Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Larangan Berputus Asa dalam Islam, Analisis Pelajaran Surah Yusuf Ayat 87.

Minggu, 12 Januari 2025 16:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
\x200e5 Cara Mengatasi Rasa Putus Asa Saat Doa Belum Dikabulkan
Iklan

Islam sebagai agama yang komprehensif memberikan perhatian khusus terhadap kondisi psikologis dan spiritual manusia. Salah satu aspek penting yang ditekankan dalam ajaran Islam adalah larangan untuk berputus asa dari rahmat Allah SWT. Hal ini tercermin dengan jelas dalam Surah Yusuf ayat 87, di mana Allah SWT menyampaikan pesan universal melalui kisah Nabi Yaqub AS.

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.

 

 

 

.يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِۗ اِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

artinya :

Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” (QS. Surat Yusuf 87).

Islam sebagai agama yang komprehensif memberikan perhatian khusus terhadap kondisi psikologis dan spiritual manusia. Salah satu aspek penting yang ditekankan dalam ajaran Islam adalah larangan untuk berputus asa dari rahmat Allah SWT. Hal ini tercermin dengan jelas dalam Surah Yusuf ayat 87, di mana Allah SWT menyampaikan pesan universal melalui kisah Nabi Ya'qub AS.

Dalam konteks ayat tersebut, Nabi Ya'qub AS sedang menghadapi ujian yang sangat berat dengan kehilangan dua putra tercintanya. Meski dalam kondisi yang sangat menyedihkan, beliau tetap menjaga optimisme dan keyakinan akan pertolongan Allah. Sikap ini menjadi teladan bagaimana seorang mukmin sejati harus tetap menjaga harapan dalam situasi sesulit apapun.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa berputus asa dari rahmat Allah merupakan dosa besar karena hal tersebut menunjukkan keraguan terhadap sifat-sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ketika seseorang berputus asa, secara tidak langsung ia telah membatasi rahmat Allah yang tidak terbatas, dan ini bertentangan dengan konsep keimanan yang benar.

Dalam perspektif psikologi Islam, putus asa dipandang sebagai penyakit hati yang berbahaya. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa putus asa dapat menghalangi seseorang dari melakukan usaha dan ikhtiar yang semestinya. Ketika seseorang berputus asa, ia cenderung berhenti berusaha dan tenggelam dalam kesedihan yang tidak produktif.

Lebih jauh lagi, Islam mengajarkan bahwa optimisme dan harapan merupakan karakteristik orang beriman. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menekankan bahwa seorang mukmin sejati selalu memiliki prasangka baik kepada Allah (husnuzhan) dalam segala situasi. Sikap ini didasari pemahaman bahwa Allah Maha Kuasa untuk mengubah kesulitan menjadi kemudahan, kesedihan menjadi kebahagiaan.

Para ulama juga menjelaskan bahwa larangan berputus asa ini memiliki dimensi sosial yang penting. Ketika seseorang menjaga optimisme, ia akan lebih mampu memberikan pengaruh positif kepada lingkungannya. Sebaliknya, putus asa dapat menular dan mempengaruhi semangat orang-orang di sekitarnya secara negatif.

Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya "Al-Iman wal Hayat" menegaskan bahwa optimisme dalam Islam berbeda dengan optimisme sekuler. Optimisme Islam dibangun di atas fondasi keimanan yang kokoh, bukan sekadar pemikiran positif yang hampa. Ini yang membuat optimisme Islam lebih sustainable dan memberikan kekuatan spiritual yang lebih dalam.

Untuk menghindari putus asa, Islam mengajarkan beberapa langkah praktis. Pertama, memperkuat pemahaman tentang sifat-sifat Allah, khususnya tentang Rahman dan Rahim-Nya. Kedua, selalu mengingat bahwa setiap kesulitan pasti ada hikmahnya. Ketiga, memperbanyak doa dan dzikir untuk menguatkan hubungan dengan Allah. Keempat, bergaul dengan orang-orang yang memiliki semangat optimisme dalam hidup.

Kesimpulannya, larangan berputus asa dalam Islam bukan sekadar anjuran moral, tetapi merupakan bagian integral dari sistem keimanan yang komprehensif. Melalui ayat ini, Allah SWT mengajarkan bahwa optimisme dan harapan merupakan karakteristik esensial seorang mukmin, yang harus dijaga dalam situasi apapun. Pemahaman dan penerapan konsep ini akan membawa seseorang pada kehidupan yang lebih produktif dan bermakna, serta mendekatkan diri pada rahmat Allah yang tidak terbatas.

Larangan Berputus Asa dalam Perspektif Islam: Kajian Surah Yusuf Ayat 87.

Dalam Surah Yusuf ayat 87, Allah SWT menegaskan dengan sangat jelas tentang larangan berputus asa dari rahmat-Nya. Pernyataan "وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ" (wa lā tai'asū min rauhillāh) - "dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah" memiliki makna yang sangat dalam dan multidimensi.

Dimensi Teologis Larangan Berputus Asa

Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, berputus asa dari rahmat Allah merupakan salah satu dosa besar karena hal tersebut menunjukkan keraguan terhadap sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Berputus asa secara tidak langsung berarti membatasi rahmat Allah yang tidak terbatas.

Karakteristik Orang yang Berputus Asa

Dalam ayat ini, Allah SWT secara eksplisit menyatakan bahwa hanya orang-orang kafir yang berputus asa dari rahmat-Nya. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan beberapa karakteristik orang yang berputus asa:

  1. Memiliki keyakinan yang lemah terhadap kekuasaan Allah
  2. Terlalu mengandalkan perhitungan material semata
  3. Melupakan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu
  4. Tidak memahami hakikat ujian dalam kehidupan

Dampak Psikologis dan Spiritual

Berputus asa memiliki dampak negatif yang signifikan:

  1. Secara Psikologis:
  • Menurunkan motivasi hidup
  • Memicu depresi dan kecemasan
  • Menghambat kreativitas dalam mencari solusi
  1. Secara Spiritual:
  • Melemahkan hubungan dengan Allah
  • Mengurangi kualitas ibadah
  • Mempengaruhi keikhlasan dalam beramal

Cara Menghindari Putus Asa

  1. Memperkuat Iman:
  • Meningkatkan pemahaman tentang sifat-sifat Allah
  • Menyadari bahwa setiap kesulitan pasti ada hikmahnya
  • Meyakini bahwa pertolongan Allah pasti datang pada waktu yang tepat
  1. Tindakan Praktis:
  • Selalu berusaha mencari solusi
  • Berdoa dengan sungguh-sungguh
  • Memperbanyak dzikir dan istighfar
  • Bergaul dengan orang-orang yang optimis

Hikmah dari Larangan Berputus Asa

  1. Mendorong Optimisme: Larangan berputus asa mendorong muslim untuk selalu optimis dalam situasi apapun. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hijr ayat 56: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat."
  2. Membangun Ketahanan Mental:
  • Melatih kesabaran dalam menghadapi ujian
  • Mengembangkan kreativitas dalam mencari solusi
  • Memperkuat ketawakalan kepada Allah
  1. Membentuk Pribadi yang Tangguh:
  • Tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan
  • Selalu mencari peluang perbaikan
  • Memiliki daya juang yang tinggi

 

Optimisme dan Harapan dalam Perspektif Al-Quran: Analisis Surah Yusuf Ayat 87.

Surah Yusuf ayat 87 merupakan salah satu ayat yang sangat kaya akan makna dan pembelajaran, khususnya dalam konteks menghadapi kesulitan hidup dan mempertahankan optimisme. Ayat ini menceritakan momen ketika Nabi Ya'qub AS memberikan nasihat kepada anak-anaknya di tengah kesedihan yang mendalam karena kehilangan dua putra tercintanya, Yusuf dan Bunyamin.

Dalam Tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa kata "tahassasu" yang digunakan dalam ayat ini mengandung makna mencari dengan penuh kesungguhan dan ketelitian. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pentingnya usaha yang sistematis dan terencana dalam menghadapi setiap permasalahan. Nabi Ya'qub tidak hanya memerintahkan untuk mencari secara biasa, tetapi dengan pendekatan yang menyeluruh dan mendalam.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa larangan berputus asa dari rahmat Allah dalam ayat ini memiliki makna yang sangat fundamental dalam akidah Islam. Putus asa dianggap sebagai karakteristik orang-orang yang tidak beriman karena hal tersebut menunjukkan ketidakpercayaan terhadap kekuasaan dan rahmat Allah yang tidak terbatas. Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab memperkuat interpretasi ini dengan menjelaskan bahwa optimisme dalam Islam bukan sekadar sikap positif secara psikologis, tetapi merupakan manifestasi keimanan.

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dalam Tafsir As-Sa'di menekankan bahwa ayat ini mengandung dua dimensi penting: usaha fisik (mencari) dan spiritual (tidak berputus asa). Keduanya harus berjalan beriringan sebagai implementasi konsep tawakal yang benar dalam Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, di mana beliau mengajarkan untuk mengikat unta terlebih dahulu (usaha) baru kemudian bertawakal.

Dalam konteks modern, pembelajaran dari ayat ini menjadi semakin relevan. Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengaitkan konsep tidak berputus asa ini dengan semangat pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Beliau menegaskan bahwa muslim sejati seharusnya menjadi pelopor dalam optimisme dan semangat juang, bukan terjebak dalam pesimisme dan keputusasaan.

Dr. Aidh Al-Qarni dalam bukunya "La Tahzan" mengembangkan konsep ini lebih jauh dengan menjelaskan bahwa optimisme dalam Islam memiliki fondasi yang kokoh karena bersandar pada kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Berbeda dengan optimisme sekuler yang seringkali hanya berdasarkan perhitungan materialistis, optimisme Islam memiliki dimensi transendental yang memberikan kekuatan spiritual lebih dalam.

Satu aspek menarik yang disoroti oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir adalah bagaimana ayat ini menggambarkan peran ideal orangtua dalam membimbing anak-anaknya. Meski dalam kondisi sedih, Nabi Ya'qub tetap memberikan arahan yang konstruktif dan menanamkan nilai-nilai keimanan kepada anak-anaknya.

Kesimpulannya, ayat ini memberikan framework komprehensif tentang bagaimana seorang muslim seharusnya menghadapi kesulitan. Kombinasi antara usaha konkret, optimisme berbasis iman, dan keteguhan hati menjadi kunci dalam menghadapi setiap ujian. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur tafsir klasik dan modern, ayat ini tidak sekadar berbicara tentang kisah masa lalu, tetapi memberikan prinsip-prinsip yang tetap relevan untuk kehidupan kontemporer.

Referensi:

I.

1. Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad. "Al-Jami' li Ahkam Al-Quran." Dar Al-Kutub Al-Misriyyah, Cairo.
2. Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. "Tafsir Al-Quran Al-Azim." Dar Thayyibah.
3. Shihab, M. Quraish. "Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran." Lentera Hati.
4. As-Sa'di, Abdurrahman bin Nashir. "Taisir Al-Karim Ar-Rahman." Muassasah Ar-Risalah.
5. Hamka. "Tafsir Al-Azhar." Pustaka Panjimas.
6. Al-Qarni, Aidh. "La Tahzan." International Islamic Publishing House.
7. Az-Zuhaili, Wahbah. "At-Tafsir Al-Munir." Dar Al-Fikr.

II.

  1. Al-Ghazali, Abu Hamid. "Ihya Ulumuddin." Dar Al-Ma'rifah.
  2. Ar-Razi, Fakhruddin. "Mafatih Al-Ghaib." Dar Ihya At-Turats Al-Arabi.
  3. Ibn Qayyim Al-Jauziyah. "Madarij As-Salikin." Dar Al-Kitab Al-Arabi.
  4. As-Suyuthi, Jalaluddin. "Ad-Durr Al-Mantsur." Dar Al-Fikr.
  5. Al-Qurthubi, Muhammad. "Al-Jami' li Ahkam Al-Quran." Dar Al-Kutub Al-Misriyyah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler