Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Rokcy Gerung: Jangan Pakai Kata Mania!
Sabtu, 15 Februari 2025 17:34 WIB
Penggunaan kata mania mengindikasikan perilaku tidak rasional atau fanatisme berlebihan yang mengabaikan akal sehat.
Rocky Gerung menekankan pentingnya penggunaan bahasa yang tepat dalam diskursus politik. Ketika seseorang menggunakan kata "mania" untuk menggambarkan dukungan politik, secara tidak langsung hal ini bisa mengindikasikan perilaku yang tidak rasional atau fanatisme berlebihan yang mengabaikan akal sehat.
Dalam konteks Indonesia, memang sering kita temui penggunaan istilah seperti [nama tokoh]-mania" atau "[kelompok]-mania" untuk menggambarkan pendukung fanatik. Kritik Rocky Gerung ini mengajak kita untuk lebih bijak dalam memilih kata dan mendorong diskursus politik yang lebih rasional dan berakal sehat.
Penggunaan Kata Mania dalam Diskursus Politik
Dalam perkembangan wacana politik kontemporer Indonesia, penggunaan istilah "mania" telah menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Rocky Gerung, seorang akademisi dan pengamat politik, mengangkat kritik penting mengenai penggunaan kata ini dalam konteks politik Indonesia. Kritik tersebut membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang penggunaan bahasa dan implikasinya dalam dinamika politik nasional.
Secara etimologis, kata "mania" berasal dari bahasa Yunani "mania" yang berarti kegilaan atau gangguan mental yang ditandai dengan kegembiraan berlebihan atau kegairahan yang tidak normal (Kaplan & Sadock, 2015). Dalam konteks psikiatri modern, mania dikenal sebagai kondisi medis serius yang merupakan bagian dari gangguan bipolar, ditandai dengan periode aktivitas dan energi yang sangat tinggi serta perubahan suasana hati yang ekstrem.
Penggunaan kata "mania" dalam konteks politik Indonesia telah mengalami pergeseran makna yang signifikan. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan kelompok pendukung fanatik dari tokoh politik atau partai tertentu. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Rocky Gerung, penggunaan istilah ini justru dapat mengimplikasikan ketidakrasionalan dan hilangnya akal sehat dalam proses politik.
Dr. Suryani, seorang psikolog politik dari Universitas Indonesia (2022), dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa penggunaan istilah-istilah yang berkonotasi patologis dalam politik dapat membawa dampak negatif terhadap kualitas diskursus publik. Hal ini dapat mendorong normalisasi perilaku politik yang tidak rasional dan menjauhkan masyarakat dari pengambilan keputusan berbasis akal sehat.
Dalam konteks demokrasi modern, partisipasi politik idealnya didasarkan pada pertimbangan rasional dan pemahaman mendalam terhadap isu-isu publik. Profesor Mujani (2023) dalam bukunya "Politik Rasional" menegaskan bahwa kualitas demokrasi sangat bergantung pada kemampuan warga negara untuk membuat keputusan politik berdasarkan analisis kritis, bukan dorongan emosional semata.
Kritik Rocky Gerung terhadap penggunaan kata "mania" sejalan dengan upaya mendorong literasi politik yang lebih baik di Indonesia. Penggunaan bahasa yang lebih tepat dan netral dapat membantu menciptakan ruang diskusi politik yang lebih sehat dan konstruktif. Sebagai gantinya, istilah seperti "pendukung", "simpatisan", atau "relawan" mungkin lebih tepat digunakan karena memiliki konotasi yang lebih netral dan menghormati rasionalitas dalam partisipasi politik.
Melihat ke depan, penting bagi semua pemangku kepentingan dalam lanskap politik Indonesia untuk lebih memperhatikan penggunaan bahasa dalam komunikasi politik. Pemilihan kata yang tepat tidak hanya mencerminkan kedewasaan berpolitik tetapi juga dapat mendorong terciptanya diskursus politik yang lebih berkualitas dan berorientasi pada substansi.
Akal Sehat dalam Politik: Menuju Pemilih Rasional
Dalam konteks demokrasi modern, kualitas pengambilan keputusan politik oleh masyarakat menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan sistem demokrasi. Slogan "Akal Sehat, Tidak Maniak Tetapi Memilih Dengan Rasional" mengandung tiga elemen penting yang perlu dipahami secara mendalam dalam konteks politik kontemporer.
Makna Akal Sehat dalam Politik
Akal sehat dalam konteks politik merujuk pada kemampuan seseorang untuk menilai situasi dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan logis dan objektif. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya "Pemikiran Politik Indonesia" (2014) menekankan bahwa akal sehat merupakan modal dasar bagi terciptanya masyarakat yang demokratis dan berkeadaban.
Penggunaan akal sehat dalam politik mencakup beberapa aspek penting:
- Kemampuan menganalisis informasi secara kritis
- Pemahaman terhadap konteks sosial-politik
- Pertimbangan akan dampak jangka panjang
- Evaluasi rasional terhadap program dan kebijakan
Perbedaan antara Rasionalitas dan Fanatisme
Pemilih rasional, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Arifin Rahman dalam "Perilaku Pemilih Indonesia" (2023), adalah mereka yang:
- Mengambil keputusan berdasarkan analisis mendalam
- Mempertimbangkan track record kandidat
- Mengevaluasi program yang ditawarkan
- Memahami implikasi pilihan mereka terhadap masa depan
Sebaliknya, perilaku "maniak" dalam politik ditandai dengan:
- Dukungan membabi buta
- Pengabaian terhadap fakta yang bertentangan
- Ketidakmampuan menerima kritik
- Polarisasi berlebihan
Membangun Budaya Politik Rasional
Untuk membangun budaya politik yang rasional, beberapa langkah penting perlu dilakukan:
1. Pendidikan Politik
Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang sistem politik, hak dan kewajiban warga negara, serta dampak dari keputusan politik.
2. Literasi Media
Kemampuan memilah informasi yang valid dan hoaks menjadi kunci dalam pengambilan keputusan politik yang rasional.
3. Diskusi Publik yang Sehat
Forum-forum diskusi publik perlu dikembangkan untuk membangun pemahaman politik yang lebih komprehensif.
4. Evaluasi Kebijakan Berbasis Data
Masyarakat perlu didorong untuk menilai kebijakan berdasarkan data dan fakta, bukan semata-mata berdasarkan sentimen.
Penggunaan akal sehat dan rasionalitas dalam politik merupakan prasyarat penting bagi terciptanya demokrasi yang berkualitas. Masyarakat perlu bergerak dari pola pikir fanatik menuju pemilih yang rasional dan kritis. Hal ini akan mendorong terciptanya kultur politik yang lebih sehat dan konstruktif.
Referensi.
- Kartodirdjo, S. (2014). Pemikiran Politik Indonesia
- Rahman, A. (2023). Perilaku Pemilih Indonesia
- Aspinall, E. & Mietzner, M. (2019). Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?
- Diamond, L. (2021). Democratic Resilience: A Theoretical Framework
- Kaplan, H. I., & Sadock, B. J. (2015). Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences Clinical Psychiatry
- Suryani, A. (2022). "Patologisasi Politik: Dampak Penggunaan Istilah Medis dalam Wacana Politik Indonesia"
- Mujani, S. (2023). Politik Rasional: Nalar Publik dan Demokrasi Indonesia
- Gerung, R. (2024). "Preseden Akal Sehat dalam Politik Indonesia"

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler