Mataram versus Cirebon: Cermin Konflik Dinasti-Kekuasaan Raja Jawa

Jumat, 11 Oktober 2024 21:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Amangkurat I
Iklan

Dengan memahami masa lalu, kita bisa belajar untuk lebih bijak dalam menavigasi tantangan politik modern. Dan, hingga kini, ambisi untuk menjadi Raja Jawa dalam berbagai bentuknya masih terus hidup dalam kancah perpolitikan Indonesia .

***

Sejarah Nusantara tak bisa dilepaskan dari konflik-konflik politik dan persaingan kekuasaan antarkerajaan besar di Pulau Jawa. Salah satu episode yang kerap terlupakan namun memiliki dampak besar dalam sejarah adalah perseteruan antara Kesultanan Mataram dan Kesultanan Cirebon pada abad ke-17.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski pada pandangan pertama tampak sebagai konflik regional biasa, di baliknya tersimpan persaingan lebih luas mengenai siapa yang berhak menyandang gelar "Raja Jawa"—sebutan bagi penguasa yang menguasai dan mewakili Pulau Jawa secara keseluruhan.

Ambisi Menjadi Penguasa Tunggal

Amangkurat I dari Mataram, yang memerintah pada pertengahan abad ke-17, mewarisi kerajaan yang besar dan berpengaruh. Sebagai pewaris Kesultanan Mataram yang dibangun oleh Sultan Agung, Amangkurat merasa dirinya adalah pewaris sah gelar "Raja Jawa".

Namun, ambisinya untuk mempersatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kendalinya kerap bertemu hambatan. Salah satunya adalah sikap Kesultanan Cirebon yang dianggap tidak sepenuhnya setia.

Menurut Naskah Mertasinga, perseteruan antara Mataram dan Cirebon dimulai dari kekecewaan Amangkurat I terhadap Panembahan Girilaya, raja Cirebon, yang dianggap setengah hati dalam mendukung Mataram.

Cirebon, kala itu, meskipun tunduk secara nominal kepada Mataram, tetapi melindungi para pelarian dari wilayah Mataram. Hal ini dipandang oleh Amangkurat I sebagai bentuk pengkhianatan terhadap otoritasnya sebagai penguasa utama di Jawa.

Konflik Pribadi dan Dinasti

Amangkurat I tidak hanya melihat ini sebagai masalah politik, tetapi juga sebagai ancaman pribadi terhadap klaimnya sebagai satu-satunya "Raja Jawa". Karena itu, ia melibatkan Belanda, sekutunya, untuk memaksa Panembahan Girilaya datang ke Mataram.

Belanda mengirim Kapten Etal, yang berhasil membujuk Girilaya untuk berlayar ke Mataram dengan dua putranya. Namun, setibanya di Mataram, Panembahan Girilaya ditahan, dan tak lama kemudian ia meninggal secara misterius—diyakini dibunuh dengan cara halus melalui ilmu hitam atau "guna-guna".

Pembunuhan tersembunyi itu bukan hanya wujud dari intrik kekuasaan, tetapi juga menggambarkan bagaimana kekuasaan "Raja Jawa" sering kali dijalankan dengan cara licik dan penuh perhitungan. Amangkurat I, yang sadar akan risiko menyerang langsung Cirebon dan Banten secara militer, memilih cara yang lebih diam-diam, tetapi sama mematikannya.

Beroposisi terhadap "Raja Jawa"

Kematian Panembahan Girilaya memicu kemarahan Cirebon dan sekutu lamanya, Banten. Kedua kerajaan ini memiliki hubungan budaya dan politik yang erat, dan keduanya menolak sepenuhnya tunduk pada Mataram.

Konflik tersebut tidak hanya bersifat regional, tetapi juga merupakan bagian dari dinamika kekuasaan yang lebih besar di Jawa, tempat beberapa kekuatan lokal menentang klaim Amangkurat I sebagai "Raja Jawa." Cirebon dan Banten berupaya menjaga otonomi mereka, meskipun di bawah bayang-bayang kekuasaan besar Mataram.

Dalam sejarah Jawa, penguasa-penguasa lokal yang berusaha mempertahankan identitas dan otonomi mereka sering kali harus berhadapan dengan ambisi raja-raja Jawa yang ingin menyatukan seluruh pulau di bawah satu kekuasaan. Bagi Amangkurat I, menguasai Cirebon bukan hanya tentang memperluas wilayah, tetapi juga memperkuat klaimnya sebagai pemimpin tunggal Jawa.

Kompleksitas dan Ambisi

Lantas, mengapa penting untuk memahami konflik tersebut? Sejarah ini mengajarkan kita tentang kompleksitas kekuasaan dan bagaimana ambisi untuk menjadi "Raja Jawa"—atau dalam konteks modern, penguasa yang dominan—sering kali menimbulkan konflik yang melibatkan intrik politik, pengaruh eksternal, dan ketegangan antara pusat dan daerah.

Dalam hal ini, kita bisa melihat paralel dengan dinamika politik Indonesia saat ini. Yakni, ketika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah kadang-kadang dipenuhi oleh ketegangan yang mirip.

Kesultanan Mataram yang dominan dan Cirebon yang lebih otonom mencerminkan realitas politik ketika kekuatan pusat sering kali harus berhadapan dengan daerah-daerah yang memiliki identitas dan kepentingan sendiri. Sejarah ini juga mengingatkan kita tentang bahayanya ambisi yang tidak terkendali dan bagaimana penguasa sering kali menggunakan cara-cara licik dan manipulatif untuk mencapai tujuannya.

Selain itu, keterlibatan Belanda dalam konflik menunjukkan bagaimana pengaruh eksternal sering kali memainkan peran penting dalam politik domestik. Dalam dunia yang semakin terhubung, intervensi dari pihak luar—baik itu negara lain, korporasi global, atau lembaga internasional—masih menjadi faktor kunci dalam dinamika politik internal sebuah negara.

Pentingnya Keseimbangan

Konflik antara Mataram dan Cirebon adalah lebih dari sekadar perselisihan dua kerajaan. Ini adalah gambaran tentang bagaimana ambisi untuk menjadi "Raja Jawa" menciptakan ketegangan yang berdampak luas di seluruh pulau.

Bagi kita di masa kini, sejarah tersebut memberikan pelajaran penting tentang urgensi keseimbangan kekuasaan, baik dalam konteks politik pusat-daerah maupun dalam hubungan dengan kekuatan eksternal. Dengan memahami masa lalu, kita bisa belajar untuk lebih bijak dalam menavigasi tantangan politik modern.

Mataram katakanlah telah runtuh. Tetapi, ambisi untuk menjadi "Raja Jawa" dalam berbagai bentuknya masih terus hidup dalam kancah perpolitikan Indonesia.

Kini, kita perlu mengambil pelajaran dari sejarah: memastikan bahwa ambisi semacam itu tidak lagi menghancurkan keseimbangan dan persatuan bangsa.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

4 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler