Benarkah Kita adalah Apa yang Kita Pikirkan?

Senin, 11 November 2024 11:08 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagaimanakah keterkaitan antara Law of Attraction, Self-Fulfilling Prophecy, dan pepatah populer perkataan adalah doa? Ketiganya seolah menjadi bukti bahwa pikiran dan kata-kata bisa berdampak besar pada kenyataan. Menarik mengulik keyakinan benarkah hidup bisa dikendalikan hanya dengan berpikir positif atau berkata baik? Atau itu hanya mitos?

***

Di tengah tren yang terus berkembang tentang manifestasi dan semangat positive vibes only, konsep seperti Law of Attraction dan Self-Fulfilling Prophecy seakan-akan telah bertransformasi dari sekadar teori psikologi menjadi bagian dari pola hidup sehari-hari. Di media sosial, kita sering menemukan orang-orang yang berbagi tentang bagaimana pikiran positif dan visualisasi dapat mendatangkan kesuksesan, membuktikan bahwa apa yang kita pikirkan akan menentukan bagaimana hidup kita berjalan. Namun, apakah benar seperti itu? Ataukah ini hanya sekadar cara baru untuk memaknai usaha dan harapan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berapa banyak dari kita yang sudah familiar dengan konsep bahwa pikiran kita, katanya, adalah magnet yang menarik realitas yang kita alami? Atau, lebih simpel lagi, kata orang-orang, “Perkataan adalah doa.” Kunci dari tiga konsep ini sepertinya adalah satu hal: harapan yang jadi kenyataan, entah itu harapan baik atau buruk. Tapi seberapa besar pengaruh kata-kata dan pikiran terhadap hidup kita sebenarnya?

Pernah dengar kisah “pemikiran positif” yang berujung pada kesuksesan atau sebaliknya, “perasaan cemas” yang berakhir buruk? Dua teori ini, Law of Attraction dan Self-Fulfilling Prophecy, sering dianggap berhubungan erat. Law of Attraction punya mantra bahwa energi yang kita pancarkan akan kembali kepada kita. Semacam karma, tapi versi ekspres. Di sisi lain, Self-Fulfilling Prophecy mengatakan bahwa pikiran kita sering menjadi “ramalan” yang kita wujudkan secara tidak sadar.

Lalu, jika dua konsep ini benar adanya, seberapa besar andil pikiran dalam menentukan hidup kita? Apakah kita memang sedemikian "sakti" sehingga hanya dengan memikirkan hal-hal baik, nasib baik akan mengalir deras ke arah kita?

Teori Law of Attraction dan Mitos Magnet Rezeki

Law of Attraction adalah konsep populer yang mendasari banyak buku self-help dan kursus motivasi. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa pikiran kita menarik peristiwa-peristiwa sesuai frekuensi mereka, alias, "Apa yang kamu pikirkan, itulah yang terjadi." Rhonda Byrne dalam bukunya The Secret, yang menjadi pelopor modern Law of Attraction, mendorong para pembaca untuk percaya bahwa “energi” atau frekuensi pikiran kita bisa menarik kejadian nyata yang selaras dengan frekuensi itu.

Tapi, teori ini juga tidak bebas dari kritik. Banyak ilmuwan skeptis yang menganggap Law of Attraction sekadar konsep "wishful thinking." Psikolog Carol Tavris pernah mengungkapkan bahwa efek placebo dalam Law of Attraction lebih karena pikiran positifnya yang membuat seseorang jadi berusaha lebih keras. Dalam kata lain, Law of Attraction mungkin bukan sihir, tapi lebih seperti pendorong sikap optimis yang akhirnya membuat kita termotivasi dan akhirnya meraih kesuksesan karena memang kita bekerja ke arah sana.

Jika Law of Attraction bisa disederhanakan menjadi konsep optimisme ekstrim, maka mungkin itu yang membuat orang berpikir bahwa mereka "beruntung" saat hal-hal positif terjadi dalam hidupnya. Sebaliknya, ketika hal buruk datang, mereka juga cenderung menganggap itu adalah "hukuman" dari pikiran negatif mereka sendiri. Tapi, apakah hidup memang sesederhana itu?

Self-Fulfilling Prophecy: Menjadi Apa yang Kamu Takutkan

Sementara itu, Self-Fulfilling Prophecy mungkin lebih akrab dalam keseharian kita daripada yang kita kira. Ketika kita takut gagal dalam suatu pekerjaan, kita cenderung bersikap cemas, was-was, dan akhirnya melakukan kesalahan yang justru membawa kita pada kegagalan itu sendiri. Robert Merton, seorang sosiolog ternama, mengembangkan konsep ini pada tahun 1948. Dia mengemukakan bahwa ketika kita mempercayai sesuatu akan terjadi, kita secara tidak langsung berperan dalam mewujudkannya.

Bayangkan seseorang yang sangat yakin bahwa dirinya akan gagal dalam ujian. Dengan pola pikir itu, dia jadi malas belajar karena merasa usaha apa pun tidak akan ada gunanya. Alhasil? Tentu saja, dia gagal. Di sini, Self-Fulfilling Prophecy menjelaskan bagaimana keyakinan dapat mempengaruhi tindakan, yang kemudian membawa hasil sesuai dengan keyakinan awal tersebut.

Di sinilah kita melihat benang merah antara Law of Attraction dan Self-Fulfilling Prophecy. Keduanya sama-sama mengakui bahwa pikiran kita, baik positif atau negatif, dapat mendorong kita ke arah tertentu. Tapi perbedaannya, Law of Attraction menitikberatkan pada keyakinan bahwa alam semesta punya andil besar dalam mengembalikan energi, sementara Self-Fulfilling Prophecy berfokus pada bagaimana pikiran mempengaruhi tindakan kita.

“Perkataan adalah Doa” dan Efeknya yang Terlihat Biasa

Di Indonesia, konsep perkataan adalah doa sudah menjadi bagian dari budaya. Misalnya, kita sering mendengar nasihat agar selalu berkata yang baik-baik, karena kata-kata, katanya, bisa berbalik menghantam kita kalau diucapkan sembarangan. Menariknya, pepatah ini sebenarnya menyatu dengan konsep Self-Fulfilling Prophecy. Saat seseorang terus berkata bahwa dirinya tidak mampu, bisa jadi ia kehilangan kepercayaan diri yang justru membuatnya benar-benar gagal.

Ilmuwan psikologi dari Harvard, Amy Cuddy, pernah melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa bahasa tubuh dan perkataan diri dapat membentuk cara kita memandang diri sendiri. Menurut Cuddy, seseorang yang berkata positif tentang dirinya akan cenderung tampil lebih percaya diri, yang secara langsung berdampak pada bagaimana orang lain memandangnya. Ini semacam efek bola salju; percaya diri itu membuahkan keberhasilan kecil, yang kemudian membangun rasa percaya diri lebih besar.

Jika dipikir-pikir, perkataan memang lebih dari sekadar doa; ia adalah deklarasi kepada diri sendiri tentang harapan atau ketakutan yang akan kita bawa ke kehidupan nyata. Lalu, apakah ini berarti bahwa setiap kata negatif yang kita ucapkan adalah “kutukan”? Mungkin tidak se-ekstrim itu, tapi tetap saja ada efek berantai yang bisa terjadi dari kata-kata kita sendiri.

Apa yang Dikatakan Ilmu Pengetahuan?

Seiring naiknya popularitas konsep-konsep seperti Law of Attraction, para ilmuwan terus mempelajari pengaruh pikiran dan harapan terhadap hasil hidup. Dalam sebuah studi, psikolog dari Stanford, Alia Crum, menemukan bahwa harapan seseorang terhadap suatu kejadian ternyata dapat mempengaruhi hasilnya. Dia dan timnya meneliti efek placebo pada pasien yang percaya bahwa mereka meminum obat yang ampuh, padahal sebenarnya mereka hanya diberi placebo. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang memiliki harapan positif cenderung merasa lebih baik.

Efek placebo ini menguatkan teori bahwa pikiran kita bisa mempengaruhi respons tubuh, tapi bukan berarti pikiran kita bisa sepenuhnya mengontrol hasil hidup. Meski demikian, ini menegaskan bahwa pola pikir memang memiliki kekuatan, meskipun tidak berarti pikiran bisa secara ajaib mengubah kenyataan.

Sebuah Harapan atau Kenyataan?

Lalu, benarkah kita adalah apa yang kita pikirkan? Jawabannya mungkin “ya,” tapi dengan catatan besar. Law of Attraction, Self-Fulfilling Prophecy, dan konsep bahwa “perkataan adalah doa” bisa menjadi landasan berpikir yang positif, namun tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Pikiran positif mungkin mendorong kita untuk bergerak ke arah yang lebih baik, tapi bukan berarti kita akan selalu mencapai apa yang kita pikirkan.

Hidup terlalu rumit untuk bisa disederhanakan dalam konsep-konsep semacam itu. Dunia tidak akan selalu mengiyakan keinginan kita, sekalipun kita sudah memanifestasi dan berpikir positif setiap hari. Kadang, kenyataan hanya terjadi karena berbagai faktor yang tidak kita kuasai—lingkungan, kesempatan, bahkan keberuntungan. Jadi, meski pola pikir positif bisa membantu, tidak ada salahnya juga untuk tetap realistis.

Jangan Berhenti Berpikir, Tapi Jangan Terlalu Berharap Juga

Pada akhirnya, pikiran dan perkataan adalah alat yang bisa kita gunakan untuk membentuk pengalaman hidup. Law of Attraction, Self-Fulfilling Prophecy, dan perkataan sebagai doa menawarkan pelajaran bahwa pola pikir dan cara kita berbicara punya efek besar. Hanya saja, jangan sampai kita terjebak berpikir bahwa dunia adalah hasil dari pikiran semata.

Kita bisa berharap yang terbaik, mengucapkan yang positif, dan melakukan yang kita bisa. Tetapi, sesekali, biarkan alam bekerja dengan cara yang tak selalu bisa kita kendalikan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rifki Abdul Rofik

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler