Konflik Elite Filipina: Ketegangan Duterte-Marcos dan Masa Depan Demokrasi
Selasa, 26 November 2024 13:33 WIB
Konflik antara Sara Duterte dengan Bongbong Marcos semakin memanas.
Konflik yang terjadi antara elite politik Filipina yaitu Sara Duterte Wakil Presiden Filipina dengan Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., semakin memanas. Konflik ini dimulai ketika Sara Duterte sebagai wakil presiden sekaligus putri mantan Presiden Rodrigo Duterte, menyatakan menarik diri dari kabinet Marcos Jr pada Juni 2024 lalu.
Konflik ini semakin memanjang ketika Sara Duterte dalam konferensi persnya pada Sabtu (23/11/2024) menyatakan bahwa jika dirinya terbunuh maka dia memerintahkan seseorang untuk membunuh Presiden Bongbong Marcos dan istrinya Liza Araneta serta Martin Romualdez Ketua Parlemen Filipina.
Konflik yang terjadi ini menjadi sorotan publik terutama berkaitan dengan lanskap politik Filipina. Ketegangan yang terjadi antara Sara Duterte dan Bongbong Marcos tidak hanya mencerminkan hubungan internal dua dinasti politik yang berkuasa, akan tetapi mengundang pertanyaan tentang bagaimana masa depan demokrasi di Filipina.
Akar Perseteruan Duterte-Marcos
Perseteruan yang terjadi berakar pada permasalahan distribusi kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya politik. Sebagai tokoh politik yang berpengaruh di Mindanao, Sara Duterte memiliki basis massa yang cukup solid dan posisi strategis sebagai wakil presiden. Di lain sisi, Bongbong Marcos sebagai presiden mencoba memanfaatkan posisinya untuk memperbaiki dan memperkuat citra keluarga Ferdinand Marcos yang tercoreng karena rezim oritarian selama memimpin Filipina.
Pada Pemilu Filipina 2022 lalu, antara Duterte dan Marcos mencoba membangun alinasi untuk mengkonsolidasikan suara dari beberapa wilayah seperti Mindanao, Visayas, dan Luzon. Akan tetapi, pasca kemenangan dalam pemilu terdapat perbedaan visi dan ambisi yang mulai memuncak.
Perbedaan pandangan mengenai kebijakan pemerintah dan alokasi kekuasaan antar sekutu politik Sara Duterte dan Bongbong Marcos memicu perselisihan lebih lanjut. Hal ini dapat dilihat ketika dalam beberapa kesempatan, antara Sara dan Bongbong saling melempar kritik yang mencerminkan keretakan koalisi. Sara Duterte kecewa terhadap beberapa keputusan dan kebijakan yang diambil pemerintahan Marcos yang dianggap tidak sesuai prioritas politik Duterte.
Konflik ini diperkuat ketika Sara Duterte pada Juni 2024 mengundurkan diri dari Menteri Pendidikan dan Kepala Badan Anti Pemberontakan Filipina. Alasan Sara Duterte mundur karena dalam kabinet yang dipimpin Bongbong Marcos, dirinya merasa menderita dalam kabinet.
Namun terdapat asumsi bahwa penyebab utama mundurnya Sara Duterte adalah penangkapan sekutu keluarga Duterte yaitu Pendeta Apollo Quiboloy karena otoritas Filipina mendakwa Apollo melakukan pelecehan seksual dan eksploitasi anak.
Konflik yang terjadi juga mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai anggaran nasional, penunjukan beberapa pejabat Filipina, serta agenda politik jangka panjang, bahkan adanya potensi pencalonan Sara Duterte sebagai calon presiden pada pemilu berikutnya memperpanjang konflik yang terjadi.
Bagaimana dampak bagi Demokrasi Filipina?
Konflik yang terjadi antara presiden dengan wakil presiden ini memunculkan kekhawatiran terkait bagaimana demokrasi Filipina bisa bertahan menghadapi dinamika elite Filipina yang semakin mendominasi. Keberadaan dinasti politik seperti keluarga Duterte dan Marcos dianggap menghambat partisipasi rakyat dan mempersempit ruang demokrasi substantif.
Pemilu yang harusnya memperkuat kedaulatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, justru dimanfaatkan oleh keluarga Duterte dan Marcos untuk memperkuat kekuasaan mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini mengorbankan prinsip dasar demokrasi seperti partisipasi rakyat, transparansi, dan akuntabilitas.
Robert Dahl dalam Polyarchy: Participation and Opposition menyatakan bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi inklusif dan kompetisi politik yang bebas dan adil. Konflik yang terjadi antara Duterte dan Marcos ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam kompetisi politik di Filipina. Meski kompetisi dilakukan secara terbuka dan prosedural, akan tetapi kekuasaan terpusat pada elite dinasti politik yang berpotensi membatasi partisipasi rakyat secara inklusif.
Sering kali konflik antar elite memunculkan pertanyaan sejauh mana institusi demokrasi mampu mengelola persaingan tanpa memberikan dampak negatif terhadap stabilitas politik suatu negara. Konflik antara Duterte dan Marcos menggarisbawahi bagaimana sistem politik Filipina menjadi ajang peraturan antar elite politik dan berdampak pada kepentingan rakyat yang dikesampingkan.
Larry Diamond dalam The Spirit of Democracy mengemukakan bahwa diperlukan akuntabilitas elite politik dan kekuatan masyarakat sipil untuk mewujudkan demokrasi yang stabil. Konflik yang terjadi antara Duterte dan Marcos menyoroti lemahnya akuntabilitas elite politik di Filipina. Perseteruan yang terjadi tetap berjalan dalam sistem yang tidak mengutamakan kepentingan publik. Keberadaan masyarakat sipil di Filipina juga tidak bisa mengimbangi kekuasaan elite yang justru mereka terfragmentasi dan sulit melawan dominasi dinasti politik.
Konflik yang terjadi mencerminkan adanya kemunduran demokrasi di Filipina. Pasca gelombang demokratisasi pada era pasca Ferdinad Marcos, saat ini Filipna kembali menghadapi dinasti politik yang menghambat demokrasi substantif. Sebagaimana disampaikan oleh Huntington dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century bahwa Filipina perlu lembaga demokrasi yang kuat untuk menahan pengaruh elite yang mengancam demokrasi.
Implikasi bagi ASEAN dan Indonesia
Untuk menjaga perdamaian dan kerja sama regional yang kuat, ASEAN mengandalkan stabilitas internal negara-negara anggota. Keberadaan ketidakstabilan politik yang dihadapi Filipina menyebabkan negara tersebut tidak fokus pada isu yang dihadapi ASEAN, seperti konflik Laut China Selatan (LCS). Hal ini dapat mempengaruhi stabilitas keamanan di LCS yang juga menjadi isu penting dan akan berdampak bagi Indonesia terutama wilayah perairan Natuna.
Dalam kepemimpinannya, Sara Duterte mencoba mengembangkan politik populisme di Filipina. Sementara itu Bongbong Marcos mencoba untuk menghidupkan kembali warisan otoritarian sang ayah Ferdinad Marcos. Secara tidak langsung hal ini bisa berpengaruh terhadap gaya politik di negara ASEAN lain.
Populisme yang ada di Filipina bisa berpotensi untuk menginspirasi politisi di Indonesia menggunakan retorika populis yang dapat mengancam stabilitas demokrasi. Apabila konflik di Filipina mengarah pada kebijakan ekstrem baik populis atau otoritarian, maka Indonesia harus mewaspadai dampaknya bagi kesinambungan demokrasi di kawasan.
Konflik yang terjadi dapat memperkuat narasi negatif bahwa demokrasi di Asia Tenggara sedang mengalami reverse wave atau kemunduran terutama ditandai dengan meningkatnya otoritarianisme di beberapa negara kawasan.
Bagi Indonesia, diperlukan upaya yang menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia mampu bertahan dan berkembang. Hal ini bisa dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi termasuk dalam kebijakan luar negeri.
Apabila konflik melemahkan pemerintahan Bongbong Marcos, Filipina mungkin akan mengubah kebijakan luar negeri termasuk relasi dengan China dan Amerika Serikat. Hal ini berimplikasi pada perubahan kebijakan luar negeri Filipina yang dapat mempengaruhi keseimbangan di kawasan. Hal ini tentu saja dapat berdampak bagi Indonesia untuk menyesuaikan strategi diplomatik. Indonesia haru siap menghadapi skenario Filipina yang dapat condong ke salah satu kekuatan besar yang mempengaruhi dinamika ASEAN secara keseluruhan.
Prospek Masa Depan Filipina
Konflik yang terjadi di Filipina menunjukkan bahwa sistem politik Filipina membutuhkan reformasi untuk mengatasi dominasi elite dan memperkuat institusi demokrasi. Apabila konflik dikelola dengan baik, maka dapat membuka jalan bagi perubahan positif seperti penguatan checks and balances ataupun peningkatan partisipasi rakyat dalam proses politik.
Akan tetapi, apabila konflik semakin bereskalasi tanpa penyelesaian, Filipina menghadapi ketidakstabilan yang semakin runyam. Fokus pemerintah Filipina dapat terpecah antara menyelesaikan konflik internal atau tetap menjalankan agenda pembangunan. Tentu saja pihak yang dirugikan dari konflik ini adalah rakyat Filipina sendiri.
Konflik ini menjadi ujian besar bagi demokrasi Filipina yang memunculkan pertanyaan apakah sistem ini mampu bertahan menghadapi tantangan internal yang datang dari elite yang seharusnya melindunginya atau justru Filipina akan terus terjebak dalam siklus oligarki politik yang tak berkesudahan.

Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
2 Pengikut

Bangkitnya Kembali Demokrasi dari Jalanan
Sabtu, 30 Agustus 2025 14:42 WIB
Prabowo, Militerisme, dan Jalan Sunyi Demokrasi
Senin, 25 Agustus 2025 14:41 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler