Mengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya. Saat ini bekerja sebagai dosen bahasa dan Kajian Budaya di Universitas Garut.
Satire Umberto Eco: Buku yang Membunuh Pembacanya
Rabu, 5 Februari 2025 09:28 WIB
Racun ditempatkan di halaman-halaman buku, sehingga siapa pun yang membaca dan menyentuhnya akan terpapar racun.
***
Umberto Eco, seorang penulis, filsuf, dan ahli semiotika asal Italia, telah menciptakan sebuah narasi yang sangat menarik dalam novelnya yang berjudul The Name of the Rose (1980). Novel ini bukan sekadar sebuah kisah detektif klasik yang berlatar di sebuah biara abad pertengahan, tetapi juga sebuah kanvas untuk eksplorasi intelektual tentang hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan kematian. Salah satu elemen paling menarik dalam novel ini adalah konsep buku yang secara harfiah dan metaforis "membunuh" pembacanya.
Untuk memahami lebih dalam makna novel ini, penting untuk melihat latar belakang Umberto Eco. Sebagai seorang akademisi yang mendalami semiotika, Eco banyak mengeksplorasi bagaimana makna dibentuk dan disebarkan dalam masyarakat. Ia tertarik pada peran teks dan interpretasi dalam membentuk realitas sosial. Eco percaya bahwa teks tidak pernah bersifat tunggal; makna sebuah karya dapat berkembang tergantung pada pembacanya dan konteksnya.
Dalam The Name of the Rose, Eco menggunakan pendekatan semiotik ini untuk membangun narasi kompleks yang mengajak pembaca merenungkan bagaimana pengetahuan dikendalikan dan bagaimana tafsir yang berbeda terhadap sebuah teks dapat menjadi ancaman bagi otoritas yang mapan. Latar belakang keilmuan Eco ini membuat novel ini lebih dari sekadar kisah misteri, melainkan juga refleksi filosofis tentang bagaimana otoritas menggunakan wacana untuk mempertahankan kendali.
Di dalam cerita, buku yang dimaksud adalah naskah kedua dari Poetica karya Aristoteles, khususnya bagian tentang komedi. Buku ini disimpan dalam perpustakaan biara yang sangat dijaga, tempat di mana pengetahuan dikendalikan secara ketat. Misteri kematian beberapa biarawan di biara tersebut akhirnya mengarah pada buku ini sebagai penyebabnya.
Secara harfiah, buku tersebut membunuh karena Jorge de Burgos, seorang biarawan yang taat, telah meracuninya. Racun ditempatkan di halaman-halaman buku, sehingga siapa pun yang membaca dan menyentuhnya akan terpapar racun. Ini adalah metafora kuat tentang bagaimana pengetahuan dapat dianggap berbahaya dan harus dikendalikan oleh mereka yang berkuasa. Dalam konteks novel, kematian yang disebabkan oleh buku ini menunjukkan bagaimana otoritas sering kali berusaha membungkam informasi yang dianggap mengancam tatanan yang telah ada.
Namun, ancaman buku ini tidak hanya bersifat fisik. Secara metaforis, Jorge percaya bahwa ide-ide dalam buku ini dapat "membunuh" fondasi keyakinan dan kekuasaan gereja. Baginya, humor dan komedi dapat membebaskan orang dari ketakutan akan Tuhan dan menghancurkan ketertiban moral. Ini menunjukkan bagaimana wacana yang berlawanan dengan kepentingan penguasa dapat dianggap berbahaya dan layak disensor.
Ketakutan Jorge terhadap humor dalam buku ini menggambarkan peran komedi sebagai alat perlawanan terhadap kekuasaan. Sepanjang sejarah, humor, terutama dalam bentuk satire, sering digunakan untuk menyingkap kebobrokan penguasa. Dari karya Voltaire hingga kartun politik modern, tawa sering kali menjadi senjata melawan otoritas yang represif.
Teori tentang humor telah lama menjadi bagian dari kajian filsafat. Aristoteles dalam Poetica melihat komedi sebagai alat untuk mencerminkan realitas sosial. Henri Bergson dalam Laughter: An Essay on the Meaning of the Comic (1900) berpendapat bahwa humor memiliki kekuatan untuk membongkar kemapanan sosial. Sigmund Freud dalam Jokes and Their Relation to the Unconscious (1905), di sisi lain, melihat humor sebagai bentuk sublimasi dari ketegangan psikologis dan sosial.
Di era modern, sensor dan pembungkaman terhadap buku, pengetahuan, dan humor masih terus terjadi, termasuk di Indonesia. Beberapa buku telah dilarang karena dianggap berbahaya bagi stabilitas politik atau nilai-nilai moral. Kasus seperti pelarangan buku-buku yang membahas kritik terhadap pemerintah—misalnya Jokowi Undercover—menunjukkan bahwa otoritas masih takut terhadap kekuatan ide-ide yang bisa menggoyahkan status quo.
Sensor juga meluas ke dunia digital, di mana akses terhadap informasi dapat diblokir dengan alasan menjaga ketertiban umum. Komedian dan kreator konten yang mengkritik kebijakan pemerintah atau menyindir tokoh politik sering kali menghadapi tekanan, baik dalam bentuk ancaman hukum maupun serangan sosial. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan masih menganggap tawa sebagai ancaman, sebagaimana yang ditakuti oleh Jorge de Burgos dalam novel Eco.
Namun, bentuk pembungkaman modern tidak hanya terbatas pada sensor langsung. Mengarahkan generasi muda untuk lebih fokus pada media sosial dengan video pendek dangkal, mempromosikan tren buku-buku motivasi yang bersifat klise, dan mendistribusikan buku-buku tidak bermutu di lembaga pendidikan juga merupakan strategi pembungkaman terselubung. Ketika konsumsi lebih diarahkan bukan pada pencarian pengetahuan yang mendalam dan kritisisme, maka kontrol terhadap wacana menjadi lebih mudah dilakukan oleh mereka yang berkuasa.
Membaca The Name of the Rose, Umberto Eco mengingatkan kita tentang bagaimana pengetahuan masih dapat dianggap sebagai ancaman oleh mereka yang berkuasa. Buku yang membunuh pembacanya bukan hanya sekadar metafora, tetapi juga peringatan tentang bahaya sensor dan pembungkaman intelektual. Konflik antara kebebasan berpikir dan kontrol otoritas yang digambarkan dalam novel ini masih relevan hingga saat ini, terutama di Indonesia, di mana wacana kritis sering kali dihadapkan pada resistensi.
Pertanyaannya, sejauh mana kita sebagai masyarakat bersedia mempertahankan kebebasan berpikir dan berbicara? Akankah kita membiarkan ketakutan terhadap ide-ide baru membuat kita mundur ke era di mana pengetahuan harus dikontrol dengan ketat? Ataukah kita akan belajar dari sejarah dan menyadari bahwa menekan kebebasan intelektual justru dapat menjadi awal dari kehancuran peradaban itu sendiri?
Deri Hudaya, pengelola blog HumaNiniNora. Saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya Dari Overthinking ke Over Achieving: Meditasi, Logika, Tulisan.

Penulis di HumaNiniNora
1 Pengikut

Satire Minke dan Rasisme; Refleksi 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer
Kamis, 6 Februari 2025 09:00 WIB
Satire Umberto Eco: Buku yang Membunuh Pembacanya
Rabu, 5 Februari 2025 09:28 WIBArtikel Terpopuler