PPh vs PPN: Memahami Perbedaan Mendasar Dua Sumber Pendapatan Negara
Selasa, 31 Desember 2024 05:51 WIB
Pemahaman yang baik mengenai perbedaan antara PPN dan PPh diperlukan untuk dapat membantu masyarakat agar lebih kritis dan konstruktif dalam menanggapi kebijakan perpajaka,
Yogyakarta - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 telah memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Aksi protes di media sosial semakin marak, dengan banyaknya pengguna yang menyuarakan keberatan terhadap kebijakan ini. Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaan antara PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) agar dapat mengapresiasi implikasi dari kebijakan perpajakan yang sedang dibahas.
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. PPN dibayar oleh konsumen akhir saat melakukan pembelian, namun pemungutannya dilakukan oleh pengusaha yang menjual barang atau jasa tersebut. Saat ini, tarif PPN adalah 11%, dan direncanakan akan naik menjadi 12% pada 2025.
Di sisi lain, PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima individu atau badan. PPh dibayar langsung oleh penerima penghasilan, seperti gaji atau laba usaha, dengan tarif yang bervariasi tergantung pada jenis PPh yang berlaku.
Perbedaan utama antara PPN dan PPh terletak pada objek pajaknya. PPN dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi barang/jasa, sedangkan PPh dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak. Dalam hal ini, PPN dibayar oleh konsumen akhir, sedangkan PPh dibayar oleh individu atau badan yang menerima penghasilan.
Tarif pajak yang dikenakan untuk kedua jenis pajak ini juga berbeda. PPN umumnya dikenakan dengan tarif tetap (saat ini 11%, direncanakan akan naik menjadi 12%), sementara PPh memiliki tarif progresif atau tetap tergantung kategori pajaknya.
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pertama kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 7 Oktober 2021. Kebijakan tersebut kemudian diterbitkan oleh Presiden pada 29 Oktober 2021. Dalam UU HPP ini, terdapat ketentuan yang mengatur kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022, dan selanjutnya menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Pernyataan mengenai rencana kenaikan PPN menjadi 12% kembali disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers bertajuk "Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan" yang dilaksanakan di Jakarta.
"Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir," ungkap Menkeu pada Senin (16/12), dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan.
Rencana kenaikan PPN menjadi 12% ini kemudian memicu aksi penolakan di media sosial. Penolakan ini mencapai puncaknya pada pertengahan Desember 2024, ditandai dengan viralnya tagar #PajakMencekik yang mencapai 21,5 juta jangkauan di Twitter per 17 Desember 2024, diikuti tagar lain seperti #TolakPPN12Persen dan #TolakKenaikanPPN12Persen.
Melihat berbagai reaksi di media sosial dengan banyaknya pengguna menyatakan keberatan dan kekhawatiran bahwa hal ini akan membebani masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih setelah pandemi. Pemahaman yang baik mengenai perbedaan antara PPN dan PPh diperlukan untuk dapat membantu masyarakat agar lebih kritis dan konstruktif dalam menanggapi kebijakan perpajakan yang ada. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% bukan sekadar angka, tetapi memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan pemahaman yang tepat, diharapkan masyarakat dapat menghindari kesalahpahaman dalam implementasi kebijakan perpajakan yang akan datang.
Keterangan gambar: Poster Aksi Penolakan Rencana Kenaikan PPN 12persen (Sumber: x.com/barengwarga dan x.com/melodiysore)
Baca Juga
Artikel Terpopuler