Mengurai Kekalahan Dua Kandidat Wanita dalam Sejarah Pilpres AS
Senin, 11 November 2024 17:16 WIBTidak mudah bagi kaum Hawa untuk menjadi presiden di AS. Masih terkendala sikap bias gender, sementara negara-negara Muslim seolah dipaksa mendobrak dogma agama.
***
Di negara yang sering dipandang sebagai salah satu pionir demokrasi dan pendekar HAM, Amerika Serikat (AS), ternyata belum berhasil menghadirkan seorang presiden wanita. Menariknya, dalam sejarah pemilihan presiden (pilpres) AS, dua kandidat wanita yang berhasil mencapai tahap akhir—Hillary Clinton pada 2016 dan Kamala Harris pada 2024—menghadapi kekalahan yang sama di tangan sosok yang sama, yaitu sang kontroversial Donald Trump.
Kekalahan itu tidak hanya mencerminkan perjalanan karier politik kedua wanita tersebut, tetapi juga memperlihatkan tantangan lebih besar yang dihadapi calon wanita dalam percaturan politik di AS.
Pada 2016, Hillary Clinton, seorang politisi berpengalaman yang sebelumnya menjabat sebagai menteri luar negeri dan senator, hadir sebagai kandidat Partai Demokrat dengan harapan besar untuk menjadi presiden wanita pertama AS. Namun, meski memenangi suara populer, istri mantan presiden S Bill Clinton itu kalah dalam perolehan Electoral College dari Donald Trump.
Clinton menghadapi tantangan berat, termasuk berbagai serangan terhadap kepribadiannya, kasus terkait email pribadi, serta kritik terhadap rekam jejaknya di bidang politik luar negeri. Banyak analis menyebut bahwa faktor bias gender turut berperan dalam kekalahannya, mengingat Clinton harus menghadapi ekspektasi yang berbeda sebagai kandidat wanita di tengah masyarakat yang masih memandang kepemimpinan dengan kacamata gender.
Delapan tahun kemudian (2024), Kamala Harris juga mencalonkan diri untuk kursi presiden sebagai kandidat wanita dari Partai Demokrat setelah menjabat sebagai Wakil Presiden di bawah kepemimpinan Joe Biden. Kampanye Harris membawa semangat yang baru dan mencerminkan keragaman Amerika.
Namun, seperti Clinton, ia kembali menghadapi polarisasi pemilih yang tajam dan berbagai isu kebijakan yang menantang. Meskipun Harris membawa pengalaman dan visi untuk masa depan AS, sosok kontroversial Trump sekali lagi berhasil memobilisasi basis pemilihannya untuk mengamankan kemenangan, menunjukkan bahwa elektabilitas kandidat wanita di AS masih mengalami hambatan signifikan.
Dua Representasi Rasial
Dua kandidat wanita dalam sejarah Pilpres AS yang dikalahkan oleh Donald Trump juga memiliki sisi lain yang sangat menarik. Masing-masing menunjukkan perbedaan representasi rasial, yaitu kulit putih dan hitam. Hal ini merupakan batu ujian yang menunjukkan bahwa rakyat AS masih menghadapi dilema rumit terkait ras, gender, dan politik.
Hillary Clinton, yang berkulit putih dan memiliki latar belakang politik panjang, dan Kamala Harris yang berkulit hitam dan memiliki warisan India serta Jamaika, masing-masing menawarkan pengalaman dan perspektif yang unik. Meski keduanya membawa latar belakang berbeda yang bisa merepresentasikan keberagaman Amerika, tampaknya faktor ras dan gender tetap menjadi isu signifikan dalam pemilihan mereka.
Clinton dan Harris menghadapi tantangan yang berbeda, tetapi ada kesamaan dalam bagaimana mereka dipersepsikan oleh sebagian besar masyarakat AS. Clinton dihadapkan pada stereotype gender yang ketat serta ketidakpercayaan terhadap peran wanita dalam kepemimpinan.
Kampanye Pilpres AS 2016 menyoroti bagaimana publik terpecah antara menerima calon wanita berpengalaman dan menghadapi isu gender yang rumit. Harris, di sisi lain, tak hanya menghadapi stereotipe gender, tetapi juga stereotipe rasial.
Sebagai wanita kulit hitam dan Asia pertama yang mendekati kursi presiden, Harris kerap menjadi sasaran kritik yang mengandung bias rasial, yang secara halus maupun terang-terangan, mempengaruhi persepsi publik. Ini menunjukkan bahwa representasi minoritas dan gender dalam politik AS masih harus berjuang melawan kendala sosial dan struktural.
Kekalahan Clinton dan Harris memperlihatkan bahwa, terlepas dari upaya representasi yang lebih inklusif, masyarakat AS belum sepenuhnya menerima pemimpin wanita—apalagi yang datang dari latar belakang minoritas—sebagai presiden. Dalam konteks ini, Trump tampil sebagai figur kontras yang memiliki daya tarik kuat di kalangan pemilih konservatif, yang mungkin tidak menyukai perubahan sosial cepat yang diwakili Clinton dan Harris.
Selain itu, Trump juga berhasil mengonsolidasikan basis pemilihannya dengan mengedepankan kebijakan yang dianggap lebih “tradisional” oleh pendukungnya. Karena hal ini, yang mungkin, memandang Clinton dan Harris sebagai ancaman bagi nilai-nilai mereka.
Hambatan Laten
Pertanyaan penting yang muncul adalah, sejauh mana AS benar-benar terbuka terhadap keberagaman dalam pemimpin, atau adakah hambatan tak terlihat yang tetap mengakar kuat?
Meskipun AS telah mencapai kemajuan besar dalam isu rasial, terutama dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama pada 2008, masalah gender ternyata tetap menjadi tantangan yang lebih sulit. Fakta bahwa kandidat wanita seperti Hillary Clinton dan Kamala Harris belum berhasil memenangi pemilihan presiden menunjukkan bahwa bias gender masih ada dalam politik AS, yang menjadi ironi bagi negara yang sering disebut sebagai kiblat demokrasi dan kebebasan liberal itu.
Menurut sejumlah penelitian, bias gender dalam politik lebih sulit diatasi karena ada ekspektasi yang berbeda terhadap peran perempuan dalam kepemimpinan. Penelitian menunjukkan bahwa kandidat wanita sering kali menghadapi tekanan yang lebih besar untuk menunjukkan kompetensi dan “kecocokan” mereka dengan peran yang, dalam pandangan tradisional, dianggap lebih pantas dipegang oleh laki-laki.
Dalam pemilihan umum, perempuan sering mendapat sorotan lebih ketat, baik dalam hal gaya komunikasi, penampilan, hingga pendekatan kebijakan mereka. Selain itu, stereotipe yang laten di masyarakat AS memainkan peran besar.
Banyak pemilih AS masih memandang perempuan sebagai figur yang kurang “tegas” atau “berkarisma” dibandingkan laki-laki dalam peran kepemimpinan tingkat tinggi. Meskipun Hillary Clinton sangat berpengalaman secara politik, dia tetap dikritik karena gaya kepemimpinannya yang dianggap “kaku” dan terlalu “formal.”
Di sisi lain, Kamala Harris juga menghadapi pandangan miring terkait identitasnya sebagai perempuan kulit hitam dan Asia, yang menambah kompleksitas persepsi publik terhadap dirinya. Fenomena ini menunjukkan bahwa bias gender dalam politik AS masih menjadi masalah laten.
Bahkan, studi dari Pew Research Center dan Center for American Women and Politics menyebutkan bahwa wanita sering dianggap tidak cocok untuk posisi "keras" yang membutuhkan kekuatan, seperti komandan militer atau kepala negara. Akibatnya, pencalonan perempuan di tingkat nasional sering menemui tantangan yang lebih besar dibandingkan pria, terutama di lingkungan yang memiliki ekspektasi maskulinitas dalam kepemimpinan.
Secara keseluruhan, AS masih berjuang untuk menghilangkan bias gender ini meskipun berhasil membuat terobosan dalam masalah rasial. Ini menjadi ironi bagi negara yang dikenal menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan, sekaligus menjadi tantangan bagi generasi mendatang untuk memecahkan stigma terhadap kepemimpinan perempuan dalam politik.
Stereotip Negara Muslim
Dalam hal ini, ada ironi lain. Bias gender dan stereotip tentang peran perempuan, justru sering kali diasosiasikan dengan negara-negara Muslim, yang dianggap kurang memberikan kesempatan dan hak-hak penuh bagi perempuan.
Bias gender di masyarakat Muslim sering kali digeneralisasi oleh pihak eksternal sebagai bukti bahwa agama Islam membatasi perempuan dalam peran kepemimpinan atau publik. Pandangan ini sering dimanfaatkan oleh media Barat dan lembaga-lembaga tertentu sebagai bentuk "propaganda" untuk mendorong perubahan sosial dan politik di negara-negara Muslim, dengan klaim bahwa perempuan di negara-negara ini memerlukan "pembebasan" dari dogma agama.
Namun, jika melihat lebih dalam, kita dapat menemukan contoh perempuan Muslim yang telah mencapai peran-peran tinggi dalam kepemimpinan, seperti Benazir Bhutto di Pakistan, Megawati Soekarnoputri di Indonesia, dan Sheikh Hasina di Bangladesh. Fakta bahwa pemimpin-pemimpin perempuan ini mampu menduduki posisi puncak menunjukkan bahwa stereotip yang mengaitkan bias gender hanya dengan komunitas Muslim adalah terlalu sederhana dan tidak selalu mencerminkan kenyataan.
Narasi yang "dipaksakan" ini kadang mengabaikan dinamika sosial-politik yang kompleks di negara-negara Muslim. Alih-alih memperbaiki atau menghormati tradisi yang ada, propaganda tersebut dapat mengarah pada tekanan sosial yang menimbulkan resistansi dan persepsi bahwa nilai-nilai eksternal mencoba mengintervensi budaya lokal.
Pada akhirnya, ini menunjukkan bahwa bias gender bukanlah masalah yang semata-mata terkait agama, melainkan juga dipengaruhi oleh budaya, sejarah, dan kebijakan pemerintah di masing-masing negara.
Sebaliknya di dunia Barat, khususnya AS, bias gender dalam politik masih mengakar, meskipun negara ini mengklaim sebagai model demokrasi liberal. Fenomena ini tampak dalam cara pemilih dan media memperlakukan kandidat perempuan, yang sering kali menghadapi ekspektasi ganda.
Para kandidat wanita tidak hanya harus membuktikan kapabilitas mereka setara dengan laki-laki, tetapi juga menghadapi sorotan lebih intens mengenai penampilan dan gaya komunikasi mereka. Sebagai contoh, Hillary Clinton dan Kamala Harris sering mengalami serangan pribadi dan kritik terkait gaya atau kebijakan mereka yang jauh lebih intens dibandingkan rekan laki-laki.
Jadi, meskipun bias gender sering dikaitkan dengan masyarakat Muslim, kenyataannya hal ini juga merupakan tantangan signifikan di negara-negara Barat. Ini menunjukkan bahwa bias gender adalah masalah lintas budaya yang tidak terbatas pada satu agama atau wilayah tertentu, tetapi lebih merupakan isu universal yang memerlukan upaya global untuk perubahan.
Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
3 Pengikut
Wajah-wajah Lama di Balik Razia PSK
20 jam laluTerjebak di Lembah YouTube
Kamis, 28 November 2024 16:34 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler