Seorang pembelajar dengan semangat: Rogo, Scribo, Gratias Ago (Aku Bertanya, Aku Menulis, Aku Bersyukur). Pernah bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Senjata China dalam Perang Tarif Trump

Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kota Beijing
Iklan

China diam-diam telah menyiapkan senjata melawan AS dengan tiga instrumen hukum. Hal itu memperkuat langkah pemerintah dalam perang dagang...

***

Tulisan ini dipicu oleh pertanyaan: apa yang menyebabkan China begitu tangguh dan kokoh dalam menghadapi perang Tarif Trump? China begitu percaya diri bahkan cenderung begitu bersemangat menghadapi lawan perang dagang yaitu AS.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak hanya itu, China cenderung ingin memperluas spektrum perang dagang dengan AS, tak hanya dalam hal tarif tetapi juga dalam non-tarif, tak hanya dalam hal perdagangan produk tetapi juga dalam perdagangan jasa.

Satu hal yang pasti, menjawab pertanyaan tersebut adalah: China telah mempersiapkan jauh hari sebelumnya dan bahkan telah memprediksi bahwa situasi seperti ini (perang Tarif Trump) akan terjadi sejak Donald J Trump terpilih dan dilantik pada 20 Januari 2017 sebagai Presiden AS untuk periode pertama 2017-2021.

Periode pertama pemerintahan Trump ditandai serangkaian kebijakan kontroversial. Perang dagang AS-China melalui pengenaan tarif tinggi dan pembatasan impor, Keputusan untuk menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari kesepakatan nuklir Iran dan perjanjian iklim Paris, serta upaya pengetatan kontrol imigrasi merupakan beberapa langkah yang paling kontroversial—salah satunya membangun tembok pembatas di wilayah perbatasan AS yang rawan imigran gelap.

Bagi China, dinamika hubungan dengan Amerika Serikat sejak satu dekade terakhir tidak lagi semata dipandang sebagai persaingan dagang biasa, melainkan sebagai medan utama dalam konflik geoekonomi global yang tentu harus dipersiapkan dengan penuh perhitungan.

Beijing menyadari betul bahwa perang tarif yang digencarkan Washington bukan sekadar upaya mengoreksi defisit dagang, melainkan bagian dari strategi jangka panjang Amerika untuk menahan kebangkitan ekonomi dan teknologi China.

Oleh karena itu, sejak awal China tidak merespons secara reaktif atau terburu-buru. Sebaliknya, mereka menyiapkan berbagai langkah antisipatif yang terukur dan menyeluruh, baik di dalam negeri maupun di kancah global. Baru setelah tarif Trump mencuat kali ini, China seolah menemukan momentumnya.

Jauh hari sebelumnya, China memperkuat ketahanan industrinya, meningkatkan kemampuan inovasi teknologi domestik melalui program "Made in China 2025", serta memperluas diversifikasi mitra dagang untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat.

Lebih dari itu, strategi China dalam menghadapi tekanan Amerika dibingkai dalam kebijakan besar yang terstruktur, seperti menggalang kekuatan melalui inisiatif One Belt One Road (OBOR) yang kini dikenal sebagai Belt and Road Initiative (BRI).

Melalui program ini, China berinvestasi besar-besaran di infrastruktur dan jalur perdagangan yang menghubungkan Asia, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah, guna membangun jejaring ekonomi baru yang lebih menguntungkan dan mengurangi dominasi Barat.

Selain itu, China juga membangun aliansi strategis di berbagai forum global seperti BRICS yang beranggotakan negara-negara berkembang dengan kekuatan ekonomi besar lainnya seperti Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan.

Lewat BRICS, China berupaya mendorong agenda multipolaritas dalam tata ekonomi dunia, memperkuat mekanisme keuangan alternatif seperti New Development Bank (NDB), dan menjajaki penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional untuk mengurangi dominasi dolar AS.

Semua langkah ini menggambarkan bahwa China tidak sekadar bertahan, tetapi justru berupaya mengubah peta kekuatan global di tengah memanasnya rivalitas dengan Amerika Serikat.

Terpilihnya dan dilantiknya Donald J Trump pada 25 Januari 2025 untuk periode 2024-2027 dan diumumkannya Tarif Trump “The Liberation Day” sejak awal April 2025 lalu, seolah menjadi akselerator ambisi China memenangkan perang dagang dengan AS.

Mengapa China Begitu Percaya Diri?

Selain telah melakukan berbagai langkah tersebut, ada satu yang sering luput dari pengamatan publik global, bahkan tampaknya tidak disadari oleh AS sendiri, yaitu: Diam-diam namun sistematis, China membangun apa yang dapat disebut sebagai “arsenal hukum ekonomi.”

Yaitu suatu perangkat hukum yang kelak akan digunakan pemerintah Beijing dalam merespon semua langkah kebijakan terkait perang dagang dengan AS, bahkan dengan siapa pun. Sebuah landasan konstitusional yang kelak digunakan Xi Jinping untuk melakukan langkah apa pun sebagaimana layaknya negara dalam keadaan perang.

Harus diakui, langkah ini merupakan respons terhadap keterkejutan mereka pada 2017, saat Trump pertama kali terpilih dan langsung menjatuhkan tarif, sanksi, serta pembatasan akses teknologi terhadap perusahaan-perusahaan China.

Ini adalah langkah antisipasi yang bersifat khas, yaitu khusus dalam menghadapi perang Tarif Trump. Kali ini, Beijing seolah tidak ingin terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali. Ia telah menyiapkan langkah pembalasan, tak hanya retalisasi tarif Trump atas produk ekspor impor, tetapi menyiapkan pasal-pasal yang kelak dapat menyudutkan pihak lawan, terutama AS.

Sejak 2019, China mulai menyusun instrumen hukum yang memberi mereka kemampuan untuk membalas tekanan Barat dengan cara yang sama—secara sah, legal, dan berdasar hukum nasional. Tidak lagi bergantung pada balasan fiskal atau diplomasi protes, Beijing kini memiliki kerangka hukum sendiri yang bisa membatasi, melarang, bahkan menghukum individu maupun korporasi asing yang dianggap mengancam kepentingan nasional.

Penulis mengamati, setidaknya ada tiga instrumen hukum yang merupakan senjata China dalam menghadapi perang dagang, terutama perang tarif Trump yang kini masih berlangsung.

Instrumen pertama datang dalam bentuk Undang-Undang Anti-Sanksi Asing (The Anti-Foreign Sanctions Law). Disahkan pada 2021, UU ini secara eksplisit memberikan kewenangan kepada negara untuk membekukan aset, melarang transaksi, hingga mencegah masuknya pihak asing ke wilayah China.

Dalam konteks global, ini adalah respons langsung terhadap sanksi dari Amerika dan Eropa atas isu-isu seperti Xinjiang, Hong Kong, atau kebijakan luar negeri China. Tapi lebih dari itu, UU ini adalah deklarasi: China tidak lagi bermain sebagai korban sanksi, ia kini punya amunisi hukumnya sendiri.

Lalu muncul Daftar Entitas Tidak Dapat Dipercaya (The Unreliable Entity List). Nama itu terdengar teknokratis, bahkan terkesan basa-basi. Bahasanya terdengar halus dan sopan, namun dampaknya bisa mematikan secara bisnis.

Perusahaan asing yang dianggap “merugikan kepentingan nasional China” bisa dikeluarkan dari pasar, dicabut izin operasinya, dan diputus dari mitra bisnis lokalnya. Daftar ini belum digunakan secara luas, mungkin memang sengaja disimpan sebagai ancaman yang terus menggantung di udara. Tapi daya kejutnya nyata. Dunia usaha mulai menyadari bahwa ada harga hukum yang harus dibayar jika berurusan dengan geopolitik China.

Senjata terakhir, dan mungkin yang paling strategis, adalah Undang-Undang Kontrol Ekspor (The Export Control Law) yang diperluas. Dengan landasan hukum ini, China bisa melarang ekspor mineral strategis seperti litium, galium, germanium, dan berbagai rare earth elements yang menjadi fondasi industri teknologi global. Jika sanksi AS bisa mematikan akses China terhadap chip, maka UU ini adalah jawaban China untuk dunia: kami bisa mematikan akses Anda ke bahan baku chip itu sendiri.

Dari uraian di atas, tampak jelas mengapa Beijing begitu percaya diri dan berdiri kokoh menghadapi perang tarif Trump ini. Ketiga UU yang telah disiapkan Beijing tampak begitu relevan hari ini adalah konteks politik dan perang dagang dengan AS.

Kini, bentrokan ini bukan lagi sekadar perang dagang dan perang ekonomi. Ia akan menjadi konflik hukum. Sebab pada level tertentu, pertempuran antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini telah bergeser menjadi bentrokan antar-sistem legal—yang satu dibangun oleh Washington, yang satu lagi oleh Beijing.

Selain ketiga instrumen hukum tersebut, secara kreatif China telah membangun kanal propaganda global melalui sosial media TikTok. TikTok diluncurkan pertama kali pada bulan September 2016 sebagai aplikasi video pendek bernama Douyin di China. Kemudian, aplikasi ini diluncurkan secara internasional dengan nama TikTok pada September 2017. 

Tak heran, jika semua langkah dan sepak terjang Trump dibalas Beijing melalui TikTok. Sebuah langkah yang bukan tidak sengaja, namun sebagai bentuk “pengabaian” China terhadap terhadap musuh dagangnya sambil meraih simpati “korban-korban” perang dagang AS, sesuai doktrin: musuhnya musuh adalah teman.

Pertanyaan menggelitik dari uraian ini adalah: Sudahkah RI menyiapkan instrumen hukum yang permanen sebagai landasan dalam memenangkan perang dagang dan diplomasi ekonomi yang kokoh ke depan, agar kebijakan pemerintah tidak bersifat responsif, sporadis dan mudah terombang-ambing?

Pertanyaan ini layak kita ajukan kepada yang terhormat Anggota DPR RI, bukan?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iwan Koswadhi

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perang Dagang

0 Pengikut

img-content

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump

Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
img-content

Senjata China dalam Perang Tarif Trump

Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler