Mengelola blog HumaNiniNora. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya. Saat ini bekerja sebagai dosen bahasa dan Kajian Budaya di Universitas Garut.

Satire Minke dan Rasisme; Refleksi 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer

Kamis, 6 Februari 2025 09:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pramoedya Ananta Toer
Iklan

Pramoedya Ananta Toer, dengan segala ketajamannya, menunjukkan bagaimana bangsa Eropa membangun ilusi tentang keunggulan moral mereka.

***

...Aku tetap di klas satu, ditempatkan di antara dua orang gadis Belanda, yang selalu usil mengganggu. Gadis Vera di sampingku mencubit pahaku sejuat dia dapat sebagai tanda perkenalan. Aku? Aku menjerit kesakitan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meneer Rooseboom melotot menakutkan, membentak:

“Diam kau, monk…. Minke!”

Sejak itu seluruh klas, yang baru mengenal aku, memanggil aku Minke, satu-satunya Pribumi. Kemudian juga guru-guruku juga teman-teman semua klas juga yang di luar sekolah.… (Bumi Manusia, Hal. 51)

Minke, seorang pribumi yang melawan takdirnya sendiri, nama yang bermula dari sebuah penghinaan kolonial lalu diambil alih dengan penuh ironi. "Minke"—nama yang dihadiahkan dengan sinis oleh mulut penjajah, barangkali memang terdengar Belanda, tetapi berasal dari plesetan monkey. Sebuah satire yang kelewat nyata: seorang anak Hindia yang mengecap pendidikan Belanda, berpikir logis seperti manusia Eropa, bahkan bisa menulis dalam huruf Latin yang disebut modern itu, tetapi tetap saja, di mata Belanda, tak lebih dari seekor monyet yang belajar berbicara. Inilah kejenakaan kolonialisme, di mana yang terjajah diberi kesempatan untuk maju, tetapi tak pernah benar-benar diterima. 

Dalam Bumi Manusia, Minke masuk HBS, sekolah bergengsi yang hanya terbuka bagi anak-anak Eropa atau pribumi berdarah biru. Ia dididik dengan kurikulum modern, tetapi setiap upayanya untuk menjadi setara selalu terbentur pada tembok yang tak kasatmata: sistem sudah diprogram untuk melihatnya sebagai manusia kelas dua. Ia berbicara dengan logika rasional ala Pencerahan, tetapi tetap saja ia "pribumi yang sok pintar"—tak lebih dari anak jajahan yang sedang bermain dalam dunia yang bukan miliknya.

Dalam satu bagian novel, Minke akhirnya sadar akan nasib yang digariskan untuknya:

Hidup bisa memberi segala kepada semua orang, tetapi sebagian hanya menerima sebagian, sebagian yang lain tidak menerima sama sekali. (Bumi Manusia, Hal. 89)

Pramoedya Ananta Toer, dengan segala ketajamannya, menunjukkan bagaimana bangsa Eropa membangun ilusi tentang keunggulan moral mereka. Mereka menyebut diri pewaris pencerahan, penganjur rasionalitas dan hak asasi manusia, namun di tanah jajahan, mereka mendirikan sistem kasta yang bengis. Betapa menjengkelkan: seorang kolonial Belanda bisa mengutip Voltaire tentang kebebasan berpikir, lalu di sore hari menghukum pribumi hanya karena berjalan tanpa menunduk.

Tapi inilah lelucon besar sejarah. Bahwa bangsa yang sama yang mengutuk feodalisme di negerinya sendiri, justru menerapkannya dengan lebih brutal di tanah seberang lautan. Mereka menulis puisi tentang keindahan peradaban, sementara tangan mereka memegang cemeti. Dan Minke, sang "monyet" yang belajar berpikir, adalah bukti hidup dari ironi itu.

Kini, kita menertawakan kolonialisme yang lampau, tetapi barangkali kita lupa melihat cermin. Tahun 2019 di Surabaya, mahasiswa Papua diteriaki "monyet" oleh mereka yang mungkin dulu juga dihina oleh penjajah. Asrama mereka dikepung, diintimidasi oleh aparat dan ormas yang entah merasa lebih beradab atau hanya sekadar ingin melampiaskan frustrasi. "Monyet" yang dulu adalah ejekan dari lidah Eropa, kini meluncur dari mulut sesama (Kompas, 26/12/2019).

Demonstrasi pun meledak. Mahasiswa Papua turun ke jalan, mengenakan topeng monyet, seolah ingin berkata, "Jika kami monyet, maka ini wajah Indonesia hari ini." Ironi ini begitu sempurna, seolah skenario yang ditulis oleh sejarah itu sendiri. Dulu, bangsa ini pernah disebut tak beradab oleh Belanda; sekarang, sebagian dari kita merasa cukup beradab untuk mencap orang Papua dengan kata yang sama.

Victor Yeimo, aktivis Papua, mengajukan pertanyaan yang tak nyaman: "Rakyat Indonesia dan aparaturnya panggil kami orang Papua monyet... Lalu 'monyet-monyet' ini dipaksa untuk cinta NKRI atau miliki nasionalisme Indonesia. Hey orang Indonesia, anda waras?" (BBC Indonesia, 22/08/2019). Pertanyaan yang sebenarnya bukan hanya untuk mereka yang meneriakkan hinaan, tetapi untuk kita semua. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang pernah ditindas justru menjadi penindas bagi sebagian warganya sendiri?

Insiden Surabaya bukan anomali. Ini hanya satu dari banyak kasus di mana mahasiswa Papua mengalami perlakuan serupa di berbagai kota. Seorang mahasiswa Papua di Jakarta berbagi kisahnya, bagaimana kalimat "Ih kalian bau" dilemparkan kepadanya, seolah itu sesuatu yang wajar (BBC Indonesia, 22/08/2019). Stereotip, prasangka, dan diskriminasi masih hidup subur, tak peduli seberapa banyak kita berteriak tentang "Bhinneka Tunggal Ika."

Sejarah memang punya selera humor yang kejam. Dulu, Eropa menertawakan pribumi yang belajar berbicara dengan lidah mereka, kini kita menertawakan sesama kita yang berbeda warna kulit dan rambutnya. Jika dulu Minke harus bertarung dengan kolonialisme yang mengecapnya monyet, kini mahasiswa Papua harus bertarung dengan bangsanya sendiri yang memandang mereka dengan hina.

Di mana batas antara satire dan kenyataan? Atau jangan-jangan, kita sedang hidup dalam satire yang paling kejam. 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Deri Hudaya

Penulis di HumaNiniNora

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler