Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Mengapa Prabowo Cuek dengan Kenaikan Harga Aspal Impor?

Senin, 7 April 2025 12:41 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
prabowo 1
Iklan

Dalam 10 tahun terakhir ini, harga aspal impor rata-rata terus naik dari US$ 400 per ton ke US$ 640 per ton, atau kenaikan sebesar 60%.

***

Harga aspal impor berfluktuasi naik turun mengikuti fluktuasi harga minyak bumi dunia. Mengacu kepada Maryland Asphalt Index, tercatat harga aspal tertinggi selama ini adalah sebesar US$ 825 per ton pada bulan September 2008. Dan harga terendah tercatat sebesar US$ 325 per ton pada bulai Mei 2016. Padahal Indonesia sudah mengimpor aspal selama 45 tahun, sejak tahun 1980 an. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada lima tahun terakhir, tercatat harga aspal tertinggi sebesar US$ 795 per ton pada bulan Juni 2022. Dan harga terendah sebesar US$ 388 per ton pada bulan Juli 2020. Harga aspal pada awal tahun 2025 adalah sebesar US$ 640 per ton. Sedangkan harga aspal pada tahun 2024 rata-rata sebesar US$ 600 per ton. Dengan demikian pada tahun 2025 ada kenaikan harga sebesar US$ 40 per ton, atau 6,66%. Meskipun kenaikan harga ini kelihatan kecil, tetapi apabila Indonesia setiap tahun mengimpor aspal sebesar 1,6 juta ton, maka kenaikan harga ini adalah sangat besar sekali.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, harga aspal impor rata-rata terus naik dari US$ 400 per ton ke US$ 640 per ton, atau kenaikan sebesar 60%. Hal ini menunjukkan tren kenaikan harga yang sangat signifikan. Bagi masyarakat umum, isu ini mungkin tidak menjadi pembicaraan hangat, tetapi bagi pelaku industri konstruksi, infrastruktur, dan pemerintah daerah yang menangani proyek pembangunan jalan, lonjakan harga aspal impor adalah sebuah tantangan besar. Ironisnya, di tengah kondisi ini, pemerintah pusat terlihat kurang tanggap, bahkan terkesan cuek terhadap kondisi yang memprihatinkan ini. Pertanyaannya: mengapa?

Aspal: Komoditas Vital dalam Pembangunan

Aspal adalah komponen penting dalam pembangunan infrastruktur, khususnya jalan raya. Hampir semua jalan beraspal di Indonesia menggunakan aspal minyak (bitumen) yang berasal dari pengolahan minyak bumi. Sayangnya, Indonesia masih sangat bergantung pada aspal impor, karena produksi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan nasional yang terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan perluasan infrastruktur.

Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), kebutuhan aspal nasional per tahun mencapai lebih dari 1,6 juta ton, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya sekitar 300–400 ribu ton. Artinya, lebih dari 80% kebutuhan aspal masih harus dipenuhi dari luar negeri, terutama dari negara-negara produsen seperti Singapura, Iran, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Kenaikan Harga Aspal di Pasar Global

Kenaikan harga aspal di pasar global bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa alasan. Beberapa faktor yang mempengaruhi di antaranya adalah naiknya harga minyak mentah dunia, gangguan rantai pasok akibat konflik geopolitik (seperti perang Rusia-Ukraina dan ketegangan di Timur Tengah), serta meningkatnya permintaan dari negara-negara berkembang yang juga sedang gencar membangun infrastruktur.

Namun, harga yang tinggi ini tak serta-merta mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia. Alih-alih mengambil langkah strategis untuk meredam dampaknya, pemerintah terlihat tenang-tenang saja, seolah kondisi ini bisa diabaikan.

Mengapa Pemerintah Terlihat “Cuek”?

Ada beberapa kemungkinan mengapa pemerintah terlihat tidak terlalu reaktif terhadap kenaikan harga aspal impor:

1. Fokus pada Isu yang Lebih Populer

Dalam politik, perhatian pemerintah seringkali tertuju pada isu-isu yang mendapat sorotan publik yang tinggi. Kenaikan harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, atau BBM lebih mudah menarik perhatian masyarakat dan media, sehingga mendorong pemerintah untuk cepat merespons. Sementara kenaikan harga aspal, meskipun berdampak besar dalam jangka panjang, kurang mendapat perhatian karena tidak langsung dirasakan oleh masyarakat.

2. Ketergantungan pada Proyek Strategis Nasional (PSN)

Banyak proyek infrastruktur besar di Indonesia merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pendanaannya menggunakan skema multiyears atau kerja sama dengan swasta dan BUMN. Pemerintah mungkin merasa bahwa lonjakan harga aspal tidak akan terlalu mengganggu proyek-proyek ini karena dana sudah dialokasikan. Padahal kenyataannya, banyak kontraktor dan pemerintah daerah yang kesulitan menyesuaikan anggaran akibat kenaikan harga tersebut.

3. Tidak Adanya Strategi Diversifikasi Aspal

Hingga kini, belum ada langkah signifikan dari pemerintah untuk mendorong penggunaan alternatif aspal dari dalam negeri seperti aspal Buton (asbuton) yang berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Padahal, cadangan asbuton di Indonesia sangat melimpah, bahkan disebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia. Namun, minimnya riset dan pengembangan, regulasi yang tidak mendukung, serta kurangnya insentif membuat asbuton belum mampu bersaing dengan aspal impor dalam skala besar.

4. Kurangnya Koordinasi Antar Lembaga

Kenaikan harga aspal seharusnya menjadi perhatian lintas sektor: Kementerian PUPR, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, bahkan Kementerian ESDM. Namun tampaknya, tidak ada koordinasi yang kuat dalam menghadapi masalah ini. Masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri tanpa kebijakan terpadu yang bisa memberikan solusi jangka panjang.

Dampak Langsung pada Dunia Konstruksi

Konsekuensi dari sikap abai pemerintah ini sangat nyata di lapangan. Banyak kontraktor yang mengeluhkan keterlambatan proyek karena harus menyesuaikan harga bahan baku. Proyek-proyek pembangunan jalan di daerah, yang didanai oleh APBD dengan anggaran terbatas, menjadi terhambat karena harga aspal yang melambung tidak diimbangi dengan penyesuaian harga satuan dalam perencanaan.

Akibatnya, beberapa proyek terpaksa ditunda, dikurangi volumenya, atau bahkan batal dilaksanakan. Ini tentu menjadi ironi di tengah ambisi pemerintah untuk mempercepat konektivitas dan pemerataan pembangunan.

Solusi yang Bisa Didorong Pemerintah

Meskipun terlihat cuek, pemerintah sebenarnya memiliki banyak opsi strategis yang bisa diambil untuk mengatasi permasalahan ini:

  1. Memperkuat Industri Aspal Dalam Negeri: Salah satunya dengan serius mengembangkan dan mengkomersialkan aspal Buton. Dengan dukungan teknologi dan regulasi yang tepat, asbuton bisa menjadi solusi pengganti aspal impor yang lebih mandiri dan berkelanjutan.

  2. Menyesuaikan Harga Satuan di Proyek Pemerintah: Pemerintah pusat harus menyesuaikan standar harga satuan untuk pekerjaan jalan dan infrastruktur agar sesuai dengan harga pasar yang naik, sehingga pelaksana proyek tidak menanggung beban kerugian akibat disparitas harga.

  3. Diversifikasi Pasokan Aspal: Selain dari negara tradisional seperti Singapura dan Korea Selatan, pemerintah bisa menjajaki kerja sama impor aspal dari negara-negara alternatif dengan harga yang lebih kompetitif.

  4. Subsidi atau Skema Insentif: Pemerintah dapat memberikan insentif bagi perusahaan konstruksi atau daerah yang menggunakan aspal dalam negeri sebagai bentuk keberpihakan terhadap industri nasional.

  5. Transparansi dan Data Terbuka: Pemerintah juga perlu menyediakan data harga aspal yang akurat dan transparan agar perencanaan anggaran lebih tepat dan tidak merugikan kontraktor.

Saatnya Pemerintah Membuka Mata

Kenaikan harga aspal bukan sekadar isu teknis sektor konstruksi, tetapi juga berimplikasi pada kelangsungan pembangunan nasional. Ketika proyek-proyek infrastruktur terhambat, maka pertumbuhan ekonomi, konektivitas antar wilayah, hingga kesejahteraan masyarakat juga ikut terganggu. Jika pemerintah terus bersikap cuek terhadap masalah ini, maka bukan tidak mungkin target pembangunan 2045 akan terhambat.

Sudah saatnya pemerintah membuka mata dan mengambil langkah nyata. Ketergantungan pada impor harus segera dikurangi dengan kebijakan yang mendukung industri aspal dalam negeri. Jangan sampai ambisi pembangunan jalan dan konektivitas hanya menjadi slogan kosong karena persoalan aspal yang tak kunjung diatasi.

Penulis sudah sejak tahun 2005 memohon kepada pemerintah untuk segera beralih kepada  aspal Buton. Tetapi pemerintah sampai saat ini masih terus cuek. Apakah penulis salah menduga bahwa cueknya pemerintah ini disebabkan karena adanya mafia impor aspal?

Pak Prabowo, apakah data-data kenaikan harga aspal impor dan cueknya pemerintah ini, membuktikan bahwa benar-benar adanya mafia impor aspal? Katanya pak Prabowo tidak takut mafia manapun, tetapi mafia impor aspal kok didiamkan? Rakyat menunggu gebrakan berani pak Prabowo melawan mafia impor aspal!

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler