Seorang pembelajar dengan semangat: Rogo, Scribo, Gratias Ago (Aku Bertanya, Aku Menulis, Aku Bersyukur). Pernah bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
Jalan Panjang RI dalam Negosiasi Tarif Trump
Jumat, 25 April 2025 21:43 WIB
Negosiasi RI dan AS tampaknya tidak mudah. Beda persepsi. Di sisi lain, China mengancam negara-negara yang bernegosiasi dengan AS.
***
Saat ini berbagai negara, termasuk Indonesia, tengah sibuk bernegosiasi dengan AS paska Donald Trump berupaya meredam suhu perdagangan global dengan menunda pemberlakukan tarif selama 90 hari ke negara-negara, kecuali China.
Sejak negosiasi tahap awal minggu lalu, Indonesia tampaknya terjebak dalam sebuah dilema yang rumit.
Delegasi Indonesia yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, bersama Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu, memulai negosiasi dengan USTR dan Departemen Perdagangan AS pada 17 April 2025 di Washington, D.C. Belum ada tanda-tanda tarif untuk Indonesia akan turun, sementara janji-janji sudah terlanjur di-“obral”.
Indonesia termasuk negara pertama yang diterima untuk negosiasi, bersama Vietnam, Jepang, dan Italia, menunjukkan prioritas diplomatik. Negosiasi ditargetkan selesai dalam 60 hari (Juni 2025), dengan 1–3 putaran pembicaraan teknis.
Penulis mengamati, misi dan materi negosiasi ini terasa ganjil sejak awal. Ekspektasi Indonesia yang berharap pada kelonggaran tarif tidak sejalan dengan tuntutan Amerika Serikat yang ingin agar hubungan dagang menjadi lebih adil bagi mereka.
Dalam dokumen yang dirilis United States Trade Representative (USTR), yang diterbitkan Maret 2025, terdapat 13 halaman (halaman 212-225) telah membahas secara rinci kebijakan perdagangan Indonesia.
Dokumen ini menjelaskan alasan mengapa AS "menghukum" Indonesia dengan tarif tinggi—yaitu 10 persen sebagai tarif dasar—yaitu tarif bagi semua negara, ditambah 32 persen bagi Indonesia sebagai tarif resiprokal—yaitu tarif yang diberlakukan sebagai balasan kepada negara-negara dengan defisit perdagangan besar terhadap AS.
Dampak tarif Trump terhadap Indonesia memang bersifat tidak langsung, karena ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang sekitar 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal ini sangat berbeda dengan Vietnam yang ekspornya ke AS mencapai 30 persen dari PDB dan memilih untuk "mengalah", membalas tarif Trump dengan 0 persen terhadap produk impor AS ke Vietnam.
Respon yang disambut baik oleh Trump, meski mengandung “jebakan” bagi AS. Vietnam seolah “memberi” AS dengan “pemberian” yang sebetulnya tidak akan banyak mengubah nasib produk AS di Vietnam. Siapa yang akan membeli Harley Davidson di Vietnam, meski tarif impornya 0 persen?
Apa yang dicapai tim negosiasi RI memang belum ada hasil yang menggembirakan dan belum final. Namun jika hasilnya nihil, hal itu seolah membenarkan prediksi banyak suara yang menuntut sikap lebih keras RI terhadap AS.
Penulis sendiri banyak menerima pesan yang bernada kritik dan protes terhadap sikap penulis yang mendorong negosiasi. Kritik itu menyebut bahwa bersikap sopan kepada "orang gila" tidak akan ada gunanya, apalagi saat dunia pun sedang mengecam kepemimpinannya.
Meski demikian, penulis tetap berpandangan bahwa negosiasi adalah salah satu solusi. Selanjutnya tinggal bagaimana strategi dan materi negosiasi serta pihak mana saja yang akan menjadi mitra negosiasi. Sikap ini adalah sikap sebuah kepemimpinan.
Penulis sepakat, setidaknya ada senjata 3-D yang perlu segera disiapkan Indonesia: Diplomasi, Diversifikasi dan Defensifikasi. Jika gagal dengan langkah Diplomasi, langkah selanjutnya bagi Indonesia adalah Diversifikasi pasar.
Langkah lainnya yang tak boleh diabaikan adalah Defensifikasi—membangun “pertahanan” untuk melindungi industri dalam negeri, industri Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, langkah yang dulu pernah populer—“Berdikari” (Berdiri Di atas Kaki Sendiri) atau dengan “Program Benteng”.
Waktu masih ada, setidaknya 60 hari ke depan, untuk memanfaatkan masa jeda 90 hari sebelum tarif diberlakukan penuh. Namun, hasil dari pertemuan tahap pertama pada 17–18 April 2025 menunjukkan bahwa negosiasi tampaknya akan berjalan pincang, jika tim delegasi Indonesia tidak menyentuh “hot button” pihak AS.
Indonesia menawarkan jalan keluar berupa rebalancing neraca perdagangan dengan meningkatkan impor produk-produk AS seperti Liquefied Petroleum Gas (LPG), Liquefied Natural Gas (LNG), kedelai, peralatan kesehatan, besi dan baja, serta komponen kilang minyak.
Indonesia meminta AS menerapkan tarif seimbang untuk 20 produk ekspor unggulan, termasuk tekstil, alas kaki, furnitur, udang, dan elektronik, agar tidak lebih tinggi dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam atau Thailand. Saat ini, tarif untuk produk Indonesia (hingga 47%) lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Namun, AS tampaknya lebih menyoroti hambatan non-tarif Indonesia, seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN), lisensi impor, dan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Ini menjadi pertanda bahwa ekspektasi Indonesia dan keinginan AS akan sulit bertemu. Tabiat Trump, jika lawan tidak sepakat dalam negosiasi, maka ia akan “menghukum” pihak lawan negosiator dengan tarif yang lebih tinggi.
Jika fokus negosiasi RI hanya meminta penurunan tarif, maka kegagalan adalah hal yang mudah diprediksi dan hampir pasti. Indonesia perlu menyadari bahwa tarif tinggi ini adalah balasan AS atas kebijakan proteksionisme Indonesia selama ini.
Tim Negosiasi harus lebih jeli memahami dan menyikapi dengan bijak permintaan AS yang tertuang dalam dokumen USTR. Jika tidak ada koreksi dan konsesi yang setara, maka di mata Trump, “you have no cards to negotiate!”
Dalam dokumen tersebut disebutkan setidaknya ada 58 regulasi yang dinilai merugikan kepentingan dagang AS, terdiri atas 14 undang-undang dan peraturan pemerintah, 10 peraturan presiden, 7 peraturan menteri keuangan, 10 peraturan menteri perdagangan, 6 peraturan menteri perindustrian, 4 keputusan menteri agama, dan beberapa peraturan dari otoritas lain seperti Bank Indonesia dan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal).
Sementara Indonesia mengajukan 10 poin negosiasi termasuk janji untuk membeli produk AS senilai USD 18 miliar, penyesuaian kuota impor, relaksasi kandungan lokal, penurunan bea masuk, hingga kolaborasi dalam sektor energi.
Indonesia juga kabarnya telah menyerahkan dokumen resmi untuk menangani isu ini, termasuk rencana deregulasi dan penyederhanaan prosedur impor.
Namun tentu hal itu perlu disertai proposal kongkrit tentang bagaimana ke depan. Bukan sekadar “memenuhi permintaan” AS sebagaimana tertera dalam dokumen USTR.
Soal janji membeli produk-produk AS senilai USD 18 miliar pun tampaknya tidak mudah diterima begitu saja oleh Washington. Siapa yang akan mendanai pembelian tersebut? Pemerintah, terutama tim negosiasi, tentu memahami bahwa dana surplus perdagangan RI-AS senilai USD 18 milyar tersebut bukan milik pemerintah.
Uang surplus perdagangan dengan AS itu adalah uang milik swasta, eksportir, bentuknya pun berupa cadangan devisa di bawah otoritas Bank Indonesia.
Selain itu, belum jelas siapa yang akan mengimpor barang-barang AS tersebut—apakah BUMN, swasta, atau gabungan keduanya, atau perusahaan AS di Indonesia sendiri yang saat ini “merasa diperlakukan tidak adil” di Indonesia.
Dengan kata lain, apa pun situasinya, uang surplus perdagangan RI-AS, bukanlah uang atau material yang bisa dinegosiasikan pemerintah—kecuali pemerintah memiliki dana USD18 milyar untuk mengimpor produk AS. Tetapi, bagaimana mekanismenya? Apa dasar hukumnya?
Tanpa kejelasan implementasi, janji itu hanya akan menjadi retorika belaka di mata AS. Pada awal keberangkatan tim negosiasi RI ke AS, penulis sempat menyimak pernyataan wakil menteri investasi dan hilirisasi—yang akan mendorong Danantara berinvestasi di proyek-proyek AS sebagai salah satu opsi negosiasi. Sebuah pernyataan yang terburu-buru dan bisa dipandang sebagai lelucon saat ini di mata AS.
Lebih dari sekadar negosiasi, ini adalah momen koreksi bagi Indonesia. Dengan atau tanpa tarif Trump, Indonesia perlu mengevaluasi semua kebijakan dagangnya, mempertimbangkan keberlanjutannya, dan menyadari bahwa setiap kebijakan yang tidak konsisten bisa menjadi bumerang.
Inkonsistensi terhadap regulasi domestik sebelumnya maupun terhadap ketentuan global seperti WTO, jika tidak diperbaiki, akan semakin menjauhkan Indonesia dari kepercayaan mitra dagangnya.
Sebagai langkah awal, setidaknya 58 regulasi yang menjadi sorotan USTR perlu ditinjau ulang. Jika diyakini sesuai kepentingan nasional dan regulasi global, maka itulah yang harus dikomunikasikan dengan jelas kepada pihak AS untuk membangun saling pengertian.
Tak hanya berhenti sampai di situ, tim negosiasi RI hendaknya mampu mengajak AS memiliki visi perdagangan bilateral yang sama dan menguntungkan kedua belah pihak.
Belajar dari India, negara tersebut tidak reaktif. Menghadapi tarif Trump, India memilih jalur negosiasi yang tenang dan senyap, merancang peningkatan volume perdagangan bilateral hingga USD 500 miliar pada 2030 secara bersama-sama, menjadi semacam visi dan target bersama kedua negara. Sebuah visi yang terukur bagi India dan AS.
Namun, di balik semua itu, ada ancaman lain yang tak boleh diabaikan Indonesia. China telah mengeluarkan ultimatum: negara yang bernegosiasi dengan AS dan tidak sejalan dengan kepentingan China akan menerima konsekuensinya.
Bagi China, temannya musuh adalah musuh. Di sinilah kecerdikan Indonesia diuji. Jangan hanya sibuk bernegosiasi dengan AS. Lakukan juga diplomasi dengan China. Jangan sampai gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.
Langkah Indonesia dalam negosiasi ini harus benar-benar hati-hati. Jalan masih panjang, namun jangan salah memilih jalan. Bukan untuk menunjukkan sikap heroik dengan patriotisme yang tidak sesuai tempat dan waktunya, melainkan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional jangka panjang. Semoga!

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perang Dagang
0 Pengikut

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump
Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
Senjata China dalam Perang Tarif Trump
Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler