Mutiara, mahasiswi Hubungan Internasional dengan minat mendalam pada perdagangan, ekonomi, dan dunia keuangan. Penggemar tontonan yang memperkaya wawasan, saya menyalurkan pemikiran kritis melalui tulisan yang mengupas fenomena global dan lokal dari perspektif unik. Dengan semangat eksplorasi dan keingintahuan yang tinggi, saya terus menggali hal-hal baru yang dapat memperluas cakrawala.
Hidup atau Bertahan? Menimbang Ulang Makna Keseimbangan
Rabu, 21 Mei 2025 08:24 WIB
Refleksi tentang hidup di era serba cepat antara produktivitas kelelahan dan upaya menemukan kembali arti keseimbangan
***
Pernahkah kamu merasa seolah waktu terus berlalu begitu cepat, tetapi tanpa benar-benar menikmati hidup? Setiap hari terasa penuh sesak dengan berbagai kegiatan, bukan dengan kebahagiaan, melainkan dengan tekanan, kewajiban, dan rutinitas yang berulang tanpa henti. Di tengah dunia yang bergerak dengan kecepatan tinggi, banyak dari kita mulai mempertanyakan: apakah kita benar-benar menjalani hidup atau hanya berusaha bertahan dari satu hari ke hari lain?
Melaju Tanpa Rem: Gambaran Hidup Era Kiri
Setiap pagi, tak sedikit dari kita yang terbangun dengan rasa cemas. Bukan karena ancaman langsung, tapi karena beban tugas yang menumpuk, notifikasi yang terus berdatangan, dan tekanan hidup yang seolah tak pernah berhenti. Kehidupan modern sering kali digambarkan seperti lomba tanpa garis finis: kita didesak untuk terus bergerak tanpa henti, tanpa pernah bertanya apakah arah kita sudah tepat.
Teknologi mempercepat segala hal: komunikasi, pekerjaan, bahkan target pencapaian. Apa yang dulu dianggap sukses di usia 40-an, sekarang harus diraih saat usia 20-an. Generasi muda didorong untuk mencapai keberhasilan secepat mungkin, seolah hidup hanya punya satu jalur: selalu produktif, sibuk, dan penuh pencapaian. Di balik kesuksesan itu, muncul pertanyaan yang semakin sering muncul dalam hati kita. Apakah kita sungguh menjalani hidup, atau sekadar berusaha bertahan supaya tidak ketinggalan?
Budaya Sibuk dan Obsesi Produktivitas
Saat ini, kita hidup di masyarakat yang memuja kesibukan. "Wah, kamu sibuk banget ya!" sering dianggap sebagai pujian, bukan peringatan. Banyak orang menganggap sibuk sama dengan produktif, dan produktif sama dengan sukses. Namun sebenarnya, keduanya sangat berbeda. Kesibukan bisa jadi hanya tanda kita kewalahan, bukan tanda kita berjalan efektif. Budaya hustle mendorong kita terus bekerja, bahkan ketika tubuh dan pikiran sudah butuh istirahat. Istirahat sering dianggap sebagai kemewahan, bukan kebutuhan.
Media sosial menampilkan gambaran sempurna dari kehidupan orang lain yang memiliki karier cemerlang, tubuh sehat, gaya hidup mewah, yang akan menambah tekanan untuk terus berprestasi. Dalam kondisi seperti ini, burnout bukan lagi hal aneh, melainkan harga yang harus dibayar untuk dianggap berhasil. Ironisnya, semakin banyak orang merasa kelelahan saat terlihat paling sibuk. Rutinitas yang padat kadang membuat kita kehilangan makna hidup. Hidup berubah menjadi daftar tugas yang harus diselesaikan, bukan perjalanan yang dinikmati dengan penuh kesadaran. Dalam kejar-kejaran waktu, kita kehilangan momen untuk benar-benar menikmati hidup.
Usaha Melambat di Tengah Kecepatan
Sebagai bentuk perlawanan terhadap tekanan kehidupan modern, muncul berbagai gerakan sederhana: mulai dari self-care, digital detox, hingga slow living. Gerakan-gerakan ini menawarkan narasi baru bahwa kita tidak harus terus berlari. Bahwa hidup dapat menjadi lebih berarti jika dijalani dengan lambat, penuh kesadaran, dan sesuai irama pribadi. Self-care sejati bukan soal membeli produk mahal atau pergi liburan mewah, melainkan keberanian untuk mengenali kebutuhan diri dan merawatnya.
Digital detox mengingatkan kita bahwa tidak semua pesan harus segera dibalas, dan tidak semua informasi harus dikonsumsi. Slow living memberi kesempatan untuk kembali merasakan hal-hal sederhana: memasak sendiri, menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga, atau membaca tanpa gangguan. Namun, di tengah masyarakat yang masih menilai kecepatan dan hasil instan sebagai hal utama, usaha melambat sering dianggap kurang produktif. Bahkan ketika kita mencoba untuk santai, rasa bersalah masih kerap muncul. Dibutuhkan keberanian besar untuk benar-benar menjalani hidup sesuai nilai kita, bukan sekadar mengikuti arus.
Menafsir Ulang Arti Seimbang
Banyak orang berpikir hidup seimbang adalah membagi waktu kerja dan hiburan secara seimbang. Tapi kenyataannya, keseimbangan bukan soal angka. Keseimbangan adalah soal makna. Hidup seimbang berarti memberi ruang bagi diri untuk berkembang sekaligus beristirahat. Hidup yang seimbang memungkinkan kita mengejar mimpi tanpa mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan. Makna keseimbangan berbeda bagi setiap individu. Untuk seorang ibu muda, mungkin berarti punya waktu berkualitas dengan anak.
Untuk seorang seniman, mungkin berarti punya waktu sendiri untuk berkreasi. Untuk pekerja kantoran, mungkin berarti bekerja tanpa mengabaikan kesehatan mental. Tidak ada formula baku yang berlaku untuk semua. Yang penting adalah kemampuan untuk mendengar suara hati sendiri. Bertanya dengan jujur: apakah aku merasa cukup? Apakah jalan hidup yang kutempuh membuatku bahagia atau sekadar membuatku sibuk? Keseimbangan adalah proses berkelanjutan menata hidup sesuai nilai-nilai pribadi.
Saat Hidup Kehilangan Makna Pribadi
Saya pernah mengalami masa di mana setiap jam dalam sehari telah dijadwalkan. Bangun tidur langsung cek email, lanjut rapat, dan tenggelam dalam pekerjaan hingga malam. Di media sosial saya tampak aktif dan sukses, tetapi dalam hati saya merasa lelah, kosong, dan kehilangan arah. Saya sadar bahwa saya menjalani hidup bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena takut tertinggal. Setiap tawaran pekerjaan saya terima, setiap undangan saya penuhi, walaupun tubuh saya sudah memberi tanda untuk berhenti.
Saya tidak benar-benar hidup; saya hanya bertahan, dan perlahan mulai kehilangan bagian dari diri saya. Titik balik terjadi ketika saya berani berkata "cukup." Saya mulai membatasi penggunaan gawai, menetapkan waktu tanpa layar, dan memberi ruang untuk istirahat yang sesungguhnya. Saya belajar bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak yang dicapai, tapi bagaimana bisa hadir sepenuhnya dalam hal yang saya pilih. Perlahan, saya mulai merasakan hidup kembali.
Di tengah dunia yang memuja kecepatan dan pencapaian, kita butuh waktu untuk melambat. Kita butuh keberanian untuk hidup dengan penuh kesadaran, ketenangan, dan kemanusiaan. Bukan karena kita ingin tertinggal, tapi karena kita ingin menjalani hidup dengan utuh. Tekanan tidak bisa selalu dihindari, tetapi kita dapat belajar mengelola respon kita. Kita bisa menciptakan ritme hidup yang memberi ruang untuk tumbuh dan bernapas. Pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa cepat sampai tujuan, tetapi bagaimana menjalani setiap langkah dengan kesadaran dan rasa syukur.
Referensi:
Alodokter. (2023). Hustle Culture, Kenali Ciri-Ciri, Dampak, dan Cara Menyikapinya. Retrieved from https://www.alodokter.com/hustle-culture-kenali-ciri-ciri-dampak-dan-cara-menyikapinya(Alodokter)
Brown Health. (2023). What is a Digital Detox and Do You Need One?. Retrieved from https://www.brownhealth.org/be-well/what-digital-detox-and-do-you-need-one(Brown Health)
Editoral Femaledaily. (2022). Gen Z dan Obsesi Hustle Culture, Produktif atau Toxic?. Retrieved from https://editorial.femaledaily.com/blog/2022/06/14/gen-z-dan-obsesi-hustle-culture-produktif-atau-toxic(Female Daily)
Hellosehat. (2023). Hustle Culture, Budaya Gila Kerja yang Membahayakan Pekerja. Retrieved from https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/hustle-culture/(Hello Sehat)
Karirlab UGM. (2024). Kenalan dengan Hustle Culture: Hal yang Harus Kamu Ketahui sebagai Fresh Graduate. Retrieved from https://feb-ugm.karirlab.co/article/success-in-work/kenalan-dengan-hustle-culture-hal-yang-harus-kamu-ketahui-sebagai-fresh-graduate(feb-ugm.karirlab.co)
Kompasiana. (2025). Budaya Hustle dan Dampaknya pada Kesehatan Mental. Retrieved from https://www.kompasiana.com/tiffanilovely6874/6783399d34777c49721b8bd4/budaya-hustle-dan-dampaknya-pada-kesehatan-mental(KOMPASIANA)
Lifeline Australia. (2023). How to Do a Digital Detox. Retrieved from https://toolkit.lifeline.org.au/articles/techniques/how-to-do-a-digital-detox(toolkit.lifeline.org.au)
Mekari. (2025). Hustle Culture: Ciri-Ciri, Dampak & Cara Mengatasinya. Retrieved from https://mekari.com/blog/hustle-culture/(Mekari)
Myndful Act. (2022). Pentingnya Hidup Seimbang (Di Era Yang Serba Nggak Seimbang). Retrieved from https://myndfulact.com/artikel/pentingnya-hidup-seimbang-di-era-yang-serba-nggak-seimbang/(myndfulact.com)
Privy. (2024). Hustle Culture: Definisi, Penyebab, dan Dampak Buruknya. Retrieved from https://privy.id/blog/hustle-culture-adalah/(Privy)
SISI. (2024). Ciptakan Keseimbangan Hidup di Era Digital. Retrieved from https://sisi.id/stories/insight/ciptakan-keseimbangan-hidup-di-era-digital/(SISI Semen Indonesia)
Slow Living LDN. (2022). Slow Tech and Digital Detox: How to Spend Less Time on Your Phone. Retrieved from https://slowlivingldn.com/journal/live-better/slow-tech-digital-detox/(Slow Living LDN.)
Tugu. (2023). Tips untuk Terhindar dari Hustle Culture dan Toxic Productivity. Retrieved from https://tugu.com/artikel/menghindari-terjebak-dalam-hustle-culture-dan-toxic-productivity-untuk-gaya-bekerja-yang-lebih-sehat-berikut-tips-nya(Tugu)
YouTube. (2025). How I Escape the Overstimulation Trap | Digital Detox | Slow Living. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=IOhvmVK8HQg(YouTube)

S1 Hubungan Internasional
0 Pengikut

Hidup atau Bertahan? Menimbang Ulang Makna Keseimbangan
Rabu, 21 Mei 2025 08:24 WIB
Hot Wheels Fever, Mengapa Mainan Ini Digilai Semua Usia?
Selasa, 20 Mei 2025 08:58 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler