Mengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya. Saat ini bekerja sebagai dosen bahasa dan Kajian Budaya di Universitas Garut.

Sejarah Satire: dari Aristophanes hingga Era Digital

Kamis, 16 Januari 2025 07:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Satire
Iklan

Tulisan ini adalah tulisan ketiga dari serangkai pembahasan tentang satire yang akan diunggah secara berkala di Indonesiana.

“Satire, seperti anggur, semakin kuat seiring waktu, tetapi terlalu banyak meminumnya bisa membuat kita mabuk kenyataan.”

Jika satire memiliki asal mula, maka kita harus kembali ke Yunani kuno, tempat Aristophanes, bapak satire teater, menciptakan lelucon yang membuat sang filsuf memerah. Dalam The Clouds, ia menggambarkan Socrates sebagai seorang filsuf yang melayang di udara, sibuk memikirkan hal-hal absurd. "Socrates duduk di atas sebuah keranjang, melayang di udara, sambil memikirkan hal-hal di bawah bumi dan di atas langit," tulisnya. Lewat humor yang tajam dan sindiran itu, Aristophanes mengkritik pretensi intelektual yang sulit direalisasikan, menciptakan landasan bagi satire yang bisa bertahan hingga ribuan tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika budaya Yunani beralih ke Romawi, satire mendapatkan bentuk baru. Penyair Horatius membawa pendekatan yang lebih ringan, menggunakan humor lembut untuk mengkritik kebiasaan masyarakat. Dalam karya-karyanya, Horatius mengundang kita untuk tertawa sambil belajar, seolah berkata, “Hidup ini sudah cukup berat; mari kita tidak membuatnya lebih buruk dengan kebodohan kita sendiri.” Di sisi lain, Juvenalis, satiris Romawi mengambil bentuk yang lebih gelap. "Dua hal yang paling diinginkan oleh rakyat Romawi: roti dan sirkus," tulisnya. Kutipan ini mengejek masyarakat Romawi yang lebih peduli pada isi perut dan hiburan murah daripada isu-isu penting seperti keadilan atau kebebasan politik. Sarkasme itu juga, ia gunakan untuk menyoroti bagaimana pemerintah menggunakan strategi populis—memberikan makanan dan hiburan—untuk mengalihkan perhatian rakyat dari masalah yang lebih mendasar.

Di abad pertengahan, satire menemukan bentuk yang berbeda dalam dunia yang lebih religius dan hierarkis. Karya seperti The Divine Comedy oleh Dante adalah contoh sempurna bagaimana satire bisa menjadi alat moral sekaligus hiburan. Dante, dengan santainya, menempatkan tokoh-tokoh berpengaruh dalam neraka, mengekspos dosa-dosa mereka dengan detail yang menggelikan dan menyakitkan. Bagi Dante, satire menjadi alat untuk membongkar topeng-topeng, kepalsuan-kepalsuan.

Saat Renaisans tiba, satire menjadi lebih berani dan canggih. Dalam karya seperti Gargantua and Pantagruel oleh François Rabelais, absurditas mencapai puncaknya. Rabelais menggunakan cerita tentang raksasa untuk mengkritik gereja, negara, dan masyarakat dengan cara yang aneh namun efektif. Sementara Shakespeare, ia menyisipkan elemen satire dalam karyanya, seperti dalam As You Like It, di mana ia mengejek kemunafikan dan kerumitan cinta. Lewat tokoh-tokohnya ia memberikan komentar yang tajam dan sering kali jenaka tentang perilaku orang yang sedang jatuh cinta, memperlihatkan absurditas klaim cinta yang berlebihan atau tidak realistis.

Era modern menyaksikan kebangkitan satire dalam bentuk yang lebih langsung dan tak kenal ampun. Jonathan Swift, dalam A Modest Proposal, menawarkan solusi yang mengejutkan untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan di Irlandia: makan bayi. Dengan ironi yang begitu tajam, Swift menggambarkan absurditas kebijakan pemerintah Inggris, membuat pembaca tertawa sambil bergidik. Makan bayi orang-orang miskin akan menekan jumlah kemiskinan sekaligus mensejahterakan orang kaya yang dapat memakannya.

Voltaire di Prancis mengambil pendekatan serupa dengan novelnya Candide, di mana ia mengejek optimisme berlebihan melalui petualangan tokoh utamanya. Satirisasi pada tokoh Candide terjadi karena ia terus-menerus mencoba mempertahankan pandangan optimis meski bukti di sekitarnya menunjukkan sebaliknya. Misalnya, meski mengalami penderitaan yang tak terhitung, seperti hampir mati, kehilangan orang-orang terdekat, dan menyaksikan kemiskinan serta ketidakadilan, ia tetap bergantung pada ajaran optimis dari Pangloss. Voltaire menunjukkan, dengan humor yang kejam, bahwa dunia ini jauh dari sempurna, meski ada orang keras kepala mencoba meyakinkan kita sebaliknya.

Di era Victoria, satire berkembang melalui novelis seperti Charles Dickens. Melalui humor dan sindiran dalam Hard Times, Dickens menyentil nilai-nilai materialistis dan pendekatan utilitarian yang mengutamakan keuntungan di atas kesejahteraan manusia. Ia menyoroti dampak buruk dari pandangan ini terhadap pendidikan, hubungan antarmanusia, dan moralitas. Kritik yang ia sampaikan tidak bersifat langsung dan kasar, melainkan halus namun tajam, membuat pembaca menyadari ketidakadilan tanpa merasa dihakimi. Hard Times menjadi contoh utama pada masa itu, bagaimana satire bisa digunakan untuk memengaruhi perubahan sosial dengan cara yang halus namun kuat.

Abad ke-20 membawa tantangan baru bagi satire. Perang Dunia I dan II menciptakan suasana yang gelap, dan satire berubah menjadi lebih sinis. George Orwell, dalam Animal Farm dan 1984, menggunakan alegori untuk mengekspos totalitarianisme dan manipulasi politik. Orwell menempatkan hewan-hewan sebagai tokoh-tokoh revolusi, tapi kemudian hewan-hewan heroik tersebut menjadi penguasa yang juga otoriter seperti sepelumnya. Pesan yang disampaikannya jauh lebih tajam daripada sekadar cerita tentang hewan, yaitu mengkritik pahlawan-pahlawan revolusi yang berubah jadi penguasa dan melupakan nilai kesetaraan dan keadilan.

Era digital membuka babak baru dalam sejarah satire. Kini, satire tidak lagi terbatas pada halaman buku atau panggung teater; ia hidup di internet, dalam bentuk meme, video, dan komentar media sosial. Media seperti The Onion dan Saturday Night Live (SNL) menjadi contoh bagaimana satire bisa beradaptasi dengan teknologi. The Onion beroperasi sebagai "surat kabar palsu" yang menyajikan berita-berita fiktif dengan gaya jurnalistik yang serius. SNL adalah acara komedi sketsa yang menggunakan humor untuk menyindir politik, budaya pop, dan tren sosial. Salah satu segmen paling terkenal mereka adalah parodi debat politik, di mana aktor memerankan tokoh-tokoh nyata dengan menekankan karakteristik mereka yang paling mencolok secara berlebihan. Meme seperti itu, dengan kesederhanaan dan kecepatannya, telah menjadi bentuk satire kontemporer yang efektif.

Di Indonesia sendiri, tradisi satire memiliki sejarah panjang, dari sindiran dalam sastra tradisional seperti pantun, wayang golek, hingga ludruk. Narasi satire semakin modern ketika diusung oleh media seperti Majalah Tempo. Salah satu contoh satirenya adalah sampul majalah yang menggambarkan Presiden Joko Widodo dengan hidung panjang ala Pinokio. Ilustrasi ini merupakan bentuk sindiran terhadap dugaan bahwa Presiden sering membuat pernyataan atau janji yang tidak sesuai dengan kenyataan atau sulit direalisasikan.

Sementara di era media sosial, satire lebih cepat menyebar, lebih interaktif dan mustahil dikendalikan. Lukisan Yos Suprapto mendadak viral sebagai meme politik setelah pamerannya di bredel. Salah satu lukisannya yang viral itu menggambarkan seorang politisi kaya yang duduk santai di atas tumpukan manusia yang terperangkap dalam penderitaan. Di sekelilingnya, terlihat latar belakang gedung-gedung mewah dan lingkungan yang rusak, dengan pohon-pohon yang gundul dan tanah yang retak. Lukisan ini memanfaatkan simbolisme untuk menyindir ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang tak tahu batas. Lukisan ini digunakan netizen selama berminggu-minggu untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap sebagai buzzer yang mendukung kekuasaan.

Namun, perkembangan globalisasi juga mengubah wajah satire. Di satu sisi, budaya satire dari berbagai belahan dunia saling bertemu, menciptakan dialog yang lebih kaya. Di sisi lain, sensitivitas terhadap budaya dan nilai lokal menimbulkan tantangan baru bagi para satiris. Apa yang lucu di satu tempat mungkin dianggap ofensif di tempat lain.

Ironi terbesar dari sejarah satire adalah bahwa ia selalu relevan dengan situasi zaman, yang berarti hidup selalu penuh tragedi untuk dijadikan bahan tertawaan. Meski bentuk dan medianya berubah, tujuan satire tetap sama: mengungkap absurditas dunia dan mendorong kita untuk berpikir lebih kritis, lebih sadar atas kenyataan. Dari Aristophanes hingga meme di Twitter, satire terus menjadi cermin yang tidak nyaman tetapi perlu bagi masyarakat.

Sejarah satire adalah perjalanan panjang dari tawa kecil di teater Yunani hingga gelombang viral di media sosial. Setiap generasi menemukan cara baru untuk menggunakan satire, tetapi intinya tetap sama: mengungkapkan kebenaran di balik kebohongan, dan membuat kita tertawa di tengah absurditas dunia.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Deri Hudaya

Penulis di HumaNiniNora

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler