Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Takdir Allah Bersamaan dengan Hukum sebagai Perantara Ketetapan-Nya.

Sabtu, 11 Januari 2025 11:52 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
ketetapan dan ketentuan Tuhan
Iklan

Rukun Iman yang ke-enam, yaitu percaya kepada Qadha dan Qadar, merupakan salah satu aspek fundamental dalam akidah Islam. Qadha merujuk pada ketetapan Allah yang telah ditentukan sejak azali, sementara Qadar adalah realisasi dari ketetapan tersebut dalam kehidupan manusia. Konsep ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, termasuk dalam kehidupan manusia, telah ditentukan oleh Allah SWT sesuai dengan ilmu dan kehendak-Nya yang Maha Sempurna.

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.

 

 : رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلّم قَالَ

عَنْ عُمَرَ رضي الله عنه أَيضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ: أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّهُ 

.جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ 

artinya :

Rasulullah Bersabda : 

Di riwayatkan, dari Umar radhiyallahu ‘anhu pula dia berkata; pada suatu hari ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki berpakaian sangat putih, dan rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya, kemudian ia duduk di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendekatkan lututnya lalu meletakkan kedua tangannya di atas pahanya, seraya berkata: ‘Wahai Muhammad jelaskan kepadaku tentang Islam?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah Al Haram jika engkau mampu mengadakan perjalanan ke sana.” Laki-laki tersebut berkata: ‘Engkau benar.’ Maka kami pun terheran-heran padanya, dia yang bertanya dan dia sendiri yang membenarkan jawabannya. Dia berkata lagi: “Jelaskan kepadaku tentang iman?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: (Iman itu adalah) Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir serta engkau beriman kepada takdir baik dan buruk.” Ia berkata: ‘Engkau benar.’ Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi: ‘Jelaskan kepadaku tentang ihsan?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Ihsan adalah) Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sungguh Diamelihatmu.” Dia berkata: “Beritahu kepadaku kapan terjadinya kiamat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.” Ia berkata: “Jelaskan kepadaku tanda-tandanya!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya dan jika engkau mendapati penggembala kambing yang tidak beralas kaki dan tidak pakaian saling berlomba dalam meninggikan bangunan.”

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemudian laki-laki itu pergi, aku pun terdiam sejenak.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku: Wahai ‘Umar, tahukah engkau siapa orang tadi?” Aku pun menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan agama ini kepada kalian.” (HR Muslim). (Sumber Hadis Arba'in/ https://haditsarbain.com/hadits/rukun-islam-iman-dan-ihsan/).

 
6 Rukun iman adalah enam dasar kepercayaan dalam Islam yang wajib diyakini dan diamalkan oleh umat Islam: 
 
  • Iman kepada Allah SWT
  • Iman kepada malaikat
  • Iman kepada kitab-kitab Allah SWT
  • Iman kepada rasul-rasul Allah SWT
  • Iman kepada hari akhir
  • Iman kepada qada dan qadar

 

Mari kita bahas beberapa problem pemahaman seputar rukun Iman yang ke-enam, yaitu percaya kepada Qadha dan Qadar, merupakan salah satu aspek fundamental dalam akidah Islam. Qadha merujuk pada ketetapan Allah yang telah ditentukan sejak azali, sementara Qadar adalah realisasi dari ketetapan tersebut dalam kehidupan manusia. Konsep ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, termasuk dalam kehidupan manusia, telah ditentukan oleh Allah SWT sesuai dengan ilmu dan kehendak-Nya yang Maha Sempurna.

Dalam pemahaman ini, takdir Allah berjalan bersamaan dengan hukum-hukum yang telah Dia tetapkan sebagai perantara ketetapan-Nya. Artinya, meskipun Allah telah menentukan takdir, manusia tetap memiliki kewajiban untuk berusaha dan mengikuti sunnatullah (hukum alam) yang telah ditetapkan-Nya. Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", menjelaskan bahwa takdir dan ikhtiar (usaha manusia) tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Beliau menegaskan bahwa manusia diberikan kemampuan untuk memilih dan bertindak, namun hasil akhirnya tetap berada dalam ketetapan Allah.

Syaikh Ibn Taimiyyah, dalam "Majmu' al-Fatawa", menekankan bahwa iman kepada takdir tidak berarti pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, ia mendorong manusia untuk lebih giat berusaha sambil bertawakal kepada Allah. Beliau menganalogikan hal ini dengan seorang petani yang menanam benih; meskipun hasil panen sudah ditakdirkan, petani tetap harus menanam, merawat, dan mengairi tanamannya sebagai bentuk ikhtiar.

Dalam konteks dalil aqli, para ulama sering menggunakan metode qiyas (analogi) untuk menjelaskan konsep ini. Misalnya, Imam Asy-Syafi'i dalam "Ar-Risalah" menganalogikan takdir dengan perjalanan seorang musafir. Meskipun tujuan akhir perjalanan sudah ditentukan, musafir tetap harus memilih rute, menyiapkan bekal, dan melakukan perjalanan. Ini mengilustrasikan bagaimana takdir dan usaha manusia berinteraksi.

Imam Al-Juwayni dalam "Al-Irsyad" menggunakan analogi lain, membandingkan takdir dengan sistem pemerintahan. Meskipun pemerintah memiliki rencana dan kebijakan (analogous dengan takdir), warga negara tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dan mematuhi hukum (analogous dengan usaha manusia dan sunnatullah).

Penting untuk dipahami bahwa konsep Qadha dan Qadar bukan berarti determinisme mutlak atau fatalisme. Sebaliknya, ia menekankan keseimbangan antara ketetapan Allah dan tanggung jawab manusia. Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam "Shifat al-Shafwah" menegaskan bahwa iman kepada takdir seharusnya mendorong optimisme dan kerja keras, bukan pasivitas atau keputusasaan.

Dalam praktiknya, pemahaman ini mendorong umat Islam untuk senantiasa berusaha maksimal dalam segala aspek kehidupan, sambil tetap berserah diri kepada Allah atas hasilnya. Ini menciptakan keseimbangan antara ikhtiar (usaha) dan tawakal (berserah diri), yang merupakan esensi dari ajaran Islam dalam menghadapi berbagai tantangan dan peluang dalam kehidupan. Konsep ini juga mengajarkan umat Islam untuk menerima dengan lapang dada segala hasil dari usaha mereka, baik itu keberhasilan maupun kegagalan, karena semua itu adalah bagian dari rencana Allah yang Maha Bijaksana.

Imam An-Nawawi dalam kitabnya "Syarh Sahih Muslim" menekankan pentingnya memahami bahwa Qadha dan Qadar tidak menafikan sebab-akibat dalam kehidupan. Beliau menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan sistem sebab-akibat sebagai bagian dari sunnatullah, dan manusia diwajibkan untuk mengikuti sistem ini sambil tetap beriman bahwa hasil akhirnya adalah ketentuan Allah.

Dalam konteks modern, pemahaman tentang Qadha dan Qadar ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya, dalam bidang kesehatan, seorang Muslim diharapkan untuk berobat ketika sakit (sebagai bentuk ikhtiar) sambil berdoa dan berserah kepada Allah untuk kesembuhannya (sebagai bentuk iman kepada takdir). Syaikh Yusuf Al-Qaradawi, dalam berbagai tulisannya, sering menekankan pentingnya keseimbangan ini dalam menghadapi tantangan kontemporer.

Lebih jauh lagi, konsep ini juga memiliki implikasi penting dalam etika dan moralitas Islam. Imam Al-Maturidi dalam "Kitab at-Tauhid" menjelaskan bahwa iman kepada Qadha dan Qadar tidak menghilangkan tanggung jawab moral manusia. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa manusia tetap bertanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka, meskipun pilihan-pilihan tersebut telah diketahui oleh Allah sejak azali.

Dalam konteks sosial, pemahaman ini mendorong sikap toleransi dan kasih sayang. Imam Al-Ghazali dalam "Kimiya-e-Sa'adat" mengajarkan bahwa iman kepada takdir seharusnya membuat seseorang lebih memahami dan memaafkan kesalahan orang lain, karena semua adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar.

Kesimpulannya, Rukun Iman yang ke-enam ini mengajarkan keseimbangan antara penerimaan terhadap ketetapan Allah dan tanggung jawab manusia untuk berusaha. Ia mendorong umat Islam untuk aktif dan produktif dalam kehidupan, sambil tetap memelihara kerendahan hati dan ketaatan kepada Allah. Pemahaman yang mendalam tentang konsep ini dapat menjadi sumber kekuatan spiritual dan panduan praktis dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern.

 

Di dalam QS. Al Qamar Ayat 49 yang berbunyi berikut :

 

.وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا

Artinya:

Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.

 

Ayat ini, yang berasal dari Surah Al-Furqan ayat 2, menegaskan konsep fundamental dalam Islam tentang kekuasaan dan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan. Frasa "فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا" (faqaddarahu taqdiiraa) menunjukkan bahwa Allah tidak hanya menciptakan segala sesuatu, tetapi juga menetapkan ukuran dan batasannya dengan presisi yang sempurna.

Dalam konteks kemampuan dan ikhtiar manusia, ayat ini mengandung implikasi mendalam. Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah menentukan takdir setiap makhluk, termasuk batas-batas kemampuan dan potensi manusia. Namun, ini bukan berarti manusia tidak memiliki kebebasan atau tanggung jawab. Sebaliknya, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, penetapan ukuran ini justru menjadi landasan bagi manusia untuk berikhtiar dalam batas-batas yang telah ditetapkan.

Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi dalam tafsirnya menekankan bahwa penetapan ukuran ini mencakup aspek fisik, mental, dan spiritual manusia. Ia menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kapasitas yang berbeda-beda, dan Allah Maha Mengetahui batas kemampuan setiap individu. Oleh karena itu, ikhtiar manusia harus dilakukan dengan memahami dan menghormati batasan-batasan ini.

Dr. Yusuf Al-Qaradawi, dalam bukunya "Al-Iman wal Hayat", mengaitkan pemahaman ayat ini dengan konsep tawakkal dalam Islam. Ia menegaskan bahwa iman terhadap takdir Allah, termasuk penetapan batas kemampuan manusia, seharusnya mendorong seseorang untuk berusaha maksimal dalam batas kemampuannya, bukan menjadi alasan untuk berpasrah tanpa usaha.

Lebih lanjut, Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyoroti bahwa penetapan ukuran ini juga mencakup hukum-hukum alam yang mengatur kehidupan. Manusia, dalam upaya dan ikhtiarnya, harus memahami dan bekerja selaras dengan hukum-hukum ini untuk mencapai hasil yang optimal.

Dengan demikian, ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Allah telah menetapkan batas kemampuan manusia, hal ini tidak mengurangi pentingnya ikhtiar. Sebaliknya, pemahaman akan batasan ini seharusnya mendorong manusia untuk mengoptimalkan potensi yang telah diberikan, sambil tetap berserah diri kepada kehendak Allah. Ini mencerminkan keseimbangan antara usaha manusia dan ketentuan Ilahi, yang menjadi inti dari ajaran Islam tentang qadha dan qadar.

 

Ukuran (batas) Hidup Adalah Kematian Dan Keberhasilan Adalah Kegagalan. 

Konsep batas dan ukuran dalam kehidupan manusia merupakan tema yang mendalam dan kompleks, sebagaimana tercermin dalam pernyataan "ukuran (batas) hidup adalah kematian dan keberhasilan adalah kegagalan". Pemahaman ini memiliki resonansi kuat dengan ajaran Islam dan pemikiran filosofis yang telah berkembang selama berabad-abad. Dalam Al-Qur'an, Surah Ali 'Imran ayat 185 menegaskan bahwa setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, menetapkan kematian sebagai batas ultimat kehidupan manusia. Imam Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental "Ihya Ulumuddin", menekankan bahwa kesadaran akan kefanaan ini seharusnya menjadi pendorong bagi manusia untuk memaksimalkan kehidupannya dalam kebaikan dan ibadah.

Lebih lanjut, paradoks "keberhasilan adalah kegagalan" membuka ruang interpretasi yang kaya dalam tradisi pemikiran Islam. Dari perspektif sufistik, sebagaimana diungkapkan oleh penyair mistik Jalaluddin Rumi, kegagalan duniawi sering kali menjadi jalan menuju pencapaian spiritual yang lebih tinggi. Ini sejalan dengan konsep ikhtiar dan tawakkal dalam Islam, di mana keberhasilan sejati diukur dari usaha maksimal dan penerimaan atas hasil sebagai ketentuan Allah, bukan semata-mata dari pencapaian materi atau duniawi. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, dalam tafsirnya, menekankan pentingnya memahami keberhasilan dalam konteks ketawakkalan kepada Allah.

Pemahaman ini diperkuat oleh Surah Al-Furqan ayat 2, yang menegaskan bahwa Allah telah menetapkan ukuran dan ketentuan untuk segala sesuatu. Dr. Muhammad Iqbal, dalam karyanya "The Reconstruction of Religious Thought in Islam", menggarisbawahi bahwa kesadaran akan batasan-batasan ini seharusnya menjadi katalis bagi manusia untuk terus berusaha dan berkembang dalam parameter yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Dengan demikian, konsep kematian sebagai batas hidup dan paradoks keberhasilan-kegagalan tidak hanya merefleksikan keterbatasan eksistensi manusia, tetapi juga mengundang kita untuk memaknai ulang konsep kesuksesan dan kegagalan dalam spektrum spiritual yang lebih luas.

Dalam konteks ini, pernyataan tersebut mengajak kita untuk melakukan introspeksi mendalam dan melihat setiap peristiwa dalam hidup sebagai bagian dari rencana Allah yang Maha Bijaksana. Ini mendorong umat Islam untuk tidak hanya fokus pada pencapaian duniawi, tetapi juga pada pertumbuhan spiritual dan kontribusi positif terhadap sesama. Pemahaman holistik ini menjembatani kesenjangan antara aspek material dan spiritual kehidupan, mengingatkan kita akan tujuan utama keberadaan manusia di dunia ini: untuk beribadah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi.

Dengan demikian, refleksi atas batas hidup dan makna keberhasilan ini bukan hanya exercise filosofis, tetapi juga panduan praktis dalam menjalani kehidupan. Ia mengajak kita untuk hidup dengan kesadaran penuh akan keterbatasan waktu yang kita miliki, sambil terus berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan, dengan keyakinan bahwa nilai sejati dari usaha kita terletak pada niat dan proses, bukan semata-mata pada hasil akhir yang terlihat. Dalam paradigma ini. Setiap konsep batas dan ukuran dalam kehidupan manusia, terutama dalam konteks Islam, memang merupakan tema yang kaya dan mendalam. Mari kita lanjutkan pembahasan ini dengan memperluas perspektif dan implikasinya:

Dalam tradisi Islam, pemahaman tentang batas hidup dan makna keberhasilan tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang signifikan. Konsep ini mendorong umat Muslim untuk menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh akan keterbatasan waktu mereka di dunia, sambil tetap berusaha maksimal dalam setiap tindakan. Ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, di mana beliau menasihati, "Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok."

Lebih jauh lagi, pemahaman ini membentuk cara pandang unik terhadap konsep kesuksesan dan kegagalan. Dalam perspektif Islam, kesuksesan sejati tidak diukur semata-mata dari pencapaian materi atau pengakuan duniawi, melainkan dari keselarasan tindakan seseorang dengan kehendak Allah dan manfaatnya bagi umat manusia. Ini meresonansikan dengan ajaran Al-Qur'an dalam Surah Al-Kahfi ayat 7, yang menyatakan bahwa Allah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang terbaik amalnya.

Konsep "kegagalan adalah keberhasilan" juga dapat dipahami dalam konteks ujian dan cobaan dalam Islam. Al-Qur'an sering menekankan bahwa kesulitan dan tantangan adalah bagian integral dari kehidupan manusia, berfungsi sebagai sarana untuk menguji dan memperkuat iman. Surah Al-Baqarah ayat 155 menjelaskan bahwa Allah pasti akan menguji manusia dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dalam perspektif ini, apa yang tampak sebagai kegagalan bisa jadi merupakan kesempatan untuk pertumbuhan spiritual dan penguatan karakter.

Pemahaman ini juga berimplikasi pada bagaimana seorang Muslim memandang kematian. Alih-alih dilihat sebagai akhir yang menakutkan, kematian dipahami sebagai transisi ke fase kehidupan berikutnya. Ini mendorong umat Islam untuk mempersiapkan diri secara spiritual dan moral, menjadikan setiap momen hidup sebagai kesempatan untuk beramal saleh. Sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Mulk ayat 2, Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara manusia yang lebih baik amalnya.

Dalam konteks sosial dan masyarakat, pemahaman ini mendorong sikap moderat dan seimbang. Ia mengajarkan untuk tidak terlalu terbuai oleh keberhasilan duniawi atau terpuruk oleh kegagalan sementara. Sebaliknya, ia menekankan pentingnya konsistensi dalam berbuat baik dan bermanfaat bagi sesama, terlepas dari hasil yang terlihat. Ini sejalan dengan konsep amal jariyah dalam Islam, di mana nilai sejati dari perbuatan baik terletak pada keberlanjutan manfaatnya, bahkan setelah seseorang meninggal dunia.

Dengan demikian, refleksi atas batas hidup dan makna keberhasilan dalam Islam bukan hanya wacana filosofis, tetapi juga panduan praktis dalam menjalani kehidupan. Dan, serta-merta, konsep batas hidup dan makna keberhasilan dalam Islam memiliki pengaruh mendalam terhadap kehidupan sehari-hari umat Muslim. Pemahaman akan keterbatasan hidup mendorong manajemen waktu yang lebih bijak dan penentuan prioritas yang lebih baik, sebagaimana tercermin dalam hadits yang menganjurkan untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya sebelum datangnya berbagai keterbatasan. Prinsip ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan pribadi, tetapi juga etos kerja dan profesionalisme, di mana umat Muslim didorong untuk melakukan yang terbaik dalam setiap tugas dan tanggung jawab, memandang pekerjaan sebagai bagian dari ibadah.

Lebih lanjut, pemahaman ini juga mendorong keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Umat Muslim dianjurkan untuk tidak mengabaikan kebutuhan duniawi mereka, namun juga tidak menjadikannya sebagai tujuan utama, sesuai dengan ajaran Al-Qur'an. Sikap terhadap kegagalan dan kesuksesan pun dipengaruhi, di mana kegagalan dipandang sebagai bentuk ujian dan kesempatan untuk berkembang, sementara kesuksesan diterima dengan rasa syukur dan kerendahan hati.

Dalam konteks sosial dan kemasyarakatan, kesadaran akan keterbatasan hidup mendorong sikap lebih peduli dan dermawan, menyadari bahwa setiap perbuatan baik bisa jadi adalah yang terakhir. Ini sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya sedekah dan berbuat baik kepada sesama. Selain itu, pemahaman bahwa hidup adalah ujian juga mendorong semangat untuk terus belajar dan mengembangkan diri, menjadikan pembelajaran sebagai proses seumur hidup.

Dengan demikian, konsep batas hidup dan makna keberhasilan dalam Islam tidak hanya menjadi pemahaman teoretis, tetapi benar-benar terimplementasi dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Mulai dari manajemen waktu, etika kerja, keseimbangan hidup, sikap terhadap tantangan dan kesuksesan, hingga hubungan sosial dan pengembangan diri, semuanya mencerminkan bagaimana ajaran Islam tentang kehidupan dan kematian membentuk pola pikir dan perilaku umatnya. Pemahaman ini memberikan kerangka yang komprehensif bagi umat Muslim untuk menjalani kehidupan dengan penuh makna, bertanggung jawab, dan senantiasa berorientasi pada kebaikan dunia dan akhirat.

 

Untuk memperdalam pemahaman tentang konsep batas hidup dan makna keberhasilan dalam Islam dari perspektif ulama dalam negeri Indonesia, berikut beberapa referensi bacaan yang dapat Anda telusuri:

1. "Renungan Tentang Umur" oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab
   Buku ini membahas makna kehidupan dan kematian dari sudut pandang Al-Qur'an dan Hadits, memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana memahami dan memanfaatkan umur dengan bijaksana. 2. "Membumikan Al-Qur'an" oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab
   Meskipun bukan fokus utama buku, ada bagian-bagian yang membahas tentang konsep waktu dan kehidupan dalam perspektif Islam. 3. "Tasawuf Modern" oleh Buya Hamka
 

Buku ini membahas berbagai aspek kehidupan spiritual Islam, termasuk bagaimana memahami makna hidup dan sukses dari perspektif tasawuf.4. "Fiqih Prioritas" oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia).

Buku i ni membahas tentang bagaimana menentukan prioritas dalam kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.

5. "Manajemen Qalbu" oleh KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)
   Meskipun lebih fokus pada manajemen diri, buku ini juga membahas tentang bagaimana memahami dan menjalani hidup dengan makna. 6. "Meraih Sukses Dunia Akhirat" oleh Prof. Dr. Didin Hafidhuddin

Buku ini membahas konsep sukses dalam perspektif Islam, menggabungkan aspek duniawi dan ukhrawi.

7. "Menjemput Kematian" oleh KH. Maimoen Zubair
   Buku ini membahas persiapan menghadapi kematian dan bagaimana hal ini memengaruhi cara kita menjalani hidup.

8. "Risalah Manajemen Dakwah Kampus" oleh Imaduddin Abdulrahim
   Meskipun fokus pada dakwah kampus, buku ini juga membahas konsep waktu dan pencapaian dalam konteks Islam.

9. "Mutiara Ihya Ulumuddin" oleh Imam Al-Ghazali, diterjemahkan dan diringkas oleh Irwan Kurniawan
   Buku ini merupakan ringkasan dari karya besar Imam Al-Ghazali yang membahas berbagai aspek kehidupan Muslim, termasuk pemahaman tentang hidup dan mati.

10. "Menuju Kesempurnaan Akhlak" oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus)
    Buku ini membahas tentang pembentukan karakter dan akhlak yang baik, yang erat kaitannya dengan pemahaman tentang tujuan hidup dalam Islam.

Referensi-referensi ini menawarkan perspektif yang kaya dari para ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia tentang topik batas hidup dan makna keberhasilan dalam Islam. Mereka menggabungkan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam dengan konteks keindonesiaan, memberikan wawasan yang relevan dan aplikatif bagi pembaca di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler