Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.
Sejarah Gelap AS: Imperialisme, Intervensi Militer, dan Dukungan untuk Diktator
Rabu, 19 Februari 2025 09:36 WIB
Jejak cawe-cawe AS ada di berbagai perang dan kudeta banyak negara. Mengapa AS mendukung para diktator?
Pendahuluan
Priya De di dalam Red Flag memberikan gambaran tajam tentang tindakan imperialistik Amerika Serikat sepanjang sejarah era kontemporer. Imperialisme ala Amerika ini mencakup intervensi militer, invasi, serta keterlibatannya dalam melatih dan mendukung rezim-rezim diktator di berbagai negara.
Priya De menunjukkan dengan jelas bagaimana dominasi militer AS, yang telah mencapai lebih dari 750 basis militer di 80 negara, memainkan peran penting dalam memperkuat kekuasaan dan pengaruhnya di seluruh dunia. Dalam artikel ini, kami akan membahas imperialisme AS dengan fokus pada evolusi kebijakan ekspansionisme negara ini serta dampak dari keterlibatan militernya dalam konflik-konflik internasional.
Sejarah Ekspansi Imperial Amerika Serikat
Sejak pertengahan abad ke-19, Amerika Serikat mulai membentuk dirinya sebagai kekuatan imperialisme yang dominan. Di saat negara-negara Eropa, seperti Inggris dan Spanyol, sedang mengalami penurunan kekuasaan dan pengaruh, AS justru mengalami pertumbuhan perekonomian yang melesat. Salah satu langkah pertama AS dalam ekspansinya adalah aneksasi negara bagian barat yang sebelumnya merupakan wilayah Meksiko. Tidak hanya itu, negara ini juga menguasai pulau-pulau terpencil, seperti guano islands dan Hawaii.
Akan tetapi, titik balik paling penting dalam kebijakan imperialisme AS adalah Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898. Perang ini menandai langkah nyata Amerika sebagai kekuatan imperialisme baru yang punya kekuatan dengan menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya milik Spanyol, seperti Puerto Rico, Guam, dan Filipina. Dalam konteks ini, Priya De menyoroti bagaimana AS tidak hanya tertarik pada ekspansionisme teritorial, tetapi juga pada penguasaan dan penyebaran pengaruh dalam perekonomian dan politik di luar perbatasannya.
Ekspansi dan Penaklukan Filipina
Setelah kemenangan dalam Perang Spanyol-Amerika, AS tidak hanya mendapatkan wilayah-wilayah baru, tetapi juga berusaha menekan gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Emilio Aguinaldo di Filipina. Dalam hal ini, Priya De menegaskan bahwa pada akhirnya AS tetap meraup keuntungan dengan membeli Filipina seharga $20 juta dari Kerajaan Spanyol, meskipun awalnya gerakan kemerdekaan Filipina berharap dapat merdeka setelah AS mengalahkan Spanyol. Keputusan ini memicu perang berdarah yang berlangsung selama tiga tahun untuk mengalahkan gerakan nasionalis pro-kemerdekaan di Filipina.
Dalam wawancara dengan Chicago News pada tahun 1899, Jenderal William Shafter yang memimpin pasukan AS dalam invasi tersebut menyatakan dengan tanpa rasa malu bahwa untuk mengalahkan gerakan nasionalis ini harus dilakukan dengan “membunuh setengah dari orang Filipina agar setengah lainnya bisa naik ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi.” Pernyataan ini mencerminkan sikap paternalistik dan rasis yang mengakar dalam kebijakan luar negeri Amerika pada masa itu, yang menganggap bahwa penduduk pribumi perlu diajarkan cara hidup yang lebih “beradab” menurut standar Barat.
Dominasi Militer Global
Salah satu inti dari pemikiran Priya De adalah bagaimana Amerika Serikat dengan kekuatan militernya yang luar biasa telah memperluas pengaruhnya ke hampir setiap sudut dunia. Dengan lebih dari 750 pangkalan militer di 80 negara, AS mampu mengerahkan pasukan ke hampir pelosok dunia di mana saja dengan segera. Pengeluaran militer AS yang diprediksi akan mencapai $1 triliun per tahun dalam dekade mendatang menunjukkan betapa besar alokasi dana negara ini untuk mempertahankan dan memperluas dominasi militernya di seluruh penjuru dunia.
Tidak hanya itu, dalam catatan sejarah, Amerika Serikat tetap menjadi satu-satunya negara yang pernah meledakkan bom atom di atas kota, yakni pada saat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Aksi ini tidak hanya menandakan keberanian Amerika dalam menggunakan senjata pemusnah massal, tetapi juga memperkuat statusnya sebagai kekuatan yang tidak hanya bisa menaklukkan negara-negara yang lemah, tetapi juga mendemonstrasikan superioritas teknologinya dalam sebuah peperangan.
Intervensi dan Kebijakan Pembangunan Diktator
Selain keberadaan pangkalan militer, De juga membahas bagaimana Amerika Serikat mendukung berbagai rezim diktator dan meluncurkan agennya untuk membantu lebih banyak kudeta dibandingkan dengan kekuatan kolonial lainnya. Dalam banyak kasus, AS melibatkan dirinya dalam meruntuhkan pemerintahan yang sah untuk menggantinya dengan rezim yang lebih pro-Amerika, baik dalam hal ideologi maupun ekonomi. Langkah ini kerap kali dilakukan untuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik Amerika, terlepas dari dampak buruk yang ditimbulkan bagi rakyat negara yang terkena dampak.
Salah satu contoh terkenal adalah intervensi AS di berbagai negara Amerika Latin, Asia, dan Indonesia, yang sering kali mengarah pada dukungan AS terhadap kekuasaan diktator dan pengabaian terhadap hak-hak demokratis. Dengan melatih pasukan lokal dan memberikan bantuan militer, AS tidak hanya memperluas pengaruhnya, tetapi juga bertanggung jawab atas banyak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di bawah pemerintahan diktator tersebut.
<--more-->
Dampak Jangka Panjang dan Kritik terhadap Imperialisme AS
Imperialisme yang diterapkan oleh Amerika Serikat memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar konflik militer. Intervensi dan invasi AS sering kali meninggalkan dampak sosial dan ekonomi yang menghancurkan, baik bagi negara yang terlibat langsung maupun bagi komunitas internasional secara keseluruhan. Keputusan-keputusan strategis AS untuk mengintervensi negara lain sering kali didorong oleh motif perekonomian dan politik jangka pendek, yang mengabaikan stabilitas jangka panjang dan hak asasi manusia.
Priya De dalam analisisnya menyoroti bagaimana sistem imperialistik ala AS ini berkontribusi pada ketidakstabilan global dan menciptakan perasaan ketidakadilan di kalangan negara-negara yang menjadi korbannya. Meskipun AS mengklaim dirinya sebagai penjaga demokrasi, pada kenyataannya negara ini sering sekali mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi demi kepentingan strategis dan ekonomi mereka.
Perkembangan Ekspansi Ekonomi dan Militer AS pada Abad Ke-20
Pada awal abad ke-20, ekonomi AS mengalami ekspansi industri yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah Amerika mulai memanfaatkan kekuatan finansialnya yang semakin menguat di dunia ditambah juga dengan dukungan oleh kemampuan militernya yang terus berkembang dengan tujuan untuk mengatur perdagangan internasional demi menguntungkan kelas kapitalisnya. Presiden Woodrow Wilson, dalam pidatonya di Universitas Columbia pada tahun 1907, menyatakan dengan tegas:
“Karena perdagangan mengabaikan batas-batas negara, dan para produsen bersikeras agar dunia menjadi pasar mereka, maka bendera negara mereka harus mengikutinya, dan pintu-pintu negara yang menutup diri harus dihancurkan.”
Pernyataan ini mencerminkan filosofi ekspansionisme AS yang mendorong negara tersebut untuk melebarkan pengaruhnya melalui intervensi militer dan politik, terutama di negara-negara yang memiliki sumber daya atau potensi pasar yang besar. Di Kuba, misalnya, AS mendominasi perdagangan gula dan tembakau yang sangat menguntungkan. Mirisnya, AS harus melakukan tiga kali invasi antara 1906 dan 1922 untuk mempertahankan hubungan perdagangan yang sangat merugikan bagi Kuba ini.
Dukungan politik terhadap diktator Kuba, Fulgencio Batista, sejak tahun 1934 hingga jatuhnya pemerintahan tersebut pada Revolusi Kuba 1959, menjadi bukti lebih lanjut dari bagaimana AS menggunakan kekuatan militer dan politiknya untuk mempertahankan kontrol atas wilayah strategis.
Perang Dunia II dan Brutalitas Militer AS
Dalam konteks Perang Dunia II, AS tidak masuk ke dalam konflik ini sebagai juara antifasisme sejak permulaan peperangan, melainkan AS membutuhkan lebih dari dua tahun setelah fasisme Jerman menguasai sebagian besar Eropa. Sebagai bagian dari upaya yang diklaimnya sebagai “perang untuk demokrasi”, AS muncul sebagai pihak yang juga melakukan kekerasan dan kekejaman yang tidak terkendali di Eropa dan Asia.
Edgar L. Jones, seorang mantan koresponden perang di Pasifik, menggambarkan perilaku militer AS dalam tulisan yang diterbitkan oleh Atlantic Monthly pada tahun 1946, sebagai berikut:
“Kami menembak tawanan perang tanpa perasaan, menghancurkan rumah sakit, menembaki sekoci, membunuh atau memperlakukan dengan buruk warga sipil dari pihak musuh, menyelesaikan “pekerjaan” kepada mereka yang terluka, membuang yang sekarat ke dalam lubang bersama yang mati, dan di Pasifik, merebus daging dari tengkorak musuh untuk dijadikan perhiasan meja atau mengukir tulang mereka untuk dijadikan pembuka surat.”
Kekerasan dan kekejaman semacam ini menunjukkan betapa AS, dalam upaya mengalahkan fasisme, justru menggunakan kekerasan yang tak terkendali, tanpa membedakan antara tentara dan warga sipil, serta tanpa rasa moralitas yang jelas.
<--more-->
Penggunaan Teknologi Perang Terbaru: Penjatuhan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki
Tepat pada tahun 1945, ketika kekalahan negara-negara Axis sudah di depan mata, AS mulai mengerahkan teknologi perang tercanggihnya sebagai bentuk peringatan terhadap kemungkinan tantangan di masa depan. Pada bulan Maret, AS bersama dengan Inggris melakukan pengeboman besar-besaran terhadap kota Dresden di Jerman, sedangkan AS juga melakukan pengeboman api terhadap kota-kota Jepang, seperti Tokyo, Nagoya, Osaka, dan Kobe. Pengeboman ini menyebabkan jumlah korban jiwa yang sangat besar, yang diperkirakan lebih tinggi dari setiap peristiwa sebelumnya dalam sejarah peradaban kemanusiaan.
Namun, yang paling mengerikan adalah penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945. Meskipun Jepang sudah dalam kondisi hampir “menyerah” dan berkapitulasi, AS tetap menjatuhkan bom atom pada dua kota di Jepang dengan mengakibatkan lebih dari 150.000 orang menjadi korban tewas, baik tewas seketika maupun akibat luka yang sangat parah dan tewas pada minggu-minggu berikutnya. Tindakan ini bukan hanya untuk mempercepat kekalahan Jepang, melainkan juga lebih kepada eksperimen teknologi nuklir yang baru ditemukan oleh AS, di mana AS ingin menguji senjata yang lebih destruktif dan menunjukkan kesediaan AS untuk menggunakan kekuatan ekstrem dalam situasi apa pun.
Perang Dingin dan Politik Imperialisme AS
Dengan dimulainya Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, imperialisme AS mengambil dimensi imperialis yang semakin politis. Amerika Serikat tidak hanya bertindak sebagai kekuatan militer paling kuat di dunia, tetapi juga sebagai aktor utama dalam arena politik internasional. Hal dibuktikan dengan tindakan AS yang selalu memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan sayap kanan dan diktator-diktator untuk menghalangi kemenangan perjuangan sayap kiri yang dapat menantang supremasi ekonomi AS atau membangun aliansi diplomatik dengan Uni Soviet. Dukungan terhadap diktator, seperti Fulgencio Batista di Kuba atau Soeharto di Indonesia, adalah contoh jelas dari kebijakan AS untuk menjaga pengaruh politik dan ekonominya di negara-negara yang strategis.
Selain itu, perlombaan senjata nuklir antara AS dan Uni Soviet membawa dunia kepada ambang kehancuran dalam beberapa momen yang sangat tegang, seperti peristiwa Krisis Misil Kuba pada tahun 1962. Dengan ribuan hulu ledak nuklir yang tersebar di berbagai benua, AS dan Uni Soviet hampir memicu perang nuklir yang dapat mengakhiri peradaban manusia seutuhnya.
Begitu pula, pada tahun 1948, George F. Kennan, Direktur Perencanaan Kebijakan AS, menulis sebuah dokumen kebijakan Perang Dingin yang berpengaruh. Dalam tulisannya, ia mengungkapkan filosofi dominasi ekonomi dan militer AS pasca-Perang Dunia II. Kennan berpendapat:
“Kami memiliki sekitar 50 persen kekayaan dunia, tetapi hanya 6,3 persen dari populasinya… Tugas sejati kami adalah merancang pola hubungan yang memungkinkan kami mempertahankan posisi ketimpangan ini… Kami harus berhenti berbicara tentang tujuan yang kabur seperti hak asasi manusia, peningkatan standar hidup, dan demokratisasi.”
Pemikiran ini mencerminkan pendekatan imperialistik AS yang menekankan pada penguasaan sumber daya internasional dan selalu mempertahankan ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan. Dalam konteks ini, hak asasi manusia atau demokratisasi hanya digunakan oleh AS sebagai alat retorika, sementara satu-satunya tujuan utama AS adalah melindungi dominasi ekonomi dan politik mereka di tataran internasional.
Seiring berjalannya waktu, AS semakin terlibat dalam intervensi militer di seluruh dunia untuk memastikan dominasi ini. Salah satu langkah yang paling kontroversial adalah pendirian School of the Americas di Panama, yang kemudian dijuluki sebagai “Sekolah Pembunuh” atau “Sekolah Kudeta” oleh para penentangnya. Di sekolah pasukan ini, AS melatih personel militer dan polisi dari berbagai rezim diktator di Amerika Latin yang semata-mata ditujukan untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan tersebut.
Kudeta dan Dukungan terhadap Diktator di Amerika Latin
Pada 1954, Presiden Dwight D. Eisenhower meluncurkan Operasi Success yang berhasil menggulingkan pemerintahan Guatemala yang terpilih secara demokratis. Penggulingan kekuasaan ini disebabkan oleh pemerintahan Guatemala yang terpilih secara demokratis terlalu berani untuk menantang dominasi perusahaan besar AS, seperti United Fruit Company.
Dengan bantuan dari pasukan yang terlatih di School of the Americas, AS mengorganisasikan kudeta yang menggulingkan pemerintahan yang sah dan menyebabkan pembentukan rezim yang menekan serikat pekerja dan memicu salah satu perang sipil paling berdarah di Amerika Tengah, yang berlangsung selama empat dekade.
AS juga melakukan intervensi militer di berbagai negara di Amerika Latin, seperti Honduras, Panama, Republik Dominika, Haiti, Nicaragua, dan Grenada, serta mendukung hampir semua rezim diktator dari Brasil hingga El Salvador dan Argentina. Dengan cara ini, AS berusaha mempertahankan kontrol politik dan ekonomi di kawasan yang strategis ini.
Intervensi AS di Timur Tengah dan Asia
Pada 1953, CIA mendukung kudeta yang menggulingkan Perdana Menteri Iran yang terpilih, Mohammad Mosaddegh, yang telah menasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company. Nasionalisasi ini sungguh-sungguh mengancam keuntungan Inggris dan AS. Keterlibatan AS dalam menggulingkan pemerintahan yang sah di Iran ini adalah salah satu contoh klasik dari kebijakan luar negeri AS yang mementingkan kepentingan ekonomi di atas nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Di Asia, pada 1960-an, AS mendukung pemerintahan otoriter Jenderal Suharto di Indonesia yang pada tahun yang sama melakukan pembunuhan massal terhadap hingga 1 juta orang dalam aksi pemusnahan komunis secara besar-besaran. Hal serupa juga terjadi pada 1973, ketika CIA mendukung kudeta militer Augusto Pinochet di Chile yang menggulingkan pemerintahan sosialis Salvador Allende, yang kemudian berujung pada pembentukan kediktatoran militer yang brutal.
AS juga terlibat dalam Perang Korea pada 1950-an, yang menewaskan hingga 4 juta orang Korea dan membagi negara tersebut. Perang ini menjadi preseden bagi Perang Vietnam, yang dimulai pada dekade berikutnya.
Meskipun Perang Vietnam berakhir dengan kekalahan besar bagi AS akibat perlawanan gigih dari pejuang pembebasan Vietnam dan pemberontakan tentara AS sendiri, dampak dari penggunaan senjata kimia seperti napalm dan Agent Orange meninggalkan efek yang sangat merusak, di mana tingkat kerusakannya berdampak pada kerusakan lingkungan yang meluas dan cacat lahir yang terjadi pada generasi berikutnya.
Pasca-Perang Dingin: Dominasi Global AS yang Tak Tergoyahkan
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989, AS tetap berusaha membangun dirinya sebagai kekuatan super-global yang tak tertandingi. Berbagai invasi militer yang dilakukan oleh AS sering kali disebut sebagai “intervensi kemanusiaan”, meskipun banyak di antaranya membawa kekerasan yang tidak beralasan dan bertentangan dengan klaim tersebut. Salah satu contoh signifikan adalah Perang Teluk di Irak pada awal 1990-an, yang diikuti oleh invasi ke Afghanistan pada 2001 dan invasi besar-besaran ke Irak pada 2003.
Invasi-invasi ini menunjukkan bagaimana AS, meski dengan alasan yang beragam—mulai dari pembalasan terhadap terorisme hingga upaya untuk membawa ideologi demokrasi—tetap melakukan aksi militer untuk menjaga dan memperluas pengaruhnya di kawasan yang kaya akan sumber daya strategis, seperti Timur Tengah. Pasca invasi Irak, AS menyuarakan rencana untuk menggulingkan rezim di negara-negara lain, seperti Suriah dan Iran, demi memastikan bahwa pemimpin-pemimpin yang bersedia mendukung kepentingan AS dapat berkuasa di kawasan yang sangat penting ini.
Referensi
Adryamarthanino, Verelladevanka. “Perang Spanyol-Amerika: Penyebab, Kronologi, dan Dampak.” Kompas.com, 23 April 2022. https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/23/120000579/perang-spanyol-amerika--penyebab-kronologi-dan-dampak.
De, Priya. “A short and dirty history of US imperialism.” Red Flag, 15 Februari 2023. https://redflag.org.au/article/short-and-dirty-history-us-imperialism.
Francisco, Luzviminda. “The First Vietnam: The U.S.-Philippine War of 1899.” History is a Weapon, 1973. https://www.historyisaweapon.com/defcon1/franciscofirstvietnam.html.
PBS. “Scourge of the Spanish American War.” PBS. Diakses 6 Desember 2024. https://www.pbs.org/wgbh/americanexperience/features/fever-scourge-spanish-american-war/.
Tibbets, Paul, dan Curtis LeMay. “Bombings of Hiroshima and Nagasaki – 1945.” Atomic Heritage Foundations, 5 Juni 2014. https://ahf.nuclearmuseum.org/ahf/history/bombings-hiroshima-and-nagasaki-1945/.

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...
2 Pengikut

Teori Hegemoni Gramsci: antara Koersi, Konsensus, dan Kesadaran
Selasa, 19 Agustus 2025 14:15 WIB
Negara Integral dan Perang Posisi dalam Teori Hegemoni Gramsci
Minggu, 17 Agustus 2025 16:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler