Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Oligarki Berusaha Membajak Demokrasi lewat Kampus

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kebebasan Pers
Iklan

Oligarki yang merajalela di kampus-kampus menjadikan pendidikan tinggi kehilangan peran kritisnya sebagai benteng demokrasi

Oleh: Anselmus DW Atasoge, Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende

Ancaman oligarki terhadap pendidikan tinggi di Nusa Tenggara Timur bukan sekadar isu politik. Ini adalah persoalan mendasar yang mengganggu integritas kampus. Kampus seharusnya menjadi ruang produksi pengetahuan. Kampus juga menjadi tempat pembentukan karakter bangsa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam kuliah umum di Universitas Nusa Cendana, Jumat, 3 Oktober 2025, Pimpinan Komisi III DPR RI Dr. Benny K.Harman,SH.MH secara eksplisit ‘membedah’ fenomena itu. Dari perspektif demokrasi, politisi kawakan itu menyebut demokrasi sedang berada di ‘ruang ICU’. Mengapa demikian? Baginya, demokrasi tengah digerogoti oleh kekuatan oligarki. Oligarki menyusup ke institusi demokrasi. Dunia kampus termasuk di dalamnya.

Menurut Benny, oligarki tidak menolak demokrasi secara terang-terangan. Oligarki justru mengendalikan demokrasi dari dalam. Kampus yang tunduk pada logika kekuasaan akan kehilangan independensi. Kampus yang tunduk pada logika uang akan kehilangan keberpihakan. Kebebasan berpikir menjadi terancam.

Di NTT, pendidikan tinggi seharusnya menjadi alat pembebasan. Pendidikan harus membebaskan dari kemiskinan struktural. Pendidikan juga harus membebaskan dari keterisolasian geografis. Dominasi oligarki justru menjadikan kampus sebagai alat kekuasaan.

Benny mengingatkan bahwa kampus harus menjadi benteng terakhir. Kampus harus melawan pembajakan demokrasi. Civitas akademika tidak boleh diam. Mahasiswa harus bersuara. Masyarakat sipil harus terlibat.

Budaya kampus harus memuat literasi politik. Budaya kampus harus mendorong ekonomi kerakyatan. Budaya kampus harus menumbuhkan keberanian untuk mengkritik kekuasaan. Kampus yang jauh dari misi ini akan menghadirkan pendidikan tanpa roh kekritisan. Daya kritis dan sisi akademisnya hilang. Kampus hanya menjadi ‘ornamen’ dalam sistem yang tertutup.

Ancaman oligarki bukan soal jabatan. Ancaman ini menyangkut fungsi kampus sebagai ruang publik. Kampus harus bebas. Kampus harus kritis. Kampus harus berpihak pada keadilan.

Berhadapan dengan ‘merajalelanya hantu oligarki’, kampus-kampus di NTT dan tentunya juga di Indonesia harus berani bersikap. Kampus harus menjadi pusat perlawanan intelektual. Kampus harus melawan dominasi oligarki. Kampus harus menjadi sokoguru demokrasi. Sebab, demokrasi yang sehat membutuhkan pendidikan yang bermartabat.

Benny K. Harman sebenarnya hendak menegaskan bahwa kampus harus berani bersikap. Kampus harus menjadi pusat perlawanan intelektual. Kampus harus melawan dominasi oligarki. Kampus harus menjadi benteng terakhir demokrasi. Sebab, demokrasi yang sehat membutuhkan pendidikan yang bermartabat.

Academic inbreeding shapes and maintains a powerful academic oligarchy, leading to the stonewalling of both knowledge and institutional change… This system serves the interests of certain groups but not the advancement of knowledge or the fulfillment of universities’ social mandates.”

Demikian tulis Hugo Horta, dalam Minerva Journal, 2022. Artinya, perkawinan akademik yang berlangsung secara internal membentuk dan mempertahankan oligarki akademik yang kuat. Kondisi ini menghambat aliran pengetahuan dan perubahan institusional. Sistem semacam ini lebih melayani kepentingan kelompok tertentu daripada mendorong kemajuan ilmu pengetahuan atau memenuhi mandat sosial universitas.

Dengan ini, Horta mau mengatakan bagaimana praktik oligarki dalam pendidikan tinggi dapat menghambat pembaruan institusi dan menutup ruang bagi keberagaman intelektual. Dan karena itu, ketika kampus dikendalikan oleh kelompok terbatas, maka fungsi universitas sebagai ruang publik, pusat inovasi, dan sokoguru demokrasi menjadi terdistorsi.***

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler