Saya adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, dengan konsentrasi pada Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Selama menjalani studi, saya aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, baik intra maupun ekstra kampus, sebagai bagian dari proses pengembangan kapasitas diri dan kontribusi sosial. Dalam ranah organisasi intra kampus, saya terlibat di Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Bimbingan dan Penyuluhan Islam, khususnya di Departemen Keislaman. Keterlibatan ini memberi saya ruang untuk memperkuat pemahaman keagamaan dan nilai-nilai dakwah yang inklusif di lingkungan akademik. Di luar struktur organisasi kampus, saya merupakan kader aktif Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Komisariat UIN Jakarta dan saat ini mengemban amanah sebagai Bendahara Umum. Peran ini memperluas wawasan saya dalam advokasi sosial serta gerakan mahasiswa berbasis ideologi kerakyatan dan nasionalisme. Selain itu, saya juga cukup aktif dalam Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (Kompak), sebuah forum yang berfokus pada upaya pencegahan dan penanggulangan berbagai bentuk kekerasan, baik dalam lingkup kampus maupun masyarakat luas. Keterlibatan saya dalam berbagai organisasi ini merupakan bentuk komitmen untuk mengintegrasikan nilai-nilai keislaman, keilmuan, dan kemanusiaan dalam praktik nyata kehidupan mahasiswa.

Punk Bukan Gaya, Tapi Cara Pandang Hidup

Senin, 19 Mei 2025 21:15 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Metal Imaji
Iklan

Punk bukan sekadar tampilan atau musik keras, ia adalah sikap hidup, perlawanan, dan kesadaran.

***

Tulisan ini lahir dari hasil diskusi santai namun bermakna dengan Mike, vokalis band dengan nuansa punk yang sudah menjadi legendaris di Indonesia, Marjinal. Dalam obrolan itu, Mike menegaskan bahwa punk bukan sekedar urusan tampilan seperti mengenakan jaket kulit, rambut mohawk, atau sekedar mendengarkan musik keras. Punk sejatinya adalah pandangan hidup yang disebut sebagai sebuah cara berpikir yang merdeka, kritis, dan menolak tunduk kepada sistem yang membelenggu kebebasan individu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Punk adalah perlawanan terhadap ketimpangan, kemunafikan sosial, dan penindasan struktural. Dalam semangat itulah, muncul tiga nilai utama yang menjadi fondasi gerakan ini: anti-kemapanan, anti-konsumerisme, dan do it yourself (DIY).

1. Anti-Kemapanan

Anti-kemapanan tidak berarti menolak harta benda atau kehidupan yang layak. Anti-kemapanan adalah cara menjaga semangat hidup agar terus berkembang. Seseorang yang merasa sudah "mapan" baik secara materi maupun pikiran biasanya akan berhenti tumbuh. Ia merasa cukup, nyaman, dan enggan keluar dari zona aman. 

Bagi punk, anti-kemapanan adalah dorongan agar pikiran tetap liar, kreatif, dan tak dibatasi tembok kemapanan. Ia mengajak kita untuk tidak cepat puas, agar terus bertanya, terus belajar, dan tidak terjebak dalam stagnasi. 

Lebih jauh, anti-kemapanan berkaitan erat dengan kemerdekaan individu. Dalam kerangka ini, punk memaknai merdeka sebagai tidak menjajah dan tidak dijajah serta tidak mendominasi orang lain, tapi juga tidak tunduk pada dominasi, baik secara ekonomi, budaya, dan pikiran. Merdeka adalah ketika kita bebas berpikir dan bertindak tanpa intervensi sistem yang menindas.

2. Anti-Konsumerisme

Anti-konsumerisme dalam ideologi punk merupakan bentuk penolakan terhadap budaya konsumtif yang ditanamkan oleh sistem kapitalis. Dalam kerangka ini, masyarakat dikondisikan untuk terus membeli, mengejar tren, dan merasa tidak cukup jika tidak mengikuti apa yang sedang dianggap populer. Punk hadir sebagai kritik terhadap siklus ini dengan menawarkan alternatif berupa kesadaran, kesederhanaan, dan otonomi dalam memilih.

Namun, anti-konsumerisme bukan hanya soal menolak barang dan gaya hidup berlebihan. Lebih dari itu, ia adalah sikap untuk tidak ikut-ikutan secara mental dan budaya. Punk menolak mentalitas massal berupa kecenderungan untuk meniru tanpa berpikir, mengikuti arus tanpa kesadaran. Dalam konteks hari ini, sikap ini tercermin dari penolakan terhadap standar-standar yang palsu, seperti tren TikTok dalam mencari pasangan yang berbasis ilusi semu dan sumber yang tidak kredibel.

Sikap ini juga menjadi penolakan terhadap kepatuhan buta kepada tokoh-tokoh agama yang tidak bertanggung jawab “gus-gus” atau “habib-habib” palsu yang membungkus manipulasi dengan retorika agama. Punk, dalam hal ini, adalah sikap merdeka yang tidak tunduk pada simbol palsu, tidak mudah percaya pada kultus figur, dan selalu mempertanyakan: apakah yang kita ikuti benar-benar lahir dari kesadaran, atau hanya hasil dari sistem yang membodohi?

Anti-konsumerisme, dalam pengertian ini, mengajak kita untuk bersikap filosofis terhadap apa yang kita lakukan. Ia mendorong kita untuk merenungi apakah tindakan kita benar atau salah, baik atau buruk. Lebih dari sekadar menolak gaya hidup konsumtif, anti-konsumerisme mengajak kita untuk sadar bahwa hidup bukan tentang tampil atau pamer, melainkan tentang kejujuran terhadap diri sendiri.

Prinsip ini menekankan pentingnya membedakan antara kebutuhan nyata dan kebutuhan palsu yang diciptakan oleh sistem. Ia mengingatkan kita bahwa banyak hal yang kita kejar berupa barang, citra, gaya hidup sering kali bukan berasal dari kebutuhan autentik, melainkan dari konstruksi sosial yang dibentuk oleh budaya populer dan logika pasar. Dalam semangat itu, anti-konsumerisme adalah ajakan untuk hidup lebih jujur, sadar, dan merdeka dari dominasi sistem yang menyesatkan.

3. Do It Yourself (DIY)

Prinsip Do It Yourself (DIY) merupakan elemen sentral dari gerakan punk dan menjadi jantung dari semangat perlawanan yang diusungnya. DIY bukan sekadar metode produksi alternatif, melainkan suatu bentuk praksis politik dan kultural yang menolak ketergantungan pada struktur otoritatif maupun sistem yang mapan. Dalam kerangka pemikiran punk, DIY hadir sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kapitalisme, birokrasi budaya, serta mekanisme validasi yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok elite dan berkuasa.

Punk mengedepankan gagasan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk berkarya dan menyuarakan pikirannya tanpa harus menunggu persetujuan, legitimasi, atau dukungan dari institusi formal. Ini mencerminkan sebuah sikap ontologis tentang manusia yang merdeka: manusia yang mampu berpikir dan bertindak secara otonom, tanpa harus tunduk pada narasi-narasi besar yang membatasi kebebasan ekspresi dan kreativitas.

Prinsip Do It Yourself (DIY) tercermin dalam berbagai aspek kehidupan dan praktik budaya punk. Para pelaku punk merancang dan menjahit pakaian sendiri sebagai ekspresi identitas, serta membentuk kolektif atau gerakan sosial berbasis komunitas. Dalam konteks ini, DIY bukan sekadar praktik teknis, melainkan juga bentuk pernyataan sikap yang menolak kooptasi oleh sistem kapitalisme budaya dan menegaskan kembali kedaulatan individu serta solidaritas komunitas.

Dengan menerapkan prinsip DIY, gerakan punk secara aktif membuktikan bahwa produksi budaya tidak harus berada dalam kendali industri atau kekuasaan hegemonik. Punk menawarkan narasi tandingan yang menunjukkan bahwa siapapun tanpa modal besar, tanpa koneksi elite, dan tanpa pendidikan formal dapat menghasilkan karya yang bermakna, menciptakan ruang alternatif, dan turut serta dalam perumusan wacana sosial.

Dalam kajian kultural, prinsip DIY dapat dibaca sebagai bentuk counter-hegemony, yakni strategi untuk mendekonstruksi struktur kekuasaan simbolik yang telah mengakar dalam masyarakat. Melalui praktik DIY, punk mengartikulasikan bentuk baru dari keagenan sosial, yaitu kapasitas individu untuk menjadi subjek aktif dalam mencipta, melawan, dan merumuskan makna secara mandiri di tengah tekanan sistemik.

Oleh karena itu, DIY bukanlah sekadar pilihan teknis atau estetika. Ia adalah pernyataan politik yang kuat: bahwa dalam dunia yang terus mencoba menyeragamkan cara berpikir dan berkarya, kebebasan dan kemandirian tetap mungkin diperjuangkan bukan dengan menunggu, tetapi dengan menciptakan ruang sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri.

Kesimpulan

Ketiga nilai dalam gerakan punk: anti-kemapanan, anti-konsumerisme, dan do it yourself (DIY) bukanlah prinsip yang berdiri sendiri, melainkan saling terhubung dan memperkuat satu sama lain dalam membentuk cara hidup yang merdeka, kritis, dan mandiri.

Anti-kemapanan menolak stagnasi dan kepuasan palsu yang membuat manusia berhenti berkembang. Sikap ini mendorong kita untuk terus bergerak, berpikir, dan menciptakan. Namun pergerakan itu akan sia-sia jika kita masih terjebak dalam konsumerisme, di mana kita dikendalikan oleh kebutuhan buatan dan tekanan sosial. Karena itu, anti-konsumerisme menjadi upaya melawan budaya ikut-ikutan dan ketergantungan terhadap sistem yang menindas.

Di tengah penolakan terhadap kemapanan dan konsumerisme itu, punk menawarkan jalan keluar yang disebut sebagai Do It Yourself (DIY) yaitu membangun dengan tangan sendiri, berpijak pada potensi diri, dan berkarya tanpa menunggu restu otoritas. DIY adalah bentuk nyata dari kemerdekaan berpikir dan bertindak.

Dengan menggabungkan ketiganya, punk tidak hanya menjadi perlawanan, tapi juga menjadi gerakan hidup yang sadar, bebas, dan otentik. Suatu jalan bagi siapa pun yang ingin hidup tanpa tunduk pada sistem yang menindas dan membungkam. Punk bukan sekedar gaya, tapi cara pandang hidup.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bung Jack

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Revolusi! Tak Ada Jalan Tengah!

Kamis, 4 September 2025 09:38 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler