangan itu.

“Kau tahu, kau bisa bercerita kepadaku, walaupun aku memang orang yang pemikirannya sempit, tapi aku masih bisa jika hanya mendengar.”, ujarku. Dia kemudian menggelengkan kepalanya seakan menolak pernyataanku itu. Apakah aku sesempit itu? Ataukah kau yang selalu seperti ini? “Aku tidak ingin merepotkanmu.”, ujar Arica. Ah, mengapa kau selalu seperti ini, dasar bodoh. “Begitukah. Kau memang tidak ada imut-imutnya.”, ujarku. Arica hanya tertawa kecil yang kemudian menatap ke arahku. “Aku tahu, aku tidak akan menahanmu lagi, aku juga tidak bisa selalu seperti ini.”, ucapku sambil merobek sebuah kertas dan aku tiupkan untuk mengikutinya bersama angin. “Mohon maaf ya telah membuatmu cukup lama berada di sini.”, ujarku. Dia selalu menggelengkan kepalanya. “Kau jarang mengangguk jika bersamaku ya?” Dia hanya tersenyum dan meletakkan cincinnya ke bawah.

“Ini ada cincin untukmu. Aku mendapatkannya gratis.”, ujarku. Wajah Arica tidak karuan. Baru pertama kali aku melihatnya seperti ini. Benar, aku selalu berharap untuk melihat ekspresimu yang seperti itu lagi. “Tolong panggilkan ambulans!” Jika diingat kembali, kau juga masih memakainya saat itu ya. Dasar bodoh. “Terima kasih atas cincinnya.”, ujar dia yang semakin memudar. “Mengapa?! Mengapa kau selalu seperti ini?! Marahlah kepadaku! Kecewalah terhadapku! Aku tidak bisa berada di sisimu saat kau jatuh! Aku bahkan telah menahanmu di sini selama satu tahun hanya untuk diriku semata! Orang pada umumnya akan benci! Arica!” Amarahku disambut oleh hembusan angin seolah ingin memadamkannya. “Aku bukan orang pada umumnya. Aku hanya orang yang berada di sisimu Nico. Kau memang selalu melihat dengan perspektif yang sempit seperti ini. Jika kau meluaskannya sedikit saja, aku selalu berada di sampingmu tahu.”, ujarnya. Ah, betapa aku sangat memohon kepada Tuhan untuk mengulang kembali agar bisa melihatnya dengan perspektif yang berbeda. Aku jadi terbayang, apakah sikapku terhadapnya akan berubah? Aku rasa tidak, ketenangan yang membuatku sesak pasti selalu ada jika duduk di sampingmu. “Kau seharusnya membenciku Arica.”, ujarku. Dia hanya tersenyum melihatku, tersenyum akan kebodohanku atau hal lain, namun bukan senyuman akan perpisahan, lebih ke arah sebuah penyesalan. “Kau memang tidak pernah peka atas perasaan orang lain.”, ujarnya. Kata-kata yang aku harap keluar darinya di saat-saat perpisahan kami ini tidak terwujudkan. Aku mengira bahwa dia berpikir jika kata itu keluar, penyesalanku akan semua hal ini akan hilang. Dasar bodoh, kau masih saja memperhatikanku.

Aku kembali duduk menatap ke arah langit yang biru. “Apakah kau selalu merasa seperti ini saat tidak ada orang di sampingmu? Arica.”, ujarku sambil menggapai langit biru itu. “Ah, padahal aku sangat ingin mendengarnya Arica.”, sekarang hanya tinggal aku seorang. “Aku rasa aku tidak akan pernah mengeluarkan cincin ini lagi.”, sekarang hanya tinggal sebuah kenangan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Almanico Islamy Hasibuan

Penulis Indonesiana.

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler