Gerakan Protes Rakyat Indonesia, Berkaca pada Gelombang Arab Spring
3 jam lalu
Indonesia diguncang protes oleh rakyatnya, dari pusat hingga menjalar ke beberapa daerah. hal ini mematik kerusakan fasilitas umum.
***
Pada Agustus 2025, Indonesia diguncang gelombang protes massa aksi cukup besar skala nasional hingga memantik di berbagai daerah. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian merilis data rekapitulasi aksi demo meletus di 107 titik di 32 Provinsi. Provinsi yang disebutkan Tito, seperti DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat—berakhir ricuh dengan kerusuhan mengakibatkan kerusakan fasilitas publik, kantor pemerintah hingga menelan korban jiwa.
Sejumlah letupan massa aksi, dipicu oleh isu ekonomi, politik, dan ketidakpuasan publik atas kinerja penyelenggara negara. Gelombang protes massal kerap menjadi indikator nyata sejauhmana hubungan antara negara dan rakyatnya. Seyogyanya rakyat mempunyai kedaulatan mutlak berbanding terbalik—justru dibungkam, dimanipulasi, atau diabaikan. Forum demokrasi menjadi satu-satunya menyampaikan aspirasinya melalui gerakan massa aksi di jalanan.
Hal ini mengingatkan pada kita semua, apakah demokrasi Indonesia bergerak menuju penguatan atau mengulangi pola kegagalan yang pernah dialami oleh negara-negara dilanda Arab Spring. Tahun 2011 merupakan bukti dentuman politik Arab Spring dari Tunisia, Libya, Mesir, hingga Suriah—lahir dari frustasi rakyat atas tirani, korupsi, dan ketimpangan. Meskipun hasilnya beragam, ada negara yang menikmati transisi demokrasi meski rapuh bahkan terjerembap dalam jurang kehancuran, menjadi failed state (kegagalan suatu negara).
Berkaca Fenomena Arab Spring
Arab Spring dimulai di Tunisia, Desember 2010, pemuda bernama Mohamed Bouazizi membakar dirinya karena dipermalukan aparat setempat. Aksi desperatif menyulut protes massif yang menggulingkan rezim Zine El Abidine Ben Ali. Aksi tersebut menjalar ke negara tetangga—Libya hingga Mesir, Yaman, Bahrain, hingga Suriah. Rakyat menuntut adanya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan.
Namun terjadi setelahnya, menunjukkan betapa rapuhnya negara-negara Arab. Meskipun Tunisia berhasil melaksanakan transisi demokrasi, meski kini menghadapi otoritarianisme baru. Mesir mengalami kudeta militer dan kembali dikuasai rezim represif. Libya jatuh dalam perang saudara berkepanjangan setelah Muammar Qadhafi tumbang. Suriah menjadi medan perang brutal, menghancurkan sendi-sendi negara, melahirkan jutaan pengungsi.
Kegagalan itu menunjukkan bahwa protes massa bisa mengguncang rezim berkuasa. Namun tanpa institusi yang kuat, konsesus politik yang inklusif, serta mekanisme distribusi ekonomi yang adil, perubahan yang lahir dari aksi jalanan rawan berakhir menjadi chaos. Hal ini menunjukkan istilah failed state menemukan relevansinya, ketika negara kehilangan kendali atas keamanan, legitimasi politik hingga kapasitas untuk mengurus rakyatnya.
Gelombang Protes dan Ujian Demokrasi di Indonesia
Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mempunyai catatan panjang dalam protes massa. Diantaranya demonstrasi mahasiswa 1966, perlawanan reformasi 1998, hingga gelombang aksi pasca reformasi pada Agustus 2025—karena protes ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.
Massa turun ke jalan bukan tanpa alasan. Kenaikan harga kebutuhan pokok, isu ketidakadilan distribusi ekonomi, praktik oligarki dalam pemerintahan, serta kekecewaan terhadap arah demokrasi dianggap makin menjauh dari kepentingan rakyat, menjadi pemicu kegelisahan rakyat. Momentum bulan kemerdekaan, patut dirayakan sekaligus pertanyaan mendasar, apakah kemerdekaan Indonesia berusia 80 tahun menghadirkan kedaulatan bagi rakyat ?
Meskipun berbeda dengan Arab Spring dengan negara dipimpin oleh rezim otoritarian, protes Agustus 2025 di Indonesia masih dalam koridor demokrasi. Aparat negara melakukan tindakan represif dibeberapa titik, belum sepenuhnya menggunakan kekerasan ekstrem seperti di Mesir atau Suriah. Partai politik dan organisasi masyarakat sipil juga memainkan peran sebagai penyalur aspirasi, meskipun dianggap oportunis.
Kendati fenomena tersebut menciptakan kekhawatiran, apakah demokrasi Indonesia terjebak dalam stagnasi sehingga rakyat lebih percaya pada massa aksi ketimbang pemerintah atau parlemen ? jika ini dibiarkan, Indonesia berpotensi jatuh dalam pola democratic backsliding, kondisi ketika prosedur demokrasi masih ada tetapi substansinya terkikis.
Pelajaran dari Arab Spring untuk Indonesia
Meskipun bukan hal yang mudah untuk memotret fenomena Arab Spring dalam konteks fenomena gerakan protes Agustus 2025 di Indonesia, namun pelajaran yang dapat diambil. Pertama, institusi kuat adalah penyangga demokrasi. Negara-negara Arab gagal mempertahankan stabilitas karena lemahnya institusi demokrasi. Indonesia mempunyai model lebih baik—melalui sistem pemilu reguler, kebebasan pers relatif terjaga, serta peran masyarakat sipil yang dinamis. Jika lembaga-lembaga negara dikuasai oleh oligarki dan kehilangan legitimasi, maka situasi bisa cepat memburuk.
Kedua, ketimpangan sosial-ekonomi menjadi pemicu utama. Arab Spring tidak lahir dari ruang hampa, melainkan frustasi rakyat atas pengangguran, kemiskinan, dan harga pangan. Indonesia tahun 2025 menghadapi hal yang serupa—jurang kaya dan miskin semakin melebar, ketergantungan pada komoditas global, dan lemahnya perlindungan sosial. Tanpa solusi nyata, protes massa akan menjadi siklus.
Ketiga, reformasi politik tidak cukup tanpa reformasi ekonomi. Tunisia dan Mesir sempat membuka ruang politik, melainkan gagal memperbaiki ekonomi. Hasilnya, rakyat kembali kecewa. Indonesia dapat belajar—demokrasi prosedural tidak berarti jika tidak diikuti dengan kebijakan ekonomi yang menyejahterakan rakyat.
Keempat, bahaya polarisasi dan fragmentasi. Suriah dan Libya menjadi contoh ekstrem bagaimana polarisasi bisa menghancurkan negara. Di Indonesia, polarisasi politik sejak Pemilu 2014 hingga 2024 masih terasa. Jika tidak dikelola dengan bijak, protes bisa berubah menjadi konflik horizontal yang merusak kohesi nasional.
Menjaga Indonesia dari Ancaman Disintegrasi Bangsa
Indeks Fragile States Index (FSI) menyebutkan beberapa tahun terakhir menempatkan Indonesia masuk kategori “stabil, namun rentan.” Artinya Indonesia tidak berada dalam ancaman langsung menjadi failed state, melainkan gejala ke arah sana selalu mungkin terjadi jika tanda-tanda ini diabaikan.
Gejala yang dapat dikenali, seperti melemahnya kepercayaan publik pada institusi politik, tingginya korupsi, dominasi oligarki ekonomi-politik, serta munculnya ketidakpuasan sosial yang diekspresikan melalui massa aksi jalanan. Fenomena Agustus 2025 menjadi alarm keras bahwa demokrasi Indonesia sedang diuji bukan hanya menyoal prosedural, melainkan esensinya adalah apakah negara hadir untuk rakyat atau hanya melayani segelintir elit ? Tentu menjadi refleksi bersama secara kolektif, agar Indonesia tidak jatuh ke dalam jurang yang sama, seperti peristiwa Arab Spring. Beberapa langkah yang dapat ditempuh, diantaranya:
Pertama, mengembalikan demokrasi ke rakyat—menempatkan demokrasi tidak boleh dimaknai secara sempit hanya menjadi pesta lima tahunan, melainkan mekanisme partisipasi rakyat diperluas, dari musyawarah desa hingga kebijakan nasional. Jika suara rakyat diabaikan, maka jalanan menjadi alternatif bagi massa aksi.
Kedua, membangun keadilan ekonomi—melalui distribusi sumber daya harus lebih adil. Program perlindungan sosial diperkuat, lapangan kerja diperluas, dan oligarki ekonomi-politik dibatasi. Tanpa keadilan ekonomi, stabilitas politik hanya sementara.
Ketiga, merawat solidaritas sosial—mengingat Indonesia berbeda dengan Suriah dan Libya, kondisi internal negaranya terpecah karena sekte dan etnis. Namun polarisasi politik bisa saja menajam jika dibiarkan. Oleh karena itu pentingnya pendidikan kebangsaan, dialog lintas elemen kelompok, serta kepemimpinan mengayomi semua pihak adalah kunci menjaga persatuan.
Keempat, memperkuat peran masyarakat sipil dan media—menempatkan kebebasan pers dan peran ormas harus dijaga, bukan direpresi. Kritik publik adalah vitamin demokrasi, bukan ancaman. Negara yang alergi kritik akan mudah jatuh ke dalam jurang otoritarianisme, lalu rentan kolaps saat krisis datang.
Pentutup: Demokrasi Indonesia dalam Persimpangan
Agustus 2025 menjadi momen peringatan bahwa demokrasi Indonesia berada dalam persimpangan jalan. Belajar dari fenomena Arab Spring, bahwa protes massa bukanlah ruang hampa dengan letupan spontan, melainkan tanda sakit yang lebih mendalam. Negara yang gagal membaca tanda, akhirnya terjerumus dalam krisis dan menjadi failed state.
Indonesia mempunyai harapan, modal sosial-budaya, keberagaman organisasi sipil, serta warisan demokrasi reformasi merupakan kekuatan besar. Namun tanpa keberanian politik untuk menata ulang relasi negara dan rakyat, harapan bisa memudar. Jalan sejarah memberi pilihan, apakah fenomena protes massa pada Agustus 2025 sebagai titik balik menuju demokrasi yang lebih substantif atau mengulang tragedi Arab Spring dengan wajah yang berbeda ? mari introspeksi lebih jauh, mengoreksi arah bangsa demi wujudkan Indonesia emas 2045.

Direktur Eksekutif Indonesian Coexistence
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler