Apa yang Kudu Dilakukan Seorang Muslim Laki-laki Sunda?

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi kekuatan Civil Society, Sumber : hukumonline.com
Iklan

Lima hal yang bisa kita renungkan.

***

Cukup jadi seorang muslim saja kita sudah punya posisi aman di Indonesia. Fasilitas ibadah di mana-mana, jaminan makanan halal mudah, pendidikan madrasah, sampai dapat libur panjang waktu lebaran. Tambah lagi jadi laki-laki, otomatis lebih gampang buat jadi pemimpin, enggak dibuat ribet dengan jam malam, malah bisa lebih bebas merokok dan ngomong jorok.

Terus kalau ditambah identitas Sunda, apalagi coraknya Priangan, makin terasa nyaman. Kita lebih bisa leluasa bilang, ini versi “Sunda” yang halus dan baik. Ini konteksnya di Jawa Barat ya, soalnya orang Sunda sering dianggap “asli” daerah.

Tiga lapis identitas ini bikin posisi kita powerfull tanpa harus berusaha keras lagi. Seolah-olah takdir kasih keberuntungan, menghendaki betapa nyamannya posisi kita. Dan justru di situlah muncul satu pertanyaan yang penting. Semua yang menempel ini mau dipakai buat apa?

Atau sebenarnya kita enggak pernah sadar kalau hidup ini jauh lebih layak. Selalu dipandang benar, dimaklum karena memang kodratnya, dilihat normal. Sekalipun dalam beberapa hal, justru kita sering bersikap arogan, keras kepala, pengen menang banyak, dan enggak pernah mau peduli sama hidup orang lain.

Tapi sekarang coba berhenti sebentar. Coba pikir, coba rasa, kalau keberadaan kita itu punya potensi buat bawa kemaslahatan orang banyak. Dan inilah lima poin yang bisa kita renungkan bersama-sama

1. Berdiri Buat Yang Dilemahkan

Pertama, jangan cuma pikir diri sendiri. Jadi laki-laki muslim Sunda itu udah paket combo maksimal. Suara gampang didengar, apalagi kalau bicara bawa-bawa moral agama. Nah itu semua bisa dipakai buat apa? Tentu buat menindas orang lain, sudah banyak lagian kejadiannya. Dari pemerkosaan, penipuan, sampai sikap-sikap penyingkiran orang yang dianggap berbeda.

Sisi yang lainnya, sangat bisa diarahkan buat kekuatan pelindung orang yang rentan. Keberadaan kita bisa jadi keberpihakan bareng minoritas, orang yang tertindas, perempuan yang dilecehkan, mereka yang miskin dan marginal. Intinya maskulinitas yang sehat itu bukan soal maco-macoan, tapi keberanian buat maju jadi tameng. Kita bisa merefleksikannya dengan makna imam (dalam ajaran Islam) dan jawara (dalam tradisi Sunda).

Berat memang. Resikonya pun tentu banyak. Kita bisa dikucilkan sama teman tongkrongan, dituduh khianat, atau dibilang aneh-aneh pokoknya. Ancaman-ancaman fisik juga sangat mungkin menyasar kita, termasuk blacklist dari tampu-tampu kekuasaan.

2. Jadi Jembatan Bukan Tembok

Kedua, jadi jembatan. Banyak banget sekat di masyarakat, antara mayoritas dan minoritas, pusat dan pinggiran, yang punya kuasa dan yang dilemahkan. Nah di situlah kita harus inisiatif mengutus diri sendiri buat bisa jadi penghubung.

Artinya, kita mesti punya kemauan buat memecah kelas sosial yang timpang. Kita harus ngomong di ruang dominan tentang situasi dan kehidupan orang-orang pinggiran. Masuklah ke kalangan kita sendiri. Di sana jadilah “juru bicara” yang enggak ngebos, yang selalu hati-hati dan bercerita penuh empatik. Berusahalah cari jalan biar enggak ditolak mentah-mentah, tetap menuturkan kisah dengan cara yang asik.

Yang lebih penting lagi, kita juga buka jalan buat bangun solidaritas kolektif. Jangan cuma main solo karir. Perubahan butuh bareng-bareng, dukungan bapak, barudak tongkrongan, pemuka agama, guru pengajar, dan sesepuh sendiri. Tekunlah, banyak-banyak udar prasangka bersama-sama. Kadang main logika, kadang membawa pengalaman pinggiran.

3. Teladan Kecil Tiap Hari

Tidak semua perjuangan harus lewat orasi demo, pimpin program, gerak komunitas, pendampingan lapangan, ceramah di atas mimbar, atau tekun menulis dengan tajam. Justru di lingkar kecil, di balik posisi yang strategis, kita selalu turun dalam perbuatan. Mencuci piring bekas makan sendiri, bukan sekedar bantu istri. Mendengarkan pendapat adik soal liburan keluarga, bukan sekedar omong-omong demokrasi. Buanglah sampah yang betul pas lagi di tongkrongan, bukan cari muka.

Keliatannya remeh. Tapi kalau dilakukan terus-menerus, wacana tampak lebih nyata, menyambung budaya yang baru. Kuncinya adalah konsistensi. Percaya kalau perubahan besar lahir dari kebiasaan kecil yang dikerjakan tiap hari. Di sinilah kita diuji bahwa kita bukan hanya bisa memetakan ini benar dan itu salah dengan jari telunjuk.

4. Curiga Sama Ego

Nah inilah bagian yang tricky ialah godaan di dalam diri. Kita mudah banget kejebak sama ambisi jadi pahlawan. Dominasi malah beralih pada niat pengen keliatan keren, pengen dipuji, pengen jadi spotlight. Turun gunung bukan berarti tebar pesona. Apalagi dengan siasat-siasat yang ciamik. Sadarilah bahwa kita sebetulnya punya kepiawaian buat bertindak manipulatif. Yang ujung-ujungnya pasti memenangkan diri sendiri lagi.

Terbukalah pada ruang-ruang kritik dan evaluasi. Rajin-rajinlah beristighfar, cek hati, dan selalu meragu sama niat sendiri. Pemahaman dan pengalam kita soal kemanusaan sangat potensial berbalik arah jadi dominasi yang lebih upgrade. Di balik kegagahan jadi laki-laki muslim Sunda, kita meski belajar ikhlas dan berani mengaku salah.

Kita kudu banyak belajar dan mendengarkan orang lain. Terutama pada mereka yang suaranya jarang terdengar. Sebab kita juga sangat mudah jatuh menyimpulkan dan hidup dalam asumsi-asumsi, tanpa pernah mau membuka ruang dialog yang bermakna. Sok tahu, sikap meremehkan orang lain, dan merasa si paling benar. Semuanya tidak pernah diselipkan secara rapi dan tersembunyi dalam diri kawan yang katanya seperjalanan.

5. Berani Mundur Berbagi Kuasa

Yang terakhir, jangan takut mundur. Setelah mau mendedikasikan diri untuk turun ke isu-isu kemanusiaan, sadarilah bahwa kita sekarang sudah berada di tengah gerakan. Jujur saja, bayang-bayang keistimewaan masih selalu lekat dan mendekat. Kalau tak pandai-pandai atur diri, identitas kita malah bikin posisi kembali otomatis diuntungkan.

Bertobatlah. Ambillah sikap gentle itu sebagai bentuk tahu diri. Peka kapan harus memberi panggung ke orang lain, kapan mesti berhenti jadi pusat perhatian. Kita enggak harus selalu di depan. Langkah mundur adalah kebijaksanaan yang justru bikin ruang lebih luas buat distribusi suara-suara yang selama ini ditutup oleh privilese kita.

Begitulah makna terdalam dari berbagai kekuasaan. Jadi ingat ya bukan siasat buat mencari keuntungan baru dengan gaya, tapi sebuah komitmen yang nyata. Ini bukan strategi politik atau basa-basi solidaritas.

Pertanyaan di judul kedengarannya simpel. Tapi lama-lama kok poin-poin jawabannya makin berat, ya kan? Seperti itulah. Sebab identitas itu bukan sekadar anugerah, melainkan juga tanggung jawab etik. Laki-laki muslim Sunda, bisa jadi penindasan atau jalan pembebas.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Arfi Pandu Dinata

Di sini mengulik kebebasan beragama, dialog lintas iman, dan teologi

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler