Seorang pembelajar dengan semangat: Rogo, Scribo, Gratias Ago (Aku Bertanya, Aku Menulis, Aku Bersyukur). Pernah bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
Tantangan Danantara di Tengah Badai Tarif Trump
Selasa, 15 April 2025 20:55 WIB
Tantangan Danantara menavigasi kompleksitas investasi global di tengah badai Tarif Trump yang merubah arsitektur perdagangan dunia
***
Indonesia patut bersyukur memiliki dana kekayaan negara atau SWF (Sovereign Wealth Fund) raksasa bernama Danantara. Terlepas dari pro-kontra dan keraguan yang muncul di publik, sebuah babak baru investasi negara telah dimulai.
Ada harapan besar dengan kelolaan dana (awal) sebesar USD 900 milyar, Danantara mampu mendorong kemakmuran bangsa, ketahanan dan kemajuan ekonomi nasional. Mendorong Indonesia tidak hanya sejajar dengan Singapura, Norwegia, dan negara maju lainnya, namun bisa lebih maju lagi mengingat potensi kekayaan Indonesia yang jauh lebih besar.
Ada pula kecemasan terhadapnya terutama terkait tata-kelola lembaga, dimana laba-laba BUMN besar yang selama ini masuk kas negara untuk menopang APBN, kini digunakan untuk investasi negara di berbagai sektor strategis dan jangka panjang—sementara korupsi masih berakar dan berkembang kian canggih, menjadi penyakit serius yang mengancam kepunahan sebuah bangsa.
Pro-kontra adalah hal yang biasa di saat kelahiran sebuah cita-cita. Namun ada fenomena lain: Ibarat bayi yang baru lahir, dipaksa menghadapi kenyataan “pil-pahit”—berupa ketidakpastian global yang dipicu perang tarif yang mengubah arsitektur perdagangan global, dari globalisasi ke deglobalisasi, dari liberalisme ke proteksionisme, dari unilateral ke bilateral, dan seterusnya.
Kembalinya kebijakan tarif agresif Donald Trump sekali lagi membuat pasar global diliputi ketidakpastian bahkan kekacauan. Dari bea masuk tinggi pada barang-barang Tiongkok hingga hambatan baru yang menargetkan Kanada dan Meksiko, termasuk Indonesia—meski dampak langsung terhadap Indonesia saat ini tidak (atau belum?) sebesar ketiga negara tersebut.
Tarif tidak hanya menaikkan harga, meningkatkan inflasi dan beban konsumen; mereka menggeser lempeng tektonik perdagangan global, melemahkan mata uang, meningkatkan harga komoditas, dan memaksa perusahaan memikirkan ulang tempat produksi dan penjualan mereka.
Apa yang disebut sebagai “Perang Tarif Trump” mengancam dan mengganggu rantai pasok, menaikkan biaya, juga mengubah lanskap investasi—yang ujung-ujungnya berdampak pada makin beratnya beban bagi rakyat dan perekonomian negara, dan tentunya bagi SWF sendiri.
Jangankan bagi Danantara yang baru lahir, bagi dana kekayaan negara (SWF) kelas dunia yang telah lama berdiri dengan segudang pengalaman investasi—raksasa seperti Government Pension Fund Global Norwegia, Temasek Singapura, atau Public Investment Fund Arab Saudi—gejolak ekonomi ini menghadirkan bahaya sekaligus peluang.
Saat peluang masih jauh dan belum jelas, bahaya telah muncul di depan mata. Danantara memerlukan pandangan strategis, untuk memastikan SWF ini mampu memanfaatkan peluang di tengah badai tarif ini. Tak hanya itu, Danantara perlu mendapat dukungan “doktrin investasi global” yang bersifat ideologis dan politis dari negara.
Sebuah “doktrin” yang mampu mendorong Indonesia keluar dari cara pandang “inward-looking” menuju “outward-looking”, doktrin Indonesia yang memandang dunia sebagai “halaman luas” rumah masa depan Indonesia tercinta.
Seperti halnya doktrin investasi global China—One Belt One Road (OBOR), dengan dukungan “dual-ideology”—ke dalam negeri komunisme, keluar negeri kapitalisme—menghidupkan kembali semangat Jalur Sutera kuno dengan skala dan dampak modern. OBOR atau disebut juga BRI (Belt Road Initiative), yang dicetuskan tahun 2013—adalah jembatan China sekaligus jalan pembuka bagi perusahaan-perusahaan China membangun konektivitas global.
Begitu pula dengan AS, saat awal-awal membangun jaringan perdagangan global, internasionalisasi US Dollar dengan konsep Bretton Wood tahun 1971 yang menghapus cadangan emas suatu negara sebagai jaminan kepercayaan terhadap mata uang suatu negara.
Dengan dukungan berupa “trust” dari negara-negara lain terhadap mata uang USD, bahwa USD itu kuat, stabil dan aman—AS mulai menjalankan globalisasi perdagangan dunia paska Perang Dunia II. “Trust” yang dikawal dengan kebijakan doktrinal militer AS sebagai “polisi dunia”.
Visi doktrinal tersebut diperlukan Indonesia, sebagai panduan arah Danantara to pave the way memasuki era baru perang dagang (perdagangan bebas yang mulai tidak bebas). Jika dalam perang militer, kita memiliki doktrin: HANKAMRATA—Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, maka dalam perang dagang mungkin kita perlu mengembangkan konsep doktrin HANDAGRATA—Pertahanan Dagang Rakyat Semesta. Sebuah topik yang akan saya bahas dalam kesempatan lain.
Doktrin tersebut yang akan membuat Danantara—sebagai ujung tombak atau garda terdepan investasi global milik negara—akrab dengan badai geopolitik, terlebih ia lahir tepat di saat dunia dilanda perang dagang yang termasuk ekstrim dalam sejarah, membalikkan situasi ekonomi global—yang menurut Sri Mulyani: “tidak pernah ada dalam ilmu ekonomi” selama ini.
Bagi Danantara dan SWF pada umumnya—yang mandatnya memadukan kepentingan nasional dengan imbal hasil jangka panjang—jalan ke depan menghadapi situasi tersebut terletak pada keseimbangan antara kehati-hatian dan oportunisme yang terukur. Bahkan, wait and see—bisa jadi bukan pilihan terbaik. Sebuah mandat dan tantangan yang tidak ringan saat ini.
Berikut adalah gagasan dan pemikiran yang masih bersifat spekulatif mengenai berbagai langkah yang dapat diambil Danantara menghadapi badai tarif Trump dan perang finansial total ke depan:
Pertama, Danantara hendaknya menyiapkan langkah diversifikasi yang kokoh untuk melindungi diri dari volatilitas akibat tarif. Sektor seperti manufaktur dan komoditas berbasis ekspor—seperti baja atau elektronik—termasuk rentan terhadap gangguan rantai pasok dan fluktuasi harga. Saatnya melirik aset-aset tangguh yang lebih kebal krisis, seperti infrastruktur, energi terbarukan, kesehatan atau real estat utama di pasar yang stabil.
Beberapa SWF-SWF di Eropa, misalnya SWF Norwegia yang mengelola dana $1,6 triliun, memiliki peluang untuk meningkatkan kepemilikannya di ladang angin lepas pantai Eropa untuk sumber energi terbarukan atau properti perkotaan di kota-kota seperti London, yang kurang terpapar gesekan perdagangan AS-Tiongkok. Langkah seperti ini dipandang dapat memperkuat portofolio mereka terhadap gejolak pasar yang terdampak tarif.
Kedua, perang tarif menciptakan peluang pembelian di negara-negara yang mata uangnya melemah akibat hambatan perdagangan. Yuan Tiongkok atau peso Meksiko yang lebih lemah membuat aset di pasar tersebut lebih murah bagi SWF yang memiliki cadangan dolar AS.
Danantara dapat menyiapkan langkah-langkah negosiasi dan mencapai kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan prospektif di negara-negara yang terdampak pelemahan mata uang. Hal yang biasanya dilakukan Temasek Singapura, yang terkenal jeli dan cerdas bernegosiasi dan mencapai kesepakatan—yang bisa saja mengakuisisi perusahaan teknologi Tiongkok yang undervalued—misalnya, di bidang semikonduktor atau logistik—dengan harga diskon.
Demikian pula, peluang-peluang infrastruktur di Meksiko cukup terbuka lebar, dari pelabuhan hingga jaringan listrik, bisa menjadi murah karena peso tertekan tarif. Akuisisi ini akan memposisikan SWF untuk meraup keuntungan saat pasar stabil. Sebuah prinsip sederhana dalam investasi: beli saat harga murah, jual saat harga tinggi.
Ketiga, Danantara perlu menyiapkan langkah dan strategi investasi global yang mendukung sektor yang diuntungkan dari kebijakan proteksionis Amerika. Tarif Trump bertujuan membawa manufaktur kembali ke AS, menciptakan pemenang di industri seperti baja, semikonduktor, dan kendaraan listrik. Fakta bisa berkata lain. Bukan tidak mungkin, akibat perang dagang ini yang dieskalasi oleh tarif Trump, membuat AS masuk era krisis lebih dulu dibanding negara lain.
Terhadap peluang tersebut, SWF seperti Qatar Investment Authority, biasanya tertarik mendanai proyek berbasis AS, seperti pabrik chip di Arizona, yang didukung insentif federal untuk mengurangi ketergantungan pada Asia. Alternatifnya, mereka bisa menargetkan negara seperti Vietnam atau India, tempat perusahaan multinasional memindahkan pabrik untuk menghindari tarif Tiongkok.
Sebelum alternatif tersebut menjadi pilihan SWF Qatar, mungkin Danantara perlu melihat peluang investasi pada kepemilikan sektor tekstil Vietnam yang sedang booming atau elektronik India bisa menghasilkan imbal hasil besar seiring penataan ulang rantai pasok global.
Peluang-peluang berinvestasi di sektor yang diuntungkan kebijakan Trump di AS, bukan tidak mungkin akan dilakukan China Investment Corporation—misalnya mengalirkan modal ke pelopor AI domestik seperti SenseTime atau pembuat baterai kendaraan listrik untuk melawan pembatasan teknologi AS.
SWF lain mungkin mendukung otomatisasi atau teknologi hijau untuk memperkuat industri lokal di AS. Perlu diingat, perang tarif adalah bagian dari perang dagang. Dunia investasi sepertinya tidak akan tersentuh perang tarif. AS masih terbuka jika negara-negara lain “berinvestasi” di AS, tidak hanya “berdagang”. Bukankah tujuan Trump dengan perang tarifnya adalah untuk mengundang dana-dana masuk AS?
Keempat, seperti halnya yang dilakukan SWF kelas dunia lainya, Danantara perlu melakukan lindung nilai terhadap berbagai gejolak geopolitik dan geoekonomi yang penuh ketidakpastian akibat tarif. Ini langkah penting, karena tarif bisa memicu inflasi, memperlambat pertumbuhan global, atau meningkat menjadi konflik perdagangan yang lebih luas, mengguncang pasar ekuitas dan komoditas.
Danantara mungkin perlu mulai memikirkan peluang meningkatkan alokasi ke aset safe-haven seperti emas, obligasi pemerintah berkualitas tinggi, atau mata uang stabil seperti yen Jepang.
Hal yang sama biasanya dilakukan oleh Public Investment Fund Arab Saudi, yang tampaknya cenderung akan menambah kepemilikan emas untuk mengimbangi risiko di portofolio yang didominasi energi, mengingat kerentanan harga minyak dunia terhadap perlambatan ekonomi.
Lindung nilai ini akan memberikan bantalan terhadap dampak tak terduga dari perang tarif. Terlebih, dampak Tarif Trump ini mulai merembet ke pasar minyak dunia.
Kelima, Danantara perlu berinvestasi pada inovasi untuk mempersiapkan ekonomi Indonesia menghadapi masa depan. Perang tarif cenderung akan mendorong negara-negara untuk mengurangi ketergantungan pada impor, mempercepat kemandirian teknologi.
Danantara perlu menyiapkan langkah investasi strategis pada sektor industri domestik—termasuk hilirisasi sumber daya alam Indonesia yang dapat meningkatkan posisi Indonesia dalam rantai pasok global—tidak hanya berhenti sebagai eksportir yang dibiarkan berjalan sendiri tanpa orkestrasi.
Penulis membayangkan, suatu saat Danantara terus berinvestasi meningkatkan portofolionya secara global di semua negara, kemudian industri domestik Indonesia—yang merupakan portofolio Danantara sendiri—yang memasok kebutuhan perusahaan global milik Danantara tersebut di luar negeri. Tak hanya mengintegrasikan rantai pasok produk industri lokal ke pasar global, tetapi juga “rantai pasok” SDM—tenaga kerja Indonesia di seluruh penjuru dunia.
Investasi seperti ini tidak hanya selaras dengan prioritas nasional tetapi juga memanfaatkan gelombang pertumbuhan global berikutnya.
Poin penting dari analisis berbagai kemungkinan langkah Danantara dalam menavigasi krisis tarif Trump ini adalah pentingnya Danantara memiliki kejelian melihat peluang-peluang sebelum digarap SWF kelas dunia lain. Mereka yang masuk pertama kali dan berhasil meningkatkan nilai, mereka pula yang akan meraih imbal hasil tinggi.
Apakah Danantara bisa bersaing dengan SWF lain melakukan hal-hal seperti itu? Memanfaatkan gelombang pertumbuhan global berikutnya? Pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab saat ini.
Dengan memadukan kehati-hatian dengan taruhan yang berani dan berpandangan jauh ke depan, Danantara tidak hanya bisa melewati badai ini tetapi juga muncul lebih kuat.
Atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, kita berharap Danantara mampu menjadikan Indonesia menjadi “mangkubumi” (menggendong dunia) atau “pakubuwono” (pusat jagat)—yaitu menjadikan Indonesia sebagai salah pusat gravitasi perdagangan, industrialisasi dan investasi global di masa depan yang penuh berkah. Semoga!

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perang Dagang
0 Pengikut

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump
Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
Senjata China dalam Perang Tarif Trump
Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler