Al Arif merupakan Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Ketua IV DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Jakarta, Associate CSED INDEF, serta saat ini sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan

Cara Ekonomi Indonesia Berkelit dari Dampak Perang Tarif Amerika Vs Tiongkok

Sabtu, 12 April 2025 07:27 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Prabowo Trump
Iklan

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan keterbukaan ekonomi cukup tinggi, berada dalam posisi yang cukup rentan sekaligus strategis.

***

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok telah menjadi salah satu konflik ekonomi paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dimulai pada 2018, ketika AS di bawah kepemimpinan Donald Trump memberlakukan tarif impor terhadap berbagai produk Tiongkok, Tiongkok membalas dengan langkah serupa. Meskipun kedua negara sempat mencapai kesepakatan perdagangan pada 2020, ketegangan masih berlanjut dengan kebijakan proteksionis yang terus diperbarui.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Babak baru kebijakan tarif Trump dimulai dengan pengumuman pemberlakuan tarif resiprokal yang akan mulai berlaku pada tanggal 9 April 2025. Tiongkok termasuk salah satu negara yang terkena tarif resiprokal cukup tinggi yaitu sebesar 34%. Kebijakan pemerintah Amerika Serikat ini kemudian dibalas oleh pemerintah Tiongkok dengan mengenai tarif sebesar 34% pada semua barang impor dari Amerika Serikat termasuk pengetatan ekspor pada beberapa bahan baku langka yang sangat dibutuhkan oleh industri Amerika yang digunakan dalam teknologi tinggi dan produk elektronik. Balasan dari pemerintah Tiongkok ini kemudian dibalas kembali oleh pemerintah Amerika Serikat dengan memberlakukan tarif impor sebesar 104% terhadap barang-barang asal Tiongkok.

Ketegangan yang memuncak sejak 2018 ini bukan sekadar adu bea masuk atau kebijakan perdagangan, tetapi mencerminkan perebutan dominasi ekonomi dan teknologi global. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Negara yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik ini ternyata ikut merasakan dampaknya—baik sebagai tantangan maupun peluang.

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan keterbukaan ekonomi cukup tinggi, berada dalam posisi yang cukup rentan sekaligus strategis. Ketika dua kekuatan besar berseteru, riak dampaknya terasa hingga ke pesisir nusantara: ekspor terganggu, pasar keuangan bergejolak, rantai pasok terguncang, tetapi juga muncul kesempatan untuk mengambil ceruk pasar baru.

Efek domino dari perang dagang sangat cepat terasa. IMF, World Bank, dan lembaga ekonomi dunia lainnya merevisi proyeksi pertumbuhan global ke bawah. Ketidakpastian meningkat di pasar saham, nilai tukar bergejolak, dan investasi global menurun. Negara-negara dengan keterkaitan ekspor tinggi kedua raksasa ini mengalami tekanan berat.

Tiongkok dan Amerika adalah dua mitra dagang utama Indonesia. Pada 2023, total perdagangan Indonesia-Tiongkok mencapai lebih dari USD 127 miliar, sementara dengan Amerika sekitar USD 39 miliar. Sampai saat ini, Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia yang mencapai 23,71% dari total perdagangan, Ketika dua negara ini memperketat perdagangan satu sama lain, efek rambatannya mengenai Indonesia dalam beberapa bentuk.

Indonesia banyak mengekspor komoditas seperti batubara, kelapa sawit, dan nikel ke Tiongkok. Perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu menurunkan permintaan komoditas ini, yang berdampak langsung pada penerimaan ekspor Indonesia. Produk Tiongkok yang tak lagi masuk ke pasar AS akan mencari pasar alternatif—termasuk Asia Tenggara. Ini menciptakan kompetisi harga yang lebih ketat bagi produk lokal Indonesia.

Perang tarif memaksa banyak perusahaan multinasional untuk memindahkan basis produksi mereka dari Cina ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Beberapa industri, seperti tekstil, elektronik, dan otomotif, mulai melihat Indonesia sebagai alternatif produksi. Namun, Indonesia masih kalah bersaing dengan Vietnam dan Thailand dalam hal kemudahan berbisnis dan infrastruktur. Jika Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya, maka perang dagang AS-Cina bisa menjadi peluang untuk menarik lebih banyak investasi manufaktur.

Indonesia sebenarnya punya potensi besar, tetapi realisasi investasi asing langsung (FDI) dari relokasi belum optimal karena masih banyak faktor yang menjadi penghambat relokasi tersebut. Faktor penghambat relokasi ini diantaranya adalah regulasi perizinan yang masih kompleks, bahkan hal ini telah menjadi perhatian dari Presiden Prabowo Subianto dengan menyindir Menteri yang terlalu sering menerbitkan Peraturan Menteri. Selain itu, investor masih menghadapi hambatan berupa tingginya biaya logistic, infrastruktur yang belum merata, ketidakpastian kebijakan, dan perlindungan hukum investasi.

Perang tarif menyebabkan investor global cenderung menghindari risiko (risk-off mode), dan aset di negara berkembang termasuk Indonesia ikut tertekan. Rupiah mengalami depresiasi beberapa kali terhadap dolar AS, memicu kekhawatiran terhadap stabilitas makro.

IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) juga beberapa kali terkoreksi, terutama sektor-sektor yang sangat tergantung pada ekspor seperti manufaktur, otomotif, dan pertambangan. Bahkan pada pembukaan bursa setelah libur panjang lebaran, otoritas bursa melakukan Tindakan pembekuan sementara perdagangan (trading halt) selama 30 menit.

Di balik krisis, selalu ada peluang. Jika Indonesia dapat mengambil pelajaran dari dinamika global ini, beberapa strategi bisa diambil untuk meningkatkan daya saing nasional. Kenaikan harga impor dari AS dan Cina bisa memicu industrialisasi substitusi impor. Pemerintah dapat mendorong produksi dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada produk asing. Misalnya, industri elektronik dan otomotif bisa mengembangkan lebih banyak komponen lokal.

Hilirisasi bahan mentah yang telah dilaksanakan sejak periode Presiden Joko Widodo perlu diakselerasi dan diperluas. Hilirisasi industry akan mampu menaikkan nilai tambah produk dan tentunya akan lebih tahan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Penguasaan rantai pasok hilir akan menjadikan Indonesia dapat menentukan harga lebih baik.

Pemerintah perlu memperluas pasar ekspor ke negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Cina. Perjanjian dagang seperti IA-CEPA (Indonesia-Australia), IK-CEPA (Indonesia-Korea), dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) menjadi kunci memperluas akses pasar.

Reformasi struktural seperti penyederhanaan perizinan, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan SDM diperlukan agar Indonesia lebih kompetitif dalam menarik FDI. Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja untuk menyederhanakan perizinan. Serta, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus dan kawasan industri terintegrasi.

Untuk menarik investasi teknologi tinggi, Indonesia perlu SDM unggul dan kebijakan digital yang inklusif. Dalam konteks globalisasi dan ketegangan geopolitik seperti perang dagang, daya saing suatu negara tidak hanya ditentukan oleh kekayaan alam atau infrastruktur fisik, tapi juga kualitas SDM-nya. Negara yang memiliki tenaga kerja kompeten, adaptif, dan berorientasi teknologi akan lebih mampu menyerap dampak negatif sekaligus memanfaatkan peluang dari gejolak global.

Terakhir, pemerintah perlu mendorong konsumsi dalam negeri, UMKM, dan ekonomi berbasis desa agar ekonomi tidak sepenuhnya tergantung pada ekspor. Konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54–56% dari PDB Indonesia. Ini artinya, jika konsumsi masyarakat meningkat secara sehat dan merata, maka perekonomian nasional akan tetap bergerak, meski ekspor lesu.

Beberapa kebijakan yang dapat dilakukan untuk mendorong konsumsi dalam negeri dengan peningkatan daya beli melalui pah layak, bantuan sosial yang efektif, dan penciptaan lapangan kerja.. Selain itu, pemerintah perlu mendorong produk lokal dengan kampanye nasional seperti Bangga Buatan Indonesia. Kemudian peningkatan distribusi produk lokal ke seluruh wilayah, termasuk melalui digitalisasi UMKM. Serta Insentif pajak dan kebijakan fiskal untuk sektor konsumsi ritel dan produsen produk dalam negeri.

Perang tarif Amerika-Tiongkok telah menciptakan badai ketidakpastian dalam ekonomi global. Bagi Indonesia, dampaknya terasa cukup signifikan—baik dalam bentuk tekanan ekspor, gangguan rantai pasok, maupun volatilitas pasar. Namun, krisis ini juga menyajikan peluang untuk membenahi diri dan mengambil peran strategis dalam arsitektur ekonomi global yang baru.

Dengan kebijakan yang tepat, perbaikan infrastruktur dan reformasi regulasi, Indonesia tidak hanya bisa bertahan—tetapi juga tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang lebih tangguh dan mandiri di tengah pusaran geopolitik global.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mohammad Nur Rianto Al Arif

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahan Pangan, Ketua IV DPW IAEI Jakarta, dan Associate CSED INDEF

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler