Diplomasi Gandum Turki dan Rekomendasi Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia di Semenanjung Korea

Kamis, 12 September 2024 09:40 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada awal September 2024, media global melaporkan eksekusi Kim Jong Un terhadap pejabat-pejabat Korut akibat bencana banjir yang menyebabkan ribuan korban jiwa.[1]

Peristiwa ini menyoroti ketidakstabilan Korut yang memiliki senjata nuklir dan meningkatnya uji coba rudal balistik, dengan total 234 dari 264 rudal diluncurkan sejak 1984 terjadi di era Kim Jong Un.[2] Situasi ini berpotensi mengancam stabilitas kawasan.

Artikel ini menyoroti urgensi Indonesia di bawah pemerintahan presiden terpilih Prabowo untuk lebih fokus pada krisis di Semenanjung Korea dengan mengedepankan diplomasi proaktif melalui peningkatan hubungan bilateral dengan Korut dan modernisasi kekuatan TNI. Kedua hal tersebut merupakan cara diplomasi efektif yang bisa diterapkan oleh Indonesia berdasarkan analisis keberhasilan diplomasi Turki dalam memediasi Rusia dan Ukraina di tahun 2022. Sebagai pengantar, tulisan ini akan mengulas karakter kebijakan luar negeri Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karakter kebijakan luar negeri Indonesia

Kebijakan luar negeri Indonesia yang berlandaskan pada asas bebas aktif, dicetuskan oleh Muhammad Hatta yang menekankan kepentingan nasional dan posisi internasional.[3] Hatta berpendapat bahwa kepentingan nasional Indonesia meliputi keutuhan wilayah teritorial dan kepentingan ekonomi.[4] Lebih lanjut, wakil presiden pertama tersebut percaya bahwa Indonesia merupakan negara besar di dunia yang seharusnya menjadi aktor utama dalam percaturan politik internasional.[5] Tiga kata kunci tersebut—ekonomi, kedaulatan, dan pengakuan—menjadi tujuan dari kebijakan politik luar negeri Indonesia selama ini. Hal ini dapat dilihat dari intensitas kerjasama internasional yang dilakukan oleh Indonesia yang menunjukkan prioritas kebijakan luar negeri Indonesia, yang secara umum selalu terkait dengan kepentingan ekonomi, kedaulatan, serta pengakuan dunia internasional.

Berkaca pada hal tersebut, sudah saatnya Indonesia mulai serius menggarap Semenanjung Korea karena nilainya yang sangat strategis, terutama dalam aspek kepentingan ekonomi dan pengakuan dunia internasional.

Secara ekonomi, kawasan Asia Timur merupakan kontributor utama perekonomian Indonesia. Nilai perdagangan di kawasan tersebut mencapai 201,7 miliar dollar, atau 42% dari keseluruhan nilai perdagangan Indonesia di tahun 2023.[6] Selain itu, Indonesia membutuhkan kawasan yang damai untuk dapat terus bertumbuh demi mencapai target menjadi negara maju di tahun 2045. Di tengah dunia yang saling terkait seperti sekarang ini, ketidakstabilan sebuah kawasan akan berimbas ke kawasan yang lain. Perang Rusia-Ukraina telah menunjukkan kepada kita betapa mudahnya rantai pasokan global terdisrupsi yang mengakibatkan perlambatan ekonomi dunia.

Selanjutnya, peran Indonesia di Semenanjung Korea akan menjadi sangat strategis mengingat ketegangan antara Korsel dan Korut telah menjadi perhatian dunia dengan adanya keterlibatan Amerika Serikat dan China. Indonesia secara historis selalu mencoba untuk menjadi pemain penting dalam perdamaian dunia seperti telah ditunjukkan selama ini. Keberhasilan mediasi yang dilakukan oleh Indonesia pada konflik Kamboja di akhir 1980-an yang merupakan imbas dari rivalitas Uni Soviet dan China telah mengangkat nama Indonesia dalam percaturan politik dunia. Pada kesempatan lain, peran sentral Indonesia dalam gerakan non-blok di era Perang Dingin telah terbukti mampu mendinginkan tensi geopolitik saat itu. Peran aktif diplomasi Indonesia dalam ketegangan di Semenanjung Korea akan menjadi modal yang cukup berharga bagi Indonesia untuk menegaskan status sebagai rising middle power.

Diplomasi gandum Turki: analisis relevancy dan trust

Di tahun 2022, Indonesia yang waktu itu sebagai ketua G-20 mencoba memediasi Rusia dan Ukraina. Presiden Jokowi menemui para pemimpin kedua negara tersebut untuk mencoba mencari solusi, khususnya yang menyangkut rantai pasok global dan kemanusiaan. Upaya diplomasi Indonesia saat itu dapat dikatakan sebagai upaya penegasan peran aktif Indonesia dalam perdamaian dunia.

Namun dunia pada akhirnya lebih menyoroti peran Turki sebagai mediator, utamanya dalam membuka keran ekspor gandum. Rusia dan Ukraina, bersama Turki dan PBB, menyepakati pemberlakuan “koridor gandum” pada tanggal 22 Juli 2022 yang memfasilitasi ekspor melalui Laut Hitam. Pasca pemberlakuan kesepakatan tersebut, Ukraina dan Rusia mampu mengekspor tidak kurang dari 75 juta ton gandum yang langsung berimbas pada penurunan harga komoditas tersebut.[7]

Keberhasilan Turki ini tak terlepas dari faktor relevansi (relevancy) dan kepercayaan (trust) yang merupakan modal utama bagi mediator. Turki memiliki keduanya. Dalam disrupsi gandum dunia ini, Turki merupakan negara yang relevan dari sudut pandang kedua negara yang bertikai, setidaknya dalam hal geografi dan kepentingan. Posisinya yang tepat berbatasan dengan Laut Hitam membuatnya terpapar secara langsung konflik yang terjadi. Lebih lanjut, Rusia dan Ukraina merupakan dua negara yang memiliki hubungan ekonomi signifikan dengan Turki, serta tiga besar kontributor pariwisata Turki.[8]

Turki juga memiliki kepercayaan yang tinggi dari dua negara yang berselisih. Salah satu anggota NATO ini dianggap imparsial serta sudah sejak lama membina hubungan yang intens dengan Rusia maupun Ukraina.  Meskipun masih berstatus sebagai anggota NATO, Turki mendapat kepercayaan dari Rusia karena di bawah kepemimpinan Presiden Erdogan, Turki kerap berseberangan dengan Amerika Serikat. Hal paling nyata adalah keengganan Turki untuk turut mengembargo Rusia.

Hubungan Ankara dengan Moscow di bidang pertahanan juga sangat erat saat melihat fakta bahwa Turki merupakan pengguna sistem rudal S-400 Rusia. Kedua negara juga sepaham dalam menyikapi isu Suriah. Di sisi Ukraina, Turki merupakan penyedia sistem drone Bayraktar TB2 yang memiliki peran yang sangat krusial dalam upaya perlawanan terhadap invasi Rusia.

Selain itu, Ankara merupakan middle power di kawasan yang memiliki pengaruh yang kuat.

Fakta-fakta di atas menjadikan Turki sebagai mitra yang ideal bagi Rusia dan Ukraina untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang muncul dari ketegangan yang ada. Turki memiliki kedekatan geografi dan kepentingan yang identik, serta memiliki trust karena dipandang netral, memiliki hubungan yang baik dengan kedua belah pihak, dan berstatus sebagai middle power dengan kemampuan militer yang disegani.

Rekomendasi kebijakan diplomasi Indonesia di Semenanjung Korea

Berkaca dari keberhasilan diplomasi gandum Turki, Indonesia perlu melihat kelima faktor yang berkaitan dengan relevancy dan trust tadi untuk diaplikasikan ke situasi di Semenanjung Korea.

Situasi saat ini sudah menempatkan Indonesia sebagai negara yang relevan bagi isu keamanan di Semenanjung Korea. Posisi geografis Indonesia yang merupakan kategori kawasan dekat (immediate region) tentunya sangat rawan terhadap implikasi konflik yang terjadi, termasuk terhadap konsekuensi ekonomi. Untuk aspek trust, politik luar negeri bebas aktif dan kiprah Indonesia selama ini dengan tidak pernah memihak blok manapun menjadi modal utama untuk dapat menjadi negara penengah.

Indonesia, meskipun demikian, masih perlu meningkatkan hubungan bilateral, utamanya dengan Korut, serta menegaskan statusnya sebagai middle power yang patut diperhitungkan dengan secara bertahap meningkatkan kekuatan militernya. Kerjasama yang erat dengan Korsel ternyata tidak dibarengi dengan intensitas yang sama di utara. Hubungan Indonesia-Korut dinilai masih berbau kenangan Perang Dingin di zaman kepemimpinan Presiden Soekarno, yang saat itu memerlukan dukungan atas kebijakan anti-imperialisnya.[9] Minimnya kunjungan kenegaraan pemimpin kedua negara merefleksikan genggang hubungan Jakarta dan Pyong Yang. Peningkatan hubungan bilateral dengan Korut akan menjadi pintu masuk bagi Indonesia untuk mendapatkan trust setara dengan yang diperoleh Turki di Laut Hitam.

Secara konkret, Indonesia perlu merencanakan modernisasi kekuatan TNI untuk meningkatkan pengaruh regionalnya secara tangible. Pembangunan kekuatan TNI sudah saatnya diarahkan untuk mampu melaksanakan proyeksi kekuatan ke luar dan tidak hanya fokus pada keamanan dalam negeri. Upaya ini akan meningkatkan daya tawar Indonesia. TNI juga bisa melaksanakan misi penanggulangan bencana di Korut, bersama dengan upaya confidence building measures lainnya, sebagai bentuk diplomasi militer aktif untuk meningkatkan hubungan bilateral.

Kesimpulan

Stabilitas Semenanjung Korea sangat penting bagi kepentingan nasional Indonesia. Analisis menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo perlu meningkatkan hubungan dengan Korut dan membangun kekuatan militer yang disegani sebagai langkah awal diplomasi. Dua hal tersebut merupakan pra-syarat untuk mendapatkan trust kedua belah pihak yang berselisih sebagai pintu masuk upaya mediasi.

Prabowo telah menunjukkan kemampuan dalam menjalin hubungan internasional selama menjabat sebagai menteri pertahanan. Dengan sumber daya yang terbatas, penentuan prioritas yang tepat akan menentukan keberhasilan diplomasi Indonesia lima tahun mendatang.

 

[1] Ronny Reyes, ‘Kim Jong Un Executes 30 Officials over Deadly Floods: Report’, accessed 9 September 2024, https://nypost.com/2024/09/03/world-news/kim-jong-un-executes-30-officials-over-deadly-floods-report/.

[2] ‘The CNS North Korea Missile Test Database’, The Nuclear Threat Initiative (blog), 15 April 2024, https://www.nti.org/analysis/articles/cns-north-korea-missile-test-database/.

[3] Mohammad Hatta, ‘Mendajung Antara Dua Karang (Rowing between Two Reefs)’, in Keterangan Pemerintah Diutjapkan Oleh Drs. Mohammad Hatta Dimuka Sidang BPKNP Di Djokja Pada Tahun 1948 (Government Release by Drs. Mohammad Hatta before BPKNP Meeting in Jogjakarta 1948) (Djakarta: Kementerian Penerangan, 1951), 30, http://langka.lib.ugm.ac.id/viewer/index/225.

[4] Ahmad Rizky Umar, ‘The Meaning of “Independent” and “Active” Foreign Policy: Revisiting Hatta’s 1948 Speech’, in Hatta and Indonesia’s Independent and Active Policy: Retrospect and Prospect, ed. Evan A. Laksmana and Lina Alexandra (Centre for Strategic and International Studies, 2022), 27–28.

[5] Umar, 25.

[6] Kemendag RI, ‘Neraca Perdagangan Indonesia’, Satu Data Perdagangan Kemendag RI, 2023, https://satudata.kemendag.go.id.

[7] AY Hakki and Adnan Soylemez, ‘Grain Corridor Agreement and Turkey’s Role in the Russia-Ukraine War’, Journal of Islamic World and Politics 7, no. 1 (June 2023): 4, https://doi.org/10.18196/jiwp.v7i1.27.

[8] Hakki and Soylemez, 6.

[9] Gatra Priyandita, ‘Indonesia and North Korea: Warm Memories of the Cold War’, New Mandala, 7 March 2023, https://www.newmandala.org/indonesia-and-north-korea-warm-memories-of-the-cold-war/.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler