Mahasiswi semester 4 jurusan Hubungan Internasional di Universitas Singaperbangsa Karawang. Individu yang berorientasi pada detail dan memiliki minat yang mendalam terhadap isu-isu global.

COP29: Harapan Baru atau Sekadar Retorika dalam Upaya Melawan Perubahan Iklim?

Rabu, 19 Maret 2025 11:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Dampak Perubahan Iklim
Iklan

COP29 dan janji pendanaan iklim $300 miliar per tahun, tapi apakah cukup atau sekadar retorika? Negara berkembang tetap berisiko terjebak utang.

***

Negara-negara maju—Global North—bertanggung jawab atas lebih dari 90% kelebihan emisi karbon global penyebab krisis iklim. Pendanaan iklim seharusnya menjadi kepentingan negara-negara maju untuk mengatasi dampak dari krisis iklim yang dampaknya dapat dirasakan secara luas, terutama oleh negara-negara berkembang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasil utama dari Konferensi Tingkat Tinggi untuk Perubahan Iklim PBB Ke-29 (COP29)—yang diselenggarakan di Baku, Azerbaijan pada tanggal 11-22 November 2024—kembali menjadi sorotan. Di balik angka $300 miliar per tahun yang disepakati, muncul pertanyaan krusial: apakah komitmen ini cukup untuk menghadapi tantangan global atau sekadar retorika diplomatik negara maju untuk menghindari tanggung jawab lebih besar? Apakah dana tersebut akan membantu negara berkembang atau justru semakin membebani mereka dengan utang?

Kesepakatan Pendanaan COP29: Harapan atau Setengah Solusi?

COP29 mempertemukan hampir 200 negara dengan pokok bahasan utama menetapkan sasaran keuangan baru terkait pendanaan iklim. Dilansir dari United Nations Framework Convention on Climate Change, hasil utama dari pertemuan ini—yang dikenal secara formal sebagai New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG)—negara-negara maju sepakat untuk meningkatkan pendanaan iklim menjadi $300 miliar per tahun hingga 2035, menanggapi penolakan dari negara-negara berkembang terkait target sebelumnya yaitu $100 miliar per tahun yang dianggap jauh dari kebutuhan untuk menyokong proyek-proyek mitigasi dan adaptasi di negara-negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim[1].

Meskipun peningkatan pendanaan ini signifikan, melihat sejarah janji pendanaan dalam konferensi sebelumnya, skeptisisme masih tinggi. Jika dibandingkan dengan kebutuhan global untuk mencapai net-zero emissions pada tahun 2050, nominal ini masih terlalu kecil dan belum cukup untuk menutup kesenjangan pendanaan iklim. International Energy Agency dalam laporannya mengeklaim bahwa dunia membutuhkan setidaknya $4 triliun hingga $7 triliun per tahun untuk mencapai target ini[2].

Salah satu kritik utama terhadap rencana pendanaan iklim ini adalah bagaimana dana ini disalurkan. Jika sebagian besar dana ini diberikan dalam bentuk pinjaman, negara berkembang berisiko semakin terjerat dalam utang.

Menurut laporan Oxfam International, lebih dari 70% pendanaan iklim global saat ini berbentuk pinjaman dengan bunga rendah, bukan dalam bentuk hibah—pinjaman yang yang diberikan tanpa mengharapkan pembayaran kembali[3]. Sebagai contoh, mekanisme penyaluran dana seperti Fund for Responding to Loss and Damage (FRLD) memiliki beberapa pertimbangan dalam proses menentukan bentuk pendanaannya akan dalam bentuk hibah atau pinjaman dengan bunga rendah[4]. Jika banyak hasil pertimbangan dari faktor-faktor ini mengarah pada pendanaan dalam bentuk pinjaman, negara berkembang akan semakin terjebak dalam beban utang, bukannya mendapatkan dukungan tanpa syarat.

Kritik terhadap Pendanaan COP29

Fakta bahwa sebagian besar dana dalam komitmen COP29 diberikan dalam bentuk pinjaman ini menuai kritik dari banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa pendanaan ini akan lebih menguntungkan negara donor dibandingkan penerima. Merujuk pada laporan World Bank, sebagian besar pinjaman pendanaan iklim ini disalurkan melalui lembaga keuangan yang dikendalikan oleh negara-negara maju, memberi keuntungan untuk sektor keuangan mereka sendiri[5].

Dilansir dari Agro Indonesia, Prancis memberikan pinjaman non-konsesional sebesar $118,6 juta ke kota pelabuhan Guayaquil, Ekuador, untuk membangun jalur trem udara sebagai alternatif ramah iklim[6]. Prancis diproyeksikan memperoleh bunga sebesar $76 juta selama periode pembayaran 20 tahun. Negara-negara maju lainnya seperti, Jepang, Amerika Serikat, bahkan Jerman juga disebut meraup keuntungan hingga miliaran dolar AS dari pinjaman berkedok pendanaan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim ini.

Janji negara-negara maju untuk berkomitmen pada pendanaan iklim di COP29 ini bukan yang pertama terjadi. COP15 tahun 2009 juga menghasilkan janji serupa, di mana negara-negara maju sepakat untuk menyediakan $100 miliar per tahun mulai 2020. Namun, saat itu terjadi penundaan selama tiga tahun hingga 2023 karena realisasi dana tidak berhasil mencapai target. Faktor kegagalan historis ini menimbulkan skeptisisme bahwa COP29 berisiko menjadi sekadar forum retorika tanpa dampak yang nyata[7].

Sejak era industrialisasi, negara-negara maju memikul tanggung jawab yang besar atas emisi gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim yang berdampak luas saat ini. Menurut penelitian oleh Jason Hickel dalam The Lancet Planet Health, sejak tahun 1850 hingga hingga 2015, negara-negara yang diklasifikasikan oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim sebagai negara-negara lampiran I–mencakup negara-negara OECD dan negara-negara Eropa Timur–bertanggung jawab atas 90% emisi karbon berlebih[8].

Angka ini menunjukkan bahwa negara-negara maju ini memiliki tanggung jawab lebih besar atas kerusakan iklim. Mengingat tanggung jawab historis ini, pendanaan iklim seharusnya menjadi kepentingan utama negara-negara maju, namun, alih-alih berkomitmen pada kesepakatan untuk mendanai negara-negara berkembang dalam menghadapi dampak dari krisis iklim ini yang mereka sebabkan, negara-negara ini malah semakin gencar mendanai proyek-proyek yang berdampak signifikan terhadap lingkungan.

Implikasi dan Masa Depan Pendanaan Iklim

Jika pendanaan iklim yang disalurkan lebih banyak berbentuk pinjaman daripada hibah, negara-negara berkembang berisiko terjerat dalam siklus utang yang semakin dalam. Pada akhirnya, tujuan dari pendanaan iklim ini tidak akan tercapai. Selain itu, ketergantungan pada skema pinjaman dalam pendanaan iklim dapat menghambat upaya transisi negara berkembang menuju pembangunan berkelanjutan.

Beberapa langkah agar pendanaan iklim ini lebih adil dan berkelanjutan, bisa dilakukan melalui penyaluran lebih banyak dana dalam bentuk hibah bukan pinjaman, meningkatkan transparansi dalam distribusinya agar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan, lalu menyediakan solusi jangka panjang dengan transfer teknologi hijau untuk mendukung transisi energi di negara-negara berkembang.

---

Referensi

[1] UNFCCC. (2024). COP29 UN Climate Conference Agrees to Triple Finance to Developing Countries, Protecting Lives and Livelihoods. $ https://unfccc.int/news/cop29-un-climate-conference-agrees-to-triple-finance-to-developing-countries-protecting-lives-and.$  Diakses 16 Maret 2025.

[2] International Energy Agency (IEA). (2024). Net Zero Emissions by 2050 Scenario (NZE). n.d. $ https://www.iea.org/reports/global-energy-and-climate-model/net-zero-emissions-by-2050-scenario-nze#:~:text=Recognises%20that%20achieving%20net%20zero,critical%20part%20in%20this%20collaboration.$  Diakses 16 Maret 2025.

[3] Oxfam International. (2024). Rich countries overstating “true value” of climate finance by up to $88 billion, says Oxfam. $ https://www.oxfam.org.uk/mc/c63mut/.$  Diakses 16 Maret 2025.

[4] UNFCCC. (2024). Fund for responding to Loss and Damage. $ https://unfccc.int/loss-and-damage-fund-joint-interim-secretariat.$  Diakses 16 Maret 2025.

[5] World Bank. Indonesia - Country Climate and Development Report (English). Washington, D.C. : World Bank Group. $ http://documents.worldbank.org/curated/en/099042823064027780.$  Diakses 16 Maret 2025.

[6] Agro Indonesia. (2024). Negara Kaya Raup Untung dari Pinjaman Iklim. $ https://agroindonesia.co.id/negara-kaya-raup-untung-dari-pinjaman-iklim/.$  Diakses 16 Maret 2025.

[7] Sedláček, Štěpán., Wettengel, J. (2021). Wealthy nations’ $100bn climate finance pledge delayed to 2023. $ https://www.cleanenergywire.org/news/wealthy-nations-100bn-climate-finance-pledge-delayed-2023#:~:text=Developed%20countries%20have%20said%20they,target%20in%20the%20years%20thereafter.$  Diakses 16 Maret 2025.

[8] Hickel, J. (2020). Quantifying national responsibility for climate breakdown: an equality-based attribution approach for carbon dioxide emissions in excess of the planetary boundary. The Lancet Planetary Health, 4(9), e399-e404.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Delia Putri

Mahasiswi S1 Hubungan Internasional

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler