PKS Tumbang di Depok; Antitesis Setelah Kekuasaan Dua Dekade

Selasa, 3 Desember 2024 12:59 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
PKS tandatangani pakta integritas dg kpk
Iklan

PKS yang telah memimpin Depok selama dua dekade akhirnya tumbang dalam Pilkada 2024. Gagal beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat dan keretakan internal menjadi penyebab utama. Keputusan pragmatis dan kekecewaan publik membuka jalan bagi perubahan yang ditawarkan oleh Supian Suri. Perubahan ini mencerminkan dialektika politik, di mana dominasi PKS sebagai tesis digantikan oleh antitesis yang memunculkan sintesis baru dalam politik Depok.

Selama dua dekade, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menguasai Depok bak seorang raja yang tak tergoyahkan. Namun, Pilkada 2024 mengubah segalanya. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apakah ia hanya sekadar kebetulan politik, atau justru konsekuensi dari perubahan dialektis antara kekuasaan dan masyarakat? Kita perlu membedah ini dengan pisau analisis kritis.

Maurice Duverger pernah menekankan bahwa keberlanjutan dominasi politik memerlukan adaptasi terhadap kebutuhan zaman dan integrasi antar elemen dalam struktur kekuasaan. Di Depok PKS gagal pada dua aspek ini. Selama dua dekade, kekuasaan mereka tidak beradaptasi dengan dinamika baru di masyarakat Depok. Pada saat yang sama, internal partai tidak solid, tercium ada keretakan yang tak kasat mata namun sangat nyata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lihatlah realitas di masyarakat. Apa yang PKS janjikan dulu? Perubahan! Namun, perubahan itu hanya terasa di pusat kota, seperti di sepanjang Jalan Margonda. Apa yang terjadi di pinggiran Depok? Warga bergulat dengan banjir, sampah, sanitasi buruk, dan jalan rusak. Realitas ini menampilkan ironi besar, sebuah partai yang mengklaim reformis justru gagal menerapkan teori pelayanan publik yang mendasar. Elinor Ostrom dalam teori polycentric governance menekankan bahwa pemerintahan yang baik adalah yang melibatkan semua lapisan masyarakat. PKS tampaknya melupakan prinsip ini.

Namun, yang lebih menarik adalah bagaimana internal PKS mulai keropos. Ada yang keluar, ada yang mendirikan partai baru. Lihatlah, ketika kader-kader senior seperti air yang mengalir meninggalkan bendungan, bukankah itu tanda bahwa struktur bendungan sedang retak? Menurut David Easton, sistem politik akan runtuh ketika masukan dari masyarakat tidak lagi diterjemahkan menjadi kebijakan yang memuaskan. Kekacauan internal PKS menjadi bukti dari kegagalan ini.

Keputusan bergabung dengan koalisi Prabowo memperparah situasi. Publik yang dulu melihat PKS sebagai partai reformis kini melihat mereka pragmatis. Di sisi lain, Supian Suri meski didukung oleh koalisi KIM melihat celah lalu menawarkan harapan baru. Ia tidak hanya menjanjikan perubahan ia dan wakilnya Chandra menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin. Anthony Downs pernah berkata bahwa pemilih adalah aktor rasional. Ketika partai lama gagal, mereka akan mencari alternatif yang lebih menjanjikan. Itulah yang terjadi di Depok.

Apa yang bisa kita pelajari dari ini? Kekuasaan yang terlalu lama tanpa inovasi pasti akan runtuh. Seperti hukum dialektika Hegel, setiap tesis yang dominan akan melahirkan antitesis, hingga akhirnya tercipta sintesis baru. Dominasi PKS adalah tesis, dan kekalahan mereka adalah antitesis. Kini, Depok memasuki era baru, sintesis dari perubahan itu.

Gramsci pernah berkata, “Hegemoni hanya bertahan selama ia memiliki legitimasi.” Jika PKS ingin kembali, mereka harus membangun ulang legitimasi mereka. Namun, itu tidak bisa dilakukan hanya dengan janji kosong. Kepercayaan rakyat adalah kunci, dan kepercayaan itu hanya bisa diraih melalui perubahan nyata.

Depok telah berbicara. Pesannya jelas: rakyat menginginkan perubahan, bukan sekadar perpanjangan dari status quo. Mari kita tunggu, apakah PKS mampu menjawab tantangan ini, atau justru tenggelam dalam pusaran sejarah.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler