Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Jalan Menuju Indonesia Swasembada Aspal 2030 Masih Belum Beraspal
1 jam lalu
Kita ingin Presiden yang berani mengubah paradigma: dari konsumen menjadi produsen, dari ketergantungan menjadi kemandirian.
***
Sudah setahun Presiden Prabowo Subianto berkuasa, namun jalan menuju swasembada aspal masih berlubang, bahkan belum beraspal. Janji untuk menghentikan ketergantungan pada impor aspal senilai triliunan rupiah tiap tahun belum juga nampak arah kebijakannya. Buton masih menunggu, seolah negeri ini lupa bahwa di bawah tanahnya tersimpan emas hitam padat yang bisa menegakkan kedaulatan ekonomi. Sementara itu, impor aspal terus mengalir tanpa rasa bersalah. Indonesia kembali menjadi penonton di rumah sendiri.
Rakyat Buton menatap langit yang sama, tetapi harapan mereka tidak juga turun sebagai kebijakan nyata. Mereka hanya mendengar seruan “kemandirian ekonomi” di pidato-pidato megah, namun di lapangan, truk-truk pengangkut aspal impor masih mendominasi proyek-proyek nasional. Di mana keadilan bagi sumber daya lokal? Bukankah Pak Prabowo pernah berkata bahwa kedaulatan ekonomi adalah harga mati? Jika demikian, mengapa kedaulatan itu dibiarkan rapuh di atas aspal negeri sendiri?
Aspal Buton bukan sekadar bahan bangunan; ia adalah simbol perjuangan bangsa melawan ketergantungan. Namun hingga kini, simbol itu masih tertutup debu birokrasi dan kepentingan impor aspal. Padahal, cadangannya mencapai 677 juta ton, cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional lebih dari 100 tahun. Apalagi yang ditunggu pemerintah? Sampai kapan keputusan politik akan kalah oleh tekanan asing dan konglomerat impor?
Satu tahun bukan waktu yang singkat untuk sekadar diam. Rakyat tidak menuntut keajaiban, tetapi menuntut keberpihakan. Sebab swasembada aspal bukan hanya soal industri, tetapi soal harga diri bangsa. Mengapa Pak Prabowo tidak menjadikan aspal Buton sebagai proyek strategis nasional seperti nikel atau hilirisasi lainnya? Jika hilirisasi nikel bisa, mengapa aspal Buton justru dipinggirkan?
Kita patut bertanya, apakah Presiden Prabowo Subianto benar-benar memahami potensi strategis Buton? Ataukah beliau masih terjebak dalam pusaran laporan yang penuh kepentingan? Sebab fakta di lapangan jelas: investor lokal kesulitan akses perizinan, dana riset terbatas, dan tidak ada dukungan fiskal yang signifikan. Sementara perusahaan asing bebas memasok aspal impor tanpa hambatan. Ini bukan sekadar kelalaian; ini bentuk pengkhianatan terhadap amanah kedaulatan.
Selama setahun pemerintahan berjalan, tidak ada satu pun peraturan presiden yang secara khusus mendorong industrialisasi aspal Buton. Yang ada hanyalah retorika tentang “pembangunan merata”, tetapi kenyataannya pembangunan itu masih tersentral di Jawa. Buton kembali menjadi halaman belakang republik. Padahal di sanalah kunci untuk membuka gerbang swasembada aspal 2030. Tetapi kunci itu dibiarkan berkarat di tangan birokrat yang takut mengambil resiko.
Presiden Prabowo Subianto kerap berbicara tentang keberanian dan kehormatan bangsa. Namun keberanian sejati diuji bukan di medan perang, melainkan di meja keputusan ekonomi. Beranikah beliau menghentikan impor dan memaksa kementerian PU menggunakan aspal Buton sebagai standar nasional? Beranikah beliau menantang oligarki impor aspal yang telah menancap selama puluhan tahun? Atau beliau akan terus diam, membiarkan sejarah menilai bahwa kepemimpinannya gagal memerdekakan aspal bangsa sendiri?
Indonesia kehilangan sekitar Rp 10 triliun setiap tahun untuk membeli aspal impor. Uang itu seharusnya berputar di Buton, menciptakan lapangan kerja, dan menumbuhkan industri turunan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Buton tetap miskin di atas kekayaan. Ironisnya, sebagian besar jalan di Buton pun masih rusak, seolah alam mengejek ketidakadilan kebijakan. Bukankah ini paradoks paling menyakitkan di negeri yang katanya ingin berdaulat?
Aspal Buton tidak membutuhkan belas kasihan, ia hanya butuh keberanian politik. Semua studi teknis sudah selesai, semua riset telah membuktikan keunggulannya. Yang kurang hanyalah kemauan presiden untuk mengeksekusi. Apakah Pak Prabowo takut dikritik? Atau takut menghadapi jaringan bisnis yang selama ini menikmati kue impor aspal? Pertanyaan ini kini menggema di antara para pejuang kemandirian energi.
Jika Presiden Soekarno dulu bisa membangun industri baja dan semen di tengah embargo dunia, mengapa Pak Prabowo tidak bisa membangun industri aspal di negeri yang damai ini? Apakah semangat berdikari sudah terkubur bersama pidato-pidato heroik masa lalu? Buton menunggu bukan untuk dikasihani, tetapi untuk diajak berdiri sejajar dengan pusat kekuasaan. Sebab dari Buton, seharusnya lahir revolusi kemandirian yang nyata, bukan janji tanpa arah.
Swasembada aspal 2030 seharusnya menjadi program kebanggaan nasional, bukan slogan kosong. Ia membutuhkan roadmap, insentif fiskal, dan keberpihakan politik yang tegas. Tanpa itu semua, target 2030 hanya akan menjadi ilusi. Presiden Prabowo Subianto harus sadar, waktu berjalan cepat, dan rakyat menunggu bukti, bukan lagi janji. Kepemimpinan diukur dari keberanian menepati kata-kata sendiri.
Rakyat tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin jalan yang dibangun dengan aspal dari negeri sendiri. Jalan yang menghubungkan kedaulatan dengan kesejahteraan. Jalan yang membawa Buton dari keterpinggiran menuju pusat peradaban ekonomi bangsa. Tetapi jika hingga akhir masa jabatan Prabowo jalan itu masih belum beraspal, maka sejarah akan menulisnya sebagai kegagalan moral, bukan hanya ekonomi.
Aspal Buton telah menjadi saksi diam dari ketidakadilan struktural selama lebih dari 50 tahun. Pemerintah datang silih berganti, namun kebijakan tetap berpihak pada impor. Kini, di bawah kepemimpinan yang mengusung semangat nasionalisme, publik berharap perubahan. Namun harapan itu mulai retak karena diamnya istana. Diam yang terlalu panjang bisa diartikan sebagai ketakutan, bukan kebijaksanaan.
Kita ingin Presiden yang berani mengubah paradigma: dari konsumen menjadi produsen, dari ketergantungan menjadi kemandirian. Kita ingin Pak Prabowo menjadi pemimpin yang tidak hanya berbicara soal kedaulatan pangan, tetapi juga kedaulatan aspal. Sebab di jalan infrastruktur, di situlah simbol harga diri bangsa diuji. Jika aspalnya saja masih harus diimpor, maka kemerdekaan ekonomi hanyalah mitos.
Sudah saatnya Presiden Prabowo Subianto menjawab dengan tindakan, bukan diam. Perintahkan kementerian terkait untuk berhenti membeli aspal impor. Bangun pabrik ekstraksi skala nasional di Buton, berikan insentif bagi investor lokal, dan tetapkan standar nasional berbasis sumber daya dalam negeri. Tidak ada alasan lagi untuk terus menunda. Sebab setiap hari yang terlewat, adalah satu hari kemunduran kedaulatan bangsa.
Swasembada aspal bukan hanya cita-cita teknokrat, tetapi cita-cita nasional. Ia menyangkut masa depan pembangunan yang berkeadilan. Ia menyangkut nasib rakyat Buton yang selama ini terpinggirkan dalam gemerlap proyek nasional. Jika Pak Prabowo gagal menjawab tantangan ini, maka sejarah akan menulis bahwa kepemimpinan nasionalisme itu berhenti di podium, bukan di kebijakan.
Dari Buton kita belajar, bahwa sumber daya tidak akan berarti tanpa keberanian. Dari Buton pula kita mengingatkan, bahwa kedaulatan ekonomi bukan hadiah, melainkan perjuangan. Maka hari ini, rakyat menuntut tanggung jawab seorang Presiden yang pernah berjanji menegakkan kemandirian bangsa. Jalan menuju Indonesia swasembada aspal 2030 masih belum beraspal, dan Pak Prabowo harus menjadi orang pertama yang turun menghamparkannya. Sebab di pundaknya kini terpikul harga diri seluruh negeri.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler