Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Evolusi Administrasi Hindia Belanda: Sentralisasi, Otonomi, dan Warisannya

Kamis, 20 Februari 2025 10:39 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gubenur Daendels
Iklan

Sistem administrasi Hindia Belanda berkembang dari sentralisasi ketat hingga otonomi terbatas, meninggalkan warisan yang terasa di Indonesia

Perkembangan Administrasi di Hindia Belanda

Sistem administrasi dan pembagian wilayah di Hindia Belanda mengalami berbagai perubahan seiring dengan ekspansi pada abad ke-19 serta meningkatnya otonomi pada awal abad ke-20.

Reformasi besar terjadi melalui undang-undang tahun 1905 dan 1922 yang memungkinkan pembentukan dewan lokal hingga tingkat kabupaten. Dewan ini mencerminkan struktur masyarakat kolonial dengan perwakilan dari tiga kelompok etnis utama: Eropa/Indo-Eropa, pribumi, serta Tionghoa dan kelompok Asia lainnya.

Dualisme Sistem Administrasi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada awal abad ke-20, sistem pemerintahan Hindia Belanda menerapkan dualisme administrasi. Struktur pemerintahan di tingkat atas dikelola langsung oleh pejabat kolonial Belanda, sedangkan di tingkat bawah diserahkan kepada pribumi.

Khusus di Pulau Jawa, otonomi pribumi berkembang lebih jauh. Hingga tingkat menengah pribumi diberikan kekuasaan, sementara di luar Jawa, otonomi hanya terbatas pada tingkat yang lebih rendah.

Reformasi terakhir yang signifikan terjadi pada tahun 1938, di mana Pulau Jawa memiliki enam tingkatan administrasi, antara lain:

  1. Provinsi (Gouvernement): Dipimpin oleh Gubernur (Gouverneur), dikelola oleh pejabat kolonial.
  2. Residensi (Residentie) atau Afdeling: Dipimpin oleh Residen (Resident), dikelola oleh pejabat kolonial.
  3. Kabupaten (Regentschap): Dipimpin oleh Bupati (Regent), memiliki otonomi pribumi.
  4. Distrik (District): Dipimpin oleh Wedana, memiliki otonomi pribumi.
  5. Onderdistrict: Dipimpin oleh Asisten Wedana, memiliki otonomi pribumi.
  6. Desa (Desa): Dipimpin oleh Kepala Desa (Desahoofd), memiliki otonomi pribumi.

Sementara itu, wilayah di luar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua memiliki sistem administrasi yang sedikit berbeda, dengan tambahan subdivisi, seperti Onderafdeling dan Assistent-Resident.

Struktur Kepemimpinan dan Pengawasan

Sebagian besar jabatan tinggi, seperti Gubernur dan Residen dipegang oleh orang Eropa atau Indo-Eropa. Seorang Gubernur dibantu oleh staf administratif yang terdiri dari sekretaris dan pejabat lainnya. Di tingkat kabupaten, seorang Bupati (boepati) bertugas mengelola administrasi dengan bantuan Patih sebagai wakilnya.

Selain sistem administrasi umum, beberapa kota besar diberi status khusus sebagai pemerintah daerah dengan dewan kota (gemeenteraad) dan wali kota (burgemeester). Batavia adalah kota pertama yang memperoleh status ini pada tahun 1903, diikuti oleh kota-kota lain seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan.

Pengaruh Sentralisasi Pemerintahan Kolonial

Meskipun ada tingkat otonomi di pemerintahan daerah, Hindia Belanda dikenal sebagai salah satu sistem kolonial paling sentralistik di Asia Tenggara. Pemerintah kolonial memiliki kontrol penuh atas politik dan kebudayaan, termasuk kemampuan untuk menyensor penerbitan serta mengawasi gerakan politik.

Gubernur Jenderal—sebagai penguasa koloni—memiliki kekuasaan absolut yang bertahan hingga abad ke-19 dan tetap memiliki wewenang yang sangat luas bahkan hingga abad ke-20, termasuk hak untuk mengasingkan individu tanpa proses hukum, seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir.

Warisan Administrasi dalam Indonesia Merdeka

Setelah kemerdekaan, Indonesia mempertahankan sebagian besar struktur administrasi dari masa kolonial dengan beberapa modifikasi.

Saat ini, provinsi secara langsung terbagi menjadi kabupaten (kabupaten/kota), tanpa tingkat residensi atau afdeling seperti di era kolonial. Pembagian wilayah di Jawa dan luar Jawa kini juga diseragamkan dalam sistem administrasi modern di Indonesia.

Pejabat Pribumi dalam Administrasi Kolonial

Sistem birokrasi modern pertama kali diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19. Salah satu jalur utama bagi pribumi untuk menjadi birokrat adalah melalui sekolah administrasi pribumi (OSVIA). Namun, lulusan OSVIA umumnya hanya mendapatkan posisi yang rendah, sedangkan jabatan tinggi tetap dikuasai oleh orang Eropa.

Beberapa pribumi yang berhasil menduduki posisi tinggi adalah mereka yang menempuh pendidikan di Belanda dan memperoleh gelar akademik. Misalnya, Abdul Kadir Wijoyoatmojo adalah seorang pribumi yang berhasil menjadi diplomat Belanda di Arab Saudi, meskipun kemudian dianggap berkolaborasi dengan Belanda selama perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh para nasionalis.

Tokoh lain adalah Mohamad Nazief, seorang ahli hukum dari Bukittinggi yang menjadi pejabat tinggi di Departemen Keuangan Hindia Belanda. Ada pula Abdoel Hakim, seorang dokter yang menjadi wakil wali kota dan kemudian wali kota Padang di era pendudukan Belanda.

Namun, keberadaan pejabat pribumi dalam struktur pemerintahan kolonial tetap terbatas. Hingga masa perang kemerdekaan, jabatan strategis seperti gubernur dan residen tetap didominasi oleh orang Eropa, dan pribumi hanya diberi akses ke jabatan yang lebih rendah.

Kesimpulan

Sistem administrasi Hindia Belanda adalah contoh pemerintahan kolonial yang sangat terstruktur dan sentralistik. Meskipun ada unsur otonomi lokal, kendali tetap berada di tangan pemerintah kolonial Belanda. Struktur ini kemudian diwarisi oleh Indonesia dengan berbagai modifikasi yang masih terasa dalam sistem pemerintahan saat ini.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler