Manusia yang masih mencari jati diri karena ketertarikannya pada isu anak, keluarga, komunitas, dan pemberdayaan. Berhasil dalam perjuangan memperoleh pengalaman dan pengetahuan di jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Dalam proses belajar dan menjadi manusia yang utuh

Anak Butuh Dibimbing, Bukan Dihukum

Kamis, 15 Mei 2025 08:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kedisiplinan Anak
Iklan

Alih-alih memperbaiki, hukuman keras malah memperburuk perilaku anak.

Dalam proses membesarkan anak, banyak orang dewasa menganggap bahwa hukuman fisik atau cara mendisiplinkan yang keras merupakan metode paling efektif untuk mengajarkan perilaku baik. Namun, penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa cara ini justru bisa menimbulkan lebih banyak masalah—baik secara perilaku maupun emosional.

Mengajarkan Takut, Bukan Nilai

Anak yang sering dihukum secara keras memang bisa tampak patuh. Namun, kepatuhan ini sering kali bukan karena mereka memahami apa yang benar, melainkan karena mereka takut. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat perkembangan penalaran moral anak. Alih-alih belajar membedakan mana yang baik dan buruk atas dasar nilai, anak hanya belajar untuk menghindari hukuman.

Lawrence Kohlberg, melalui teorinya tentang perkembangan moral, menjelaskan bahwa anak akan berkembang dari tahap kepatuhan karena takut hukuman (tahap pra-konvensional), menuju pemahaman etis yang lebih matang (tahap pasca-konvensional). Sayangnya, hukuman yang keras cenderung membuat anak terjebak di tahap awal. Akibatnya, mereka mungkin berhenti berbuat salah saat diawasi, tetapi tetap mengulangi kesalahan saat tidak ada yang melihat.

Meniru Agresi dari Orang Tua

Ketika orang dewasa memukul anak atas nama pendisiplinan, mereka sebenarnya sedang memberi contoh bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan masalah. Anak-anak yang tumbuh dengan pola ini sering kali membawa sikap agresif ke lingkungan sekolah atau pertemanan.

Menurut Albert Bandura dalam teori pembelajaran sosial, anak-anak belajar dengan meniru perilaku yang mereka lihat, terutama dari orang tua. Jika kekerasan merupakan bagian dari cara orang tua menyelesaikan masalah, maka bukan hal aneh jika anak kemudian menyelesaikan konflik dengan memukul, membentak, atau mengintimidasi teman.

Merusak Harga Diri Anak

Hukuman keras juga bisa merusak cara anak memandang dirinya sendiri. Anak-anak yang sering dihukum cenderung merasa tidak berharga atau gagal. Mereka tak lagi bisa membedakan bahwa yang salah adalah perbuatannya—bukan dirinya sebagai sebagai seorang individu.

Charles Horton Cooley melalui konsep looking-glass self menyebutkan bahwa cara kita memandang diri sendiri dipengaruhi oleh bagaimana kita percaya orang lain memandang kita. Jika anak merasa selalu diperlakukan sebagai “anak nakal”, lambat laun ia akan mulai percaya bahwa dirinya memang buruk.

Memperparah, Bukan Menyelesaikan

Alih-alih memperbaiki perilaku, pendisiplinan yang keras justru bisa memperburuk situasi. Anak-anak mungkin jadi suka melawan, berbohong, atau menunjukkan perilaku antisosial lainnya. Emosi seperti marah, takut, atau merasa tidak dimengerti justru memperkuat pola perilaku negatif mereka.

Dalam Teori Coercion yang dikembangkan oleh Gerald Patterson, dijelaskan bahwa hukuman keras yang terus-menerus bisa menciptakan lingkaran setan antara anak dan orang tua: anak melawan → orang tua menghukum lebih keras → anak makin melawan. Pola ini tidak menyelesaikan akar masalah, justru memperkuat perilaku buruk anak.

Mengabaikan Akar Masalah

Setiap perilaku punya alasan. Anak yang marah atau memberontak mungkin sebenarnya sedang menghadapi tekanan emosional, trauma, atau kebutuhan yang tidak terpenuhi. Namun, pendekatan disiplin yang keras cenderung hanya fokus pada mengontrol, bukan memahami.

Paradigma humanistik menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan psikologis dasar seperti rasa aman, dicintai, dan dipahami. Tanpa itu, anak tidak akan berkembang secara sehat. Pendisiplinan keras justru melukai kebutuhan dasar ini, menjauhkan anak dari dukungan yang sebenarnya ia butuhkan.

Disiplin Bukan Soal Siapa yang Lebih Tahu

Banyak orang dewasa merasa lebih tahu karena mereka punya lebih banyak pengalaman hidup. Tapi tanpa mendengarkan dan memahami pengalaman anak, tak akan lahir hubungan yang membentuk karakter dengan sehat.

Disiplin yang keras sering dijadikan jalan pintas. Memang bisa membuat anak diam sejenak, tapi tidak membentuk pemahaman yang bertahan lama. Tanpa pendekatan yang manusiawi dan penuh empati, jangan heran jika anak kembali mengulang perilaku yang sama—bahkan bisa berkembang menjadi lebih buruk.

 

Mendisiplinkan anak tidak harus dilakukan dengan kekerasan. Justru, kedekatan emosional, dialog terbuka, dan keteladanan jauh lebih efektif dalam membentuk perilaku anak. Orang tua dan orang dewasa bukan hanya pendidik, tetapi juga perlu menjadi teman tumbuh bagi anak—belajar bersama menjadi manusia yang utuh.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fitria Wulan Sari

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler