Mahasiswi aktif Program Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2023. Saya memiliki hobi memasak dan mendengarkan musik.

Simbol Kritik terhadap Ketimpangan Sosial dalam Novel Midah Simanis Bergigi Emas

Kamis, 29 Mei 2025 07:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Perempuan
Iklan

Midah, Si manis Bergigi Emas memuat simbol-simbol yang merefleksikan kritik terhadap ketimpangan sosial, menyoroti konflik kelas, dan stereotip.

Sastra memiliki keterkaitan yang erat dengan manusia dan realitas kehidupannya. Manusia menjadi sumber kehidupan bagi sastra, sebagaimana kehidupan dalam sastra merupakan cerminan kehidupan manusia. Salah satu bentuk karya sastra yang sangat dipengaruhi oleh dinamika kehidupan manusia adalah novel. Novel menggambarkan suatu proses pencarian yang sarat dengan nilai-nilai yang secara keseluruhan membentuk dunia dalam novel, meskipun nilai-nilai tersebut lebih sering tersirat daripada tersurat (Goldman dalam Faruk, 2003: 79).

Oleh karena itu, karya sastra sebaiknya tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, melainkan juga sebagai alat pendidikan, kritik sosial, serta upaya memperbaiki kondisi masyarakat. Karya sastra juga harus mampu memberikan pengaruh dan meyakinkan pembaca melalui isi yang disampaikannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Damono (1979: 25) menyatakan bahwa kritik sosial dalam karya sastra masa kini tidak lagi terbatas pada isu hubungan antara si miskin dan si kaya, atau persoalan kemiskinan versus kemewahan. Kritik sosial dalam sastra kini mencakup berbagai persoalan sosial yang muncul di tengah masyarakat. Ketika ada ketidaksesuaian antara realitas sosial yang terjadi dengan harapan atau nilai-nilai yang ideal, hal ini mendorong pengarang untuk menyampaikan suara dan aspirasinya. Kritik sosial pun menjadi sarana bagi pengarang untuk mengekspresikan bentuk perlawanan terhadap kondisi nyata yang dianggap tidak adil atau menyimpang di masyarakat.

Novel Midah, Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer pertama kali diterbitkan pada tahun 1954. Karya ini merupakan bagian dari produksi awal Pramoedya yang banyak mengangkat isu sosial dan ketimpangan kelas dalam masyarakat Indonesia pascakemerdekaan.

Midah, Simanis Bergigi Emas tetap relevan hingga kini karena mengangkat tema-tema seperti ketimpangan sosial, stereotip gender, dan perjuangan perempuan dalam masyarakat patriarkal. Kisah Midah, seorang perempuan yang memilih menjadi penari keroncong meskipun mendapat stigma negatif dari keluarganya, menjadi simbol perlawanan terhadap norma sosial yang menindas.

Novel ini banyak mengandung kritik sosial, menjadikannya menarik untuk dibaca. Kisah dalam novel ini menggambarkan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Midah yang begitu menyentuh. Midah adalah gadis manis, putri dari Haji Abdul, seorang pedagang asal kampung Cibatok yang kini menetap di Jakarta. Kehadirannya sangat dinantikan oleh kedua orang tuanya, dan sebelum kelahiran adik-adiknya, ia mendapatkan banyak perhatian dan kasih sayang. Namun, setelah adik-adiknya lahir, perlakuan istimewa itu perlahan menghilang, membuat Midah merasa terabaikan.
 
Hal tersebut mendorongnya untuk mencari kebahagiaan di luar lingkungan keluarganya. Kecintaannya terhadap musik pun berkembang, dari yang awalnya terbentuk oleh pengaruh ayahnya yang gemar memperdengarkan lagu-lagu Umi Kalsum, hingga akhirnya ia lebih tertarik pada lagu-lagu keroncong yang dirasakannya lebih menyentuh hati.
 
Melalui narasi yang sederhana namun bermakna, Pramoedya menyampaikan masalah sosial yang dikritik dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas ini terdiri dari empat kritikan sosial. Keempat keritikan sosial tersebut, yaitu kekerasan, marginilisasi perempuan, subordinasi atas laki-laki, dan Stereotipe (pelabelan negatif). Midah, Simanis Bergigi Emas tidak hanya menjadi kisah seorang perempuan, tetapi juga suara perlawanan terhadap struktur masyarakat yang timpang dan menindas.
 
Bentuk kekerasan fisik dalam novel Midah Si Manis Bergigi Emas dapat dilihat lewat adegan tokoh Haji Abdul saat menampar Midah yang sedang mendengarkan lagu Moresko di rumahnya.

“Haram! Haram! Siapa memutar lagu itu di rumah? waktudilihatnya Midah masih asyik mengiringi lagu itu, ia tampar gadis itu pada pipinya.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 18).

Kutipan di atas menunjukkan adanya bentuk kekerasan verbal dan fisik yang dialami Midah dalam lingkungan keluarganya, khususnya dari figur ayah yang otoriter dan keras. Tindakan menampar Midah bukan hanya bentuk kekerasan fisik semata, tetapi juga simbol dominasi patriarkal yang menekan kebebasan perempuan. Midah dihukum karena memilih menikmati musik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ayahnya, mencerminkan penindasan terhadap identitas dan kebebasan pribadi. Kekerasan ini juga menandakan ketimpangan relasi kekuasaan dalam rumah tangga, di mana suara dan kehendak anak perempuan dianggap tidak layak dihargai.
 
Marginalisasi Perempuan, ketidakadilan gender terkait dengan marginalisasi perempuan dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas sebagai berikut. Marginalisasi dalam bentuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dialami oleh tokoh Riah. Tokoh Riah dipecat karena dituduh melindungi Midah oleh Haji Abdul. Tergambar pada kutipan tersebut:

“Tidak ada orang yang bisa menjawab tuduhan bang Haji, dan karena amarahnya tidak dapat ditahannya lagi, semua orang yang bekerja di dapur diusirnya hari itu juga.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 19)

Kutipan di atas juga mencerminkan bentuk nyata dari marginalisasi perempuan dalam ranah domestik. Tokoh Bang Haji sebagai representasi figur laki-laki berkuasa menunjukkan bagaimana emosi dan otoritasnya dapat mengendalikan nasib perempuan tanpa pertimbangan yang adil. Para pekerja dapur yang secara implisit kemungkinan besar adalah perempuan tidak memiliki ruang untuk membela diri atau menyuarakan pendapatnya. Mereka langsung menjadi korban kemarahan sepihak tanpa proses dialog atau klarifikasi.

Kemudian bentuk subordinasi atas laki-laki, dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas yaitu subordinasi dalam dunia kerja Nini sebagai perempuan tunggal dalam rombongan keroncong tersebut tidak mempunyai hak untuk menyuarakan pendapatnya. Perempuan dalam dunia kerja tidak mempunyai hak untuk memimpin, ia hanya memiliki posisi sebagai seseorang yang harus rela dipimpin oleh laki-laki. Terlihat pada kutipan tersebut.

“Bangsat! Kau kira apa aku ini? Teriak wanita itu. Cuma satu orang perempuan yang boleh ikut rombongan. Tidak boleh lebih. Nini! Di sini aku kepalanya. Bukan engkau.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 33)

Kutipan di atas memperlihatkan pembalikan peran gender dalam konteks sosial yang patriarkis. Dalam masyarakat yang umumnya menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai pengikut, pernyataan tegas dan kasar tersebut menjadi simbol resistensi terhadap norma gender tradisional. Ia tidak hanya menolak dikontrol, tetapi juga mengambil alih kekuasaan dengan menyatakan dirinya sebagai "kepala" dalam kelompok.

Bentuk pelabelan negatif atau stereotipe terkait novel tersebut dialami oleh tokoh Midah. Pekerjaan penyanyi yang dilakukannya dipandang oleh orang tua Midah sekaligus masyarakat sekitar menjadi pekerjaan yang tidak bermoral bahkan dianggap asusila. Terlihat pada kutipan tersebut.

“Apakah layak kau balas aku dengan ikut mempercepat kehancuranku? Jadi penyanyi pengamen keroncong! Jadi doger. Anakku! Anakku. Walau bagaimana juga, akhirnya dia anakku sendiri. Walau doger walau lebih buruk dari itu, dia harus kubawa pulang dan kuperbaiki.” (Midah Simanis Bergigi Emas, hlm. 68)

Kutipan di atas menggambarkan pandangan stereotip negatif terhadap profesi seni pertunjukan, terutama ketika dijalani oleh perempuan seperti penyanyi jalanan atau penari tradisional semacam doger. Pandangan ini mencerminkan perspektif kalangan menengah ke atas yang cenderung memandang seni tradisional, khususnya yang melibatkan perempuan sebagai sesuatu yang tidak pantas, liar, bahkan memalukan. Padahal, profesi semacam ini sering kali menjadi sarana ekspresi diri sekaligus bentuk perlawanan bagi perempuan dari golongan bawah yang tersisih secara sosial dan ekonomi, sebagaimana yang dialami oleh tokoh Midah.

Penyampaian kritik dalam novel ini disajikan melalui dua cara, yakni secara eksplisit dan implisit. Kritik yang bersifat langsung disampaikan dengan bahasa yang tegas dan jelas dalam menggambarkan permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Sementara itu, kritik tidak langsung disampaikan melalui gaya bahasa sindiran, sinisme, simbolisme, maupun humor. Dalam Midah, Simanis Bergigi Emas, cara penyampaian kritik sosial tidak disampaikan dengan pola yang seragam, namun lebih banyak menggunakan pendekatan langsung dibandingkan dengan bentuk sindiran atau kiasan.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler