Seorang pembelajar dengan semangat: Rogo, Scribo, Gratias Ago (Aku Bertanya, Aku Menulis, Aku Bersyukur). Pernah bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump

Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pulau Palm Jumeirah Dubai, Uni Emirat Arab
Iklan

Jangan Terlena dengan "Gencatan" Tarif di Jenewa. Sebuah "langkah kuda" Trump sedang dimainkan di Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi.

***

Di Jenewa pekan ini, dunia seolah menarik napas lega. Setelah berbulan-bulan berlangsung eskalasi ketegangan, Amerika Serikat dan China mengumumkan apa yang dengan cepat disebut banyak media sebagai “terobosan besar.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tembok tarif yang sebelumnya meroket hingga 145% dan 125% akhirnya diturunkan—setidaknya untuk 90 hari ke depan. Wall Street melonjak. Pasar Asia bersorak. Harga minyak naik di tengah optimisme bahwa krisis ini mungkin akhirnya akan mereda.

Namun, jika Anda mengira pertarungan ini sudah usai, mungkin Anda belum memperhatikan dengan saksama. Jenewa hanyalah panggung sandiwara. Cerita sesungguhnya justru sedang berlangsung jauh di Teluk Persia, di mana Presiden Trump kembali melanjutkan safari diplomatiknya—bukan ke Beijing atau Brussel, melainkan ke Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi.

Dimulai pada Selasa, 13 Mei 2025, Presiden Trump melakukan tur ke tiga negara di kawasan Teluk, dimulai dari Arab Saudi, dilanjutkan ke Qatar, dan diakhiri di Uni Emirat Arab. Pernyataan resmi menyebutkan kunjungan ini bertujuan mendorong gencatan senjata di Gaza.

Namun agenda sebenarnya jauh lebih besar. Sumber-sumber yang mengikuti lawatan ini mengungkapkan bahwa pembicaraan juga mencakup strategi pengendalian harga minyak, kesepakatan pertahanan, investasi besar-besaran di bidang kecerdasan buatan, kemitraan di sektor penerbangan, serta—yang paling penting—potensi penyelarasan kebijakan ekspor semikonduktor dan pengembangan program nuklir.

Jangan salah. Perdagangan dengan China adalah topik utama yang tak pernah absen dalam setiap ruang pertemuan mewah yang dihadiri Trump. Dan sementara dunia sibuk menyorot Jenewa, negosiasi sesungguhnya justru sedang berlangsung jauh di Timur Tengah.

Penulis ingin bicara apa adanya. Penurunan tarif selama 90 hari ini tak lebih dari sekadar jeda sementara. Washington menyebutnya sebagai “pengaturan ulang total,” tetapi angka-angkanya berbicara lain. Tarif 30% atas barang China masih sangat memberatkan. Tarif 10% atas ekspor AS ke China tetap menyakitkan. Ini bukanlah perdamaian. Ini hanyalah jeda—manuver yang sudah diperhitungkan dalam perang ekonomi yang jauh dari kata selesai.

Mengapa jeda ini muncul? Karena Trump butuh waktu, bukan hanya untuk mengelola citra politik di dalam negeri, tetapi juga untuk memperkuat aliansi-aliansi strategis di kawasan lain. Dan di mana lagi kalau bukan di pusat kekuatan energi dunia—Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi—di mana kepentingan Amerika dalam minyak, keuangan, dan keamanan bertemu dengan eskalasi pertarungan ekonominya melawan China.

Penulis hampir bisa memastikan bahwa di balik pintu-pintu rapat itu, Trump sedang menekan para pemimpin Teluk untuk secara halus menyelaraskan kebijakan ekonomi mereka dengan agenda besar Washington: menahan laju ekspansi China, membatasi akses Beijing ke pasar Teluk, dan menghambat pengaruh China dalam proyek infrastruktur, energi, dan teknologi masa depan.

Jika Anda menganggap pendapat penulis berlebihan, lihat saja rekam jejaknya. Pemerintahan  Trump ini telah lama menggunakan aliansi ekonomi sebagai senjata untuk menekan rival-rivalnya. Dari tarif teknologi untuk Eropa hingga pembatasan semikonduktor terhadap Jepang, semua itu merupakan permainan favorit Trump.

Kunjungan Trump ke Arab Saudi pada 13 Mei 2025 tampak menghasilkan kesepakatan ekonomi dan pertahanan yang monumental, yaitu investasi Saudi senilai $600 miliar dan penjualan senjata AS ke Saudi senilai $142 miliar. Sebuah angka yang fantastis. Sekilas ini prestasi “America First” yang luar biasa.

Namun di balik hasil kesepakatan itu, terutama dalam transaksi penjualan senjata AS ke Saudi, Trump tentu mengajukan syarat-syarat yang sulit ditolak Saudi Arabia, yaitu syarat agar Saudi menghambat ruang gerak China, baik untuk impor maupun investasi. Pola yang sama tentu dilakukan Trump terhadap Qatar dan Uni Emirat Arab.

Lalu bagaimana sikap negara-negara Teluk tersebut? Mereka sudah lama bermain "dua kaki" secara halus antara Washington dan Beijing. Mereka seolah menerapkan pasar terbuka untuk AS dan China. Hal itu mereka lakukan karena China adalah pembeli terbesar minyak dan gas mereka, mitra utama dalam proyek Belt and Road, serta investor besar dalam megaproyek kota masa depan mereka.

Namun, fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa payung keamanan negara-negara Teluk tersebut adalah Amerika Serikat. Fakta yang tak terbantahkan. Trump menyadari sepenuhnya bahwa mereka tidak bisa bertaruh melawan Washington, seberapa pun menggiurkannya uang dari China.

Begitulah strategi diplomasi Trump: menggeser tekanan tarif ke tekanan perdagangan dan investasi di negara-negara aliansi AS, dalam hal ini negara-negara Teluk, yang bergantung ke AS terutama dalam hal pertahanan. Tekanan agar mereka menghambat kepentingan China di kawasan mereka.

Jadi, sementara dunia merayakan “gencatan senjata” di Jenewa, langkah zig-zag Trump adalah mengalihkan pandangan ke Semenanjung Arab, di mana tekanan diam-diam sedang dibangun agar negara-negara Teluk menjauh dari investasi dan perdagangan dengan China. Inilah front tersembunyi dalam perang ekonomi AS-China, dan dampaknya bisa jauh melampaui sekadar tarif.

Jenewa mungkin telah memberi dunia 90 hari penuh optimisme. Tapi lawatan Trump ke Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi menunjukkan bahwa permainan sesungguhnya baru saja dimulai. Dan jika kita lengah, kita bisa saja bangun dengan terkaget-kaget bahwa aturan permainan telah berubah—tanpa kita sadari.

Bagi Indonesia, pesannya sangat jelas. Jangan menggantungkan masa depan ekonomi pada kesepakatan rapuh yang bisa runtuh kapan saja. Jangan biarkan pasar domestik dibanjiri produk China yang mencari pelarian dari tarif AS. Dan jangan pernah mengira tawaran akses pasar dari Amerika adalah bentuk kemurahan hati. Semua itu adalah bagian dari permainan geopolitik di mana setiap jabat tangan menyimpan tuntutan tersembunyi.

Indonesia harus bersiap untuk semua skenario: bernegosiasi lebih keras dengan Washington, mendiversifikasi perdagangan melampaui China dan AS, dan memperkuat ketahanan dalam negeri. Perkuat industri lokal. Lindungi sektor strategis dari guncangan rantai pasok global. Tarik investasi bukan hanya dari Timur atau Barat, tetapi dari mitra yang tidak memaksa Indonesia untuk memilih salah satu kubu.

Sebuah pesan yang sangat jelas namun perlu perjuangan ekstra keras untuk mewujudkannya, bukan?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iwan Koswadhi

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perang Dagang

0 Pengikut

img-content

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump

Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
img-content

Senjata China dalam Perang Tarif Trump

Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler