Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Rambo: Ketika Kritik Perang Vietnam Berubah Menjadi Propaganda Militerisme AS

Senin, 17 Maret 2025 14:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Tentara Amerika Serikat yang mencoba mengibarkan bendera Amerika Serikat di Pulau Iwo Jima selama Perang Dunia II
Iklan

Bagaimana Rambo berubah dari kritik terhadap trauma veteran Vietnam menjadi ikon propaganda perang yang merayakan kekerasan tanpa batas?

Film Rambo sering dianggap sebagai ikon film laga di era 1980-an. Namun, sedikit yang mengetahuinya bahwa karakter ini sebenarnya pertama kali muncul dalam novel First Blood (1972) karya David Morrell.

Novel tersebut sebenarnya mengisahkan seorang veteran dalam Perang Vietnam yang mengalami traumatis yang mendalam dan bentrok kepentingan dengan aparat kepolisian di AS. Akan tetapi, ketika diadaptasi ke layar lebar, terutama dalam sekuel-sekuelnya, Rambo malah bertransformasi dari kritik sosial menjadi propaganda kekerasan. Bagaimana perubahan ini terjadi?

Adaptasi dari Novel ke Film: Rambo yang Berbeda

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam novel First Blood, tokoh utama John Rambo adalah seorang drifter—pengembara yang kehilangan tempat di masyarakatnya setelah kembali dari Perang Vietnam. Ia bukan sekadar pahlawan perang, Rambo di sini juga korban dari sistem yang tidak peduli terhadap para veteran. Di sisi lain, ada William Teasle, seorang kepala polisi yang mewakili generasi veteran Perang Korea. Konflik mereka dalam novel lebih mencerminkan perpecahan generasi di Amerika Serikat saat itu.

Lucunya, dalam film First Blood (1982), Rambo diperhalus agar lebih menarik simpati para penonton. Sylvester Stallone, yang kala itu sudah terkenal lewat Rocky, mengubah banyak bagian cerita tersebut, agar Rambo tidak terlihat terlalu brutal. Bilamana dalam novel, Rambo membunuh polisi tanpa ragu, dalam film, ia lebih banyak bertahan dan hanya membunuh sebagai pilihan terakhir.

Kritik Sosial dalam First Blood

Meskipun sudah dimodifikasi, film First Blood tetap mempertahankan beberapa elemen yang memuat kritik sosial. Film ini menggambarkan bagaimana masyarakat Amerika kala itu memperlakukan veteran perang layaknya sampah.

Rambo diperlakukan semena-mena oleh polisi lokal tanpa alasan yang jelas. Dalam adegan penangkapan dan penganiayaan di kantor polisi, ia harus mengalami kilas balik PTSD sebagai tawanan perang. Ini menunjukkan bagaimana trauma dalam perang masih menghantui para veteran.

Akan tetapi, ada satu hal yang terasa kurang dalam film ini: latar belakang William Teasle. Dalam novel, Teasle membenci Rambo bukan sekadar karena ia pengembara, tetapi karena ia memandang veteran Perang Vietnam sebagai generasi yang gagal dibandingkan dengan generasinya di Perang Korea. Ini wajar, mengingat di Perang Vietnam, tentara Amerika mengalami kekalahan, sementara di Perang Korea, mereka menang. Sayangnya, film tidak menggali hal ini secara mendalam, membuat alasan kebencian Teasle terhadap Rambo terasa abu-abu.

Perubahan Drastis dalam Sekuelnya: Kok Malah Jadi Ajang Propaganda, Ya?

Jika First Blood masih menyimpan kritik terhadap sistem yang menelantarkan para veteran, sekuel-sekuelnya justru berubah menjadi film propaganda.

  1. Rambo: First Blood Part II (1985) – Film ini mulai mengubah citra Rambo. Dari korban sistem dan kondisi sosial di Amerika, ia berubah menjadi pahlawan super Amerika. Rambo dikirim kembali ke Vietnam untuk menyelamatkan tawanan perang Amerika yang masih tertinggal. Pesan film ini jelas: Amerika harus kembali ke Vietnam untuk “menyelesaikan” perang yang mereka tinggalkan. Ini bertolak belakang dengan pesan dalam film pertama.
  2. Rambo III (1988) – Rambo kini berperan dalam konflik di Afghanistan, membantu para Mujahidin melawan Uni Soviet. Film ini semakin kental dengan propaganda Perang Dingin, di mana Rambo diposisikan sebagai simbol kebebasan melawan tirani Soviet.
  3. Rambo (2008) & Rambo: Last Blood (2019) – Di era modern, film Rambo semakin jauh dari kritik sosial dan lebih mengarah pada glorifikasi kekerasan. Rambo tak lagi menjadi korban perang, Rambo kini menjadi mesin pembunuh yang bertindak tanpa kendali.

Rasa Trauma yang Berubah Menjadi Glorifikasi Kekerasan

Perjalanan karakter Rambo mencerminkan bagaimana Hollywood mengubah narasi tentang perang. Jika di awal First Blood ingin menunjukkan dampak buruk perang pada individu, sekuel-sekuelnya justru menjadikan Rambo sebagai simbol militerisme AS.

Fenomena ini tidak lepas dari kondisi politik Amerika Serikat pada dekade 1980-an. Di bawah kepemimpinan Ronald Reagan, nasionalisme dan militerisme semakin diglorifikasi. Hollywood pun ikut arus, dan Rambo menjadi alat propaganda untuk membangkitkan kembali kepercayaan diri Amerika dalam kekuatan militernya.

Kesimpulan: Rambo, Simbol yang Berubah

Rambo adalah contoh bagaimana sebuah karakter bisa berevolusi dari kritik sosial menjadi ikon propaganda. Jika First Blood mengajak kita untuk berpikir tentang dampak perang terhadap para veteran, sekuel-sekuelnya justru menyajikan perang sebagai sesuatu yang heroik dan perlu dilanjutkan.

Perubahan ini tidak terjadi secara kebetulan, tetapi mencerminkan dinamika politik dan budaya Amerika Serikat. Berangkat dari latar belakang seorang veteran yang terbuang, berubah menjadi pahlawan super yang menyelesaikan semua masalah dengan peluru, perjalanan Rambo adalah cermin dari bagaimana Hollywood membentuk persepsi masyarakat tentang perang.

Pada akhirnya, pertanyaan terbesar yang tersisa adalah: Apakah kita lebih membutuhkan sosok seperti Rambo yang merefleksikan realitas pahit perang, atau sekadar pahlawan yang memuaskan fantasi aksi tanpa makna?

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler