Membangun Peradaban Kesehatan
2 jam lalu
Pendidikan kesehatan sesungguhnya memiliki posisi yang amat strategis dalam pembangunan bangsa.
***
Wacana ini ditulis oleh Sri Rahayu Sukirman, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Dalam suatu wawancara dengan seorang mahasiswa keperawatan di sebuah kampus kesehatan di daerah Jawa Tengah, ia berkata lirih, “Kami sering kali merasa tertinggal. Di kota, mereka punya laboratorium modern dan dosen-dosen hebat, sedangkan kami hanya berbekal teori dari buku lama. Padahal, pasien di desa juga berhak mendapatkan pelayanan terbaik.” Ungkapan sederhana ini mencerminkan realitas pendidikan kesehatan di Indonesia, yang hingga kini masih menghadapi ketimpangan mutu dan akses.
Pendidikan kesehatan sesungguhnya memiliki posisi yang amat strategis dalam pembangunan bangsa. Di tengah derasnya globalisasi dan percepatan teknologi, kebutuhan akan tenaga kesehatan yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berintegritas, menjadi sebuah keniscayaan. Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan tantangan serius yang harus segera diatasi.
Kesenjangan mutu pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan menjadi masalah krusial. Perguruan tinggi kesehatan di kota besar relatif memiliki fasilitas memadai, tenaga pengajar yang berkualitas, dan akses teknologi modern. Sebaliknya, institusi di daerah terpencil masih kekurangan sarana laboratorium, bahan ajar terkini, serta jejaring akademik yang mendukung. Akibatnya, kualitas lulusan berbeda secara signifikan, dan hal ini berimplikasi pada mutu pelayanan kesehatan di masyarakat. Penelitian Kemenkes (2022) bahkan menegaskan bahwa 41 persen institusi pendidikan kesehatan di daerah masih menghadapi keterbatasan laboratorium dan alat praktik, yang secara langsung berdampak pada kompetensi lulusan.
Tantangan berikutnya berkaitan dengan kualitas tenaga pendidik. Tidak semua dosen memiliki kompetensi sesuai standar internasional. Banyak yang masih menggunakan pendekatan pengajaran konvensional yang kurang relevan dengan perkembangan terkini. Lulusan pun kerap mengalami kesulitan beradaptasi dengan sistem pelayanan kesehatan modern, terutama yang berbasis teknologi digital. Padahal, data WHO (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen fasilitas kesehatan di dunia telah mengintegrasikan rekam medis elektronik, telemedicine, dan bahkan kecerdasan buatan untuk diagnosis. Indonesia tidak bisa menutup mata dari fakta ini.
Selain aspek teknis, dimensi etika dan integritas menjadi sorotan yang tak kalah penting. Masih dijumpai tenaga kesehatan yang terjebak dalam praktik komersialisasi, minim empati, atau bahkan melanggar kode etik. Realitas ini menegaskan bahwa pendidikan kesehatan tidak boleh hanya menekankan aspek keterampilan teknis, tetapi juga harus membentuk karakter, moralitas, dan nilai kemanusiaan. Integritas adalah pondasi yang membedakan seorang profesional sejati dari sekadar pekerja kesehatan yang mengejar keuntungan pribadi.
Upaya perbaikan harus dilakukan melalui strategi menyeluruh. Kurikulum berbasis kompetensi yang adaptif terhadap perkembangan zaman menjadi kunci utama. Mahasiswa tidak hanya perlu menguasai keterampilan teknis, melainkan juga dilatih untuk memiliki kepekaan sosial, kemampuan komunikasi, serta pemahaman etika profesi. Studi dari Universitas Indonesia (2021) menegaskan bahwa model pembelajaran berbasis kasus nyata mampu meningkatkan keterampilan klinis sekaligus empati mahasiswa hingga 35 persen dibandingkan dengan metode konvensional.
Integrasi teknologi digital dalam pendidikan kesehatan pun harus dipercepat. Pemanfaatan e-learning, simulasi virtual reality, dan laboratorium digital akan membiasakan mahasiswa dengan ekosistem pelayanan modern. Dengan demikian, lulusan bukan hanya sekadar tenaga kesehatan konvensional, tetapi juga aktor yang cakap menggunakan teknologi untuk meningkatkan efektivitas layanan.
Selain kurikulum dan teknologi, kualitas dosen adalah faktor penentu. Program pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, serta kerja sama internasional perlu diperkuat agar tenaga pendidik tidak tertinggal dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dosen yang progresif akan menularkan semangat inovasi kepada mahasiswa, membangun atmosfer akademik yang lebih dinamis.
Kolaborasi dengan dunia industri dan layanan kesehatan juga menjadi aspek vital. Institusi pendidikan tidak dapat berjalan sendiri. Kemitraan dengan rumah sakit, klinik, dan lembaga riset akan memperkaya pengalaman mahasiswa sekaligus memastikan kurikulum relevan dengan kebutuhan nyata lapangan.
Lebih dari itu, pendidikan kesehatan harus berperan sebagai ruang pembentukan karakter. Nilai kejujuran, tanggung jawab, empati, dan dedikasi kemanusiaan perlu diinternalisasikan sejak awal. Mahasiswa harus menyadari bahwa profesi kesehatan adalah panggilan kemanusiaan, bukan sekadar pekerjaan. Dari kesadaran inilah akan lahir tenaga profesional yang unggul secara kompetensi dan mulia secara moral.
Dampak positif dari transformasi pendidikan kesehatan sangat luas. Lulusan yang berkualitas akan meningkatkan mutu layanan, membangun kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan, serta memperkuat reputasi Indonesia di mata dunia. Dalam konteks globalisasi, tenaga kesehatan yang unggul dan berintegritas juga menjadi instrumen daya saing bangsa, karena isu kesehatan kini tidak terlepas dari agenda pembangunan berkelanjutan.
Namun, perubahan fundamental ini tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Transformasi pendidikan kesehatan membutuhkan kolaborasi multi-pihak. Pemerintah wajib menyediakan regulasi, pendanaan, dan infrastruktur yang memadai. Perguruan tinggi harus memperbarui kurikulum dan metode pengajaran. Dunia industri kesehatan dituntut membuka ruang sinergi yang lebih erat. Sementara itu, mahasiswa harus memiliki komitmen belajar yang kuat, berpegang teguh pada nilai profesionalisme, dan berani berinovasi.
Pada akhirnya, peningkatan mutu pendidikan kesehatan tidak boleh dipandang semata sebagai upaya menghasilkan tenaga kerja. Lebih dari itu, ia adalah proses membentuk insan profesional yang mampu memikul amanah kemanusiaan. Dengan fondasi pendidikan yang kokoh, integrasi teknologi yang bijaksana, dosen yang kompeten, serta penanaman nilai moral yang kuat, Indonesia akan mampu menghadirkan tenaga kesehatan yang tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga berjiwa humanis.
Transformasi ini adalah panggilan sejarah. Ia bukan sekadar tentang menjawab kebutuhan masyarakat hari ini, tetapi juga tentang menyiapkan bangsa agar mampu berdiri sejajar di panggung global. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan harus kita perjuangkan sebagai salah satu pilar utama peradaban yang adil, merata, dan berdaya saing
Corresponding author: Sri Rahayu Sukirman (email: [email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Membangun Peradaban Kesehatan
2 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler