Seorang pembelajar dengan semangat: Rogo, Scribo, Gratias Ago (Aku Bertanya, Aku Menulis, Aku Bersyukur). Pernah bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.
Blunder Tarif Film Trump dan Peluang Indonesia
Rabu, 7 Mei 2025 22:05 WIB
Pernyataan Trump yang akan memberlakukan tarif film tidak akan “Make Hollywood Great Again”: Justru dapat melemahkannya. Peluang bagi Indonesia.
***
Trump kembali bikin heboh. Tapi ini bukan soal postingan foto AI-nya berbaju “Paus”. Ini soal kebijakan tarif terbarunya terkait industri film. Trump akan mengenakan tarif 100 persen pada semua film yang diproduksi di luar negeri. Pernyataan yang memicu kehebohan di Hollywood.
Menurut Trump, negara-negara asing telah "mencuri" studio dan pembuat film Amerika lewat insentif pajak dan biaya produksi yang lebih rendah. Tarif ini, katanya, akan “membuat Hollywood hebat lagi.” Tampak jelas, Trump sedang menggeser perang tarif ke perang non-tarif. Agak janggal, bagaimana sektor yang sebetulnya non-tarif kemudian dikenakan tarif.
Dalam tulisan sebelumnya, penulis membahas sektor jasa sebagai keunggulan AS sekaligus titik lemah karena begitu mudah diserang oleh mitra dagang. China telah dahulu melakukannya. Xi Jinping melarang distribusi film Holywood di China. Itu bagian dari China memperluas spektrum perang dagangnya dengan AS.
Jika pernyataan Trump terkait tarif film adalah respon atas kebijakan retaliasi asimetris China terhadap film-film AS dan sektor jasa lainnya, tentu saja ini salah sasaran—karena anjloknya industri perfilman di Holywood bukan karena penonton beralih ke film-film asing non-Holywood di AS atau karena tiket film-film non-AS lebih murah dibanding tiket film-film AS.
Kebijakan tarif Trump terkait film yang diproduksi di luar negeri merupakan langkah blunder yang berdampak strategis. Trump seolah tak sadar bahwa dunia perfilman modern itu sangat global dan kolaboratif.
Studio-studio besar seperti Disney, Warner Bros., hingga Netflix rutin melakukan syuting di Inggris, Australia, dan Kanada, sembari tetap mengelola penulisan, penyutradaraan, dan pascaproduksi di AS. Apa yang mereka lakukan, bukan soal meninggalkan Amerika atau meningalkan Holywood, melainkan strategi efisiensi global.
Tarif Trump justru dapat mempersulit posisi Hollywood. Biaya produksi akan naik, jumlah film akan turun, dan penonton bioskop—yang sudah menurun pascapandemi—bisa semakin menjauh karena harga tiket yang melambung. Alih-alih memulihkan kejayaan, kebijakan ini justru dapat mempercepat kemunduran industri film AS.
Padahal, film adalah salah satu sektor dengan surplus perdagangan tertinggi di AS. Tahun 2023, ekspor film AS mencapai USD 22,6 miliar, dengan surplus lebih dari USD 15 miliar. Film-film Amerika bukan hanya produk hiburan, tetapi juga alat diplomasi budaya.
Jika negara-negara seperti China, Prancis, atau India membalas dengan tarif serupa, dominasi Hollywood akan terguncang. Retaliasi semacam ini akan mempersempit ruang distribusi internasional dan mempercepat munculnya pasar baru yang lebih otonom.
Kebijakan Trump ini tidak hanya kontroversial secara ekonomi, tetapi juga rawan digugat secara hukum dan berdampak buruk secara diplomatik. Tidak ada dasar hukum yang jelas untuk mengenakan tarif terhadap kekayaan intelektual seperti film.
Seperti biasa, Trump hampir selalu mengobral kebijakannya atas nama “ancaman terhadap keamanan nasional”. Alasan yang terasa semakin mengada-ada. Bahkan sejumlah pakar hukum dan pelaku industri telah menyuarakan kekhawatiran akan implikasi jangka panjang dari kebijakan tersebut terhadap reputasi Amerika sebagai pusat kreativitas perfilman global.
Namun, dalam setiap krisis ada peluang. Dan Indonesia justru bisa mengambil manfaat dari blunder tarif film Trump ini.
Jika Amerika mempersulit akses produksi global, maka para pembuat film dunia akan mencari tempat baru yang lebih terbuka dan efisien. Indonesia, dengan kekayaan budaya, keberagaman lokasi, tenaga kreatif muda, serta biaya produksi yang kompetitif, bisa menjadi alternatif yang menarik. Ini sebetulnya sudah dimulai oleh produsen film AS berlatar Bali, seperti: Eat Pray Love (2010) atau Ticket to Paradise (2022)--keduanya dibintangi Julia Roberts.
Bila dikelola dengan tepat, Indonesia bahkan dapat membangun surplus perdagangan jasa dari industri perfilman dan menjadikannya tulang punggung diplomasi budaya nasional.
Indonesia bisa mengadopsi pendekatan strategis dengan memperkuat skema insentif fiskal bagi produksi asing, mempercepat pembangunan studio berstandar internasional (seperti di Batam dan Yogyakarta), serta membentuk dana promosi budaya visual yang dikelola lintas kementerian.
Dalam jangka menengah, Indonesia juga dapat menjalin kemitraan bilateral untuk produksi bersama dengan negara-negara yang terdampak langsung oleh tarif film AS, seperti Kanada, Inggris, dan Spanyol. Selain itu, pelatihan talenta lokal dalam bidang penulisan naskah, penyuntingan, efek visual, dan manajemen produksi perlu ditingkatkan secara sistemik.
Kekuatan budaya Indonesia yang selama ini tersebar perlu disinergikan melalui satu ekosistem produksi dan distribusi yang terhubung dengan pasar global. Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya menjadi lokasi syuting alternatif, tetapi juga pusat narasi Asia Tenggara yang diperhitungkan dunia.
Untuk bangkit, Hollywood tidak membutuhkan kebijakan tarif, tapi strategi. Kondisi paska kebakaran besar di California beberapa waktu lalu, industri film konvensional paska pandemi yang mendapat tekanan dari industri streaming dan platform digital, boleh jadi Holywood memerlukan kebijakan re-inventasi masif.
Demikian pula Indonesia. Kita harus belajar bahwa keterbukaan, kolaborasi, dan investasi pada kreativitas adalah resep untuk kekuatan budaya yang berkelanjutan. Sementara AS mungkin sedang menutup pintunya dengan tarif, Indonesia harus berani membukanya lebih lebar— untuk ide, bakat, dan kerja sama internasional. Kini saatnya Indonesia mengambil posisi strategis sebagai pusat gravitasi baru dalam ekonomi kreatif global.
Isu tarif film ini dicetuskan Donald J Trump dalam postingannya di sosial media: di platform X dan di platform Truth Social. Biasanya, Xi Jinping selalu siap dengan balasannya di platform TikTok.
Menarik jika pemimpin RI merespon postingan Trump dan Xi Jinping juga melalui platform sosial media resmi pemerintah sambil menyatakan kesediaan Indonesia menjadi hub industri film global. Penanda era diplomasi sosial media telah dimulai.
Sebuah langkah sederhana namun tidak kalah seru, bukan?

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perang Dagang
0 Pengikut

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump
Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
Senjata China dalam Perang Tarif Trump
Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler