Ya Tuhan, Kami Bertobat
2 jam lalu
Bertobatlah pada kesempatan awal, jangan ditunda. Dan ambillah pekerjaan yang sudah dipersiapkan dengan pembelajaran, bukan mengejar gengsi.
Oleh Mpu Jaya Prema
Di tengah gonjang-ganjing soal tuntutan rakyat yang disikapi dengan canggung oleh pemerintah, saya hadirkan cerita ringan soal bagaimana kita harus bertobat. Juga tentang bagaimana kita memilih pekerjaan untuk ikut terlibat dalam membangun bangsa ini. Benarkah pekerjaan itu untuk mengabdi pada rakyat atau hanya memenuhi nafsu buruk yang terselubung untuk kepentingan pribadi. Mari kita simak sambil menyeruput kopi.
Tersebutlah seorang perampok jalanan yang sudah punya istri dan anak. Artinya perampok itu punya keluarga. Begitu kejam sang perampok, siapa pun yang ditemuinya di jalanan pasti dirampoknya, tak pandang usia. Dengan hasil rampokan itu dia menghidupi keluarganya.
Suatu hari lewat di jalan yang sepi seorang suci yang kentara dari busananya. Dia adalah Maharsi Narada. Perampok itu langsung menghampiri orang suci itu dan akan membegalnya. Namun Maharsi Narada sempat bertanya, kenapa dirinya dirampok? “Untuk menghidupi keluargaku,” jawab perampok itu dengan jujur.
Narada kemudian berkata: “Ketika kamu merampok seseorang kamu memiliki banyak dosa. Apakah keluargamu juga mau memikul dosamu itu?” Perampok itu menjawab singkat: “Aku yakin mereka mau, sudah terbiasa sejak dulu.”
“Baiklah, kalau begitu ikat aku di sini. Tapi kamu pulang dulu dan tanyai setiap orang di rumahmu apakah mereka siap membagi dosamu dengan uang yang kamu bawa pulang?” kata Maharsi.
Perampok itu setuju. Dia mengikat Maharsi pada sebatang pohon dan kemudian lari ke rumahnya. Perampok itu menanyai semua anggota keluarganya dengan pertanyaan, “Maukah kamu membagi dosaku?” Seluruh anggota keluarga termasuk istrinya, memberikan jawaban: “tidak.”
Perampok itu terdiam lalu menangis. Selama ini dia tak pernah bertanya seperti itu kepada keluarganya. Mungkin juga keluarganya tak ada yang tahu kalau dia mencari nafkah dari merampok. Dengan berurai air mata, perampok itu mendatangi Maharsi Narada. Ia lepaskan ikatan yang melilit Maharsi. Ia memohon ampun dan memohon bimbingan.
Maharsi tersentuh. Narada lalu memberi petuah bagaimana hidup yang baik. Pertama yang dilakukan adalah bertobat. Lalu, perampok dibekali ilmu kehidupan, bagaimana hidup di masyarakat yang harus saling membantu. Juga diajari cara melakukan samadhi yang intinya adalah selalu instrospeksi dalam kehidupan ini.
Perampok itu melakukannya dengan tekun. Dalam bertobat lewat samadhi ia menebus dosa-dosanya. Begitu konsentrasinya bahkan ribuan semut yang mengerubunginya tak dihiraukan. Kelak perampok itu diberi nama Rsi Valmiki, entah siapa nama sebelumnya. Kata Valmiki dieja dengan bahasa Indonesia menjadi Walmiki, punya arti “dia yang lahir dalam bukit semut”. Sekarang kita tahu, Rsi Valmiki adalah penggubah kisah Ramayana yang termasyur itu. Di Bali sering disebut Bhagawan Walmiki (Rsi, Bhagawan, Mpu, Pedanda adalah gelar-gelar pendeta dalam tradisi Hindu)
Yuk seruput kopi dulu. Apa pesan dari cerita ini? Pertama adalah sangatlah buruk memberi nafkah kehidupan kepada keluarga dari hasil yang bertentangan dengan ajaran kebajikan yang tersurat dalam berbagai agama. Itu sama saja dengan menularkan dosa kepada keluarga dan orang lain yang sesungguhnya tidak ikut berdosa. Begitu pula kepada seluruh anggota keluarga hendaknya tahu dari mana penghasilan atau harta yang didapat kepala keluarga. Kalau ternyata hasilnya dari cara-cara yang berlumuran dosa hendaknya hal itu ditolak. Sanksi sosial untuk anak yang ayahnya koruptor sudah terbukti sangat memukul perkembangan anak itu.
Sekarang ini banyak sekali para istri yang tidak peduli bagaimana suami mencari nafkah. Apakah betul-betul mengandalkan dari pekerjaan yang sah, apakah tidak mencuri seperti melakukan korupsi. Bahkan para istri justru senang melihat penghasilan suaminya menanjak terus tanpa peduli sumbernya. Ketika pada saat sang suami ketahuan jahatnya dan dikenakan rompi oranye sebagai terhukum, sang istri berujar memelas “ini cobaan dari Tuhan”. Tuhan tak pernah coba-coba, ini hukuman. Penyesalan akan diratapi berkepanjangan.
Pelajaran kedua kisah ini, mengakui kesalahan dan bertobat kepada Tuhan hendaknya dilakukan pada saat-saat awal begitu menyadari akan kesalahan itu. Jangan ditunda-tunda. Semakin awal melakukan pertobatan, semakin punya kesempatan yang panjang untuk memperbaiki diri. Hidup ini sangatlah singkat dan kematian itu pun misteri, tidak tahu kapan datangnya. Kalau kematian itu datang sementara pertobatan atau usaha memperbaiki diri belum dilakukan maka dosa akan dibawa ke alam akhirat.
Lalu bagaimana kita memilih jalan hidup untuk mengabdi pada umat, bangsa, dan negara? Ambillah pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kecintaan kita. Bukan untuk gengsi-gengsian. Dan semuanya itu perlu proses pembelajaran dan pembekalan, tak bisa ujug-ujug. Rsi Valmiki, entah siapa nama sebelumnya, perlu proses panjang sebelum menjadi pendeta Hindu dan penggubah efos Ramayana. Kisah Ramayana bertema “kemenangan sebuah perlawanan” adalah sisi-sisi kehidupan Valmiki di masa ia hidup sebagai begundal.
Saat ini kita tak tahu bagaimana anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempersiapkan dirinya sebelum menduduki jabatan “yang terhormat” itu. Adakah sebuah proses pembelajaran dan pembekalan? Suara yang beredar adalah mereka tak punya bekal apa-apa selain kepopulerannya. Itu pun akar masalahnya dari sistem kepartaian yang amburadul dalam memilih orang. Yang penting suara masuk, kwalitas orangnya nomor sekian. Jadi banyak artis dan pedagang yang menjadi anggota DPR. Kok kita pasrahkan kepada mereka untuk menyusun sebuah undang-undang?
Semua pekerjaan itu adalah mulia sepanjang yang dilakukan dalam rel kebajikan. Menjadi pedagang itu bagus sekali, untung berlipat sepanjang tidak melakukan kejahatan, itu luar biasa. Lebih mulia lagi jika sebagian disedekahkan kepada kaum fakir, bukan untuk foya-foya dan dipamerkan. Menjadi penyanyi itu pekerjaan istimewa, menghibur orang di kala duka dan membuat orang terasah jiwanya dengan kemerduan sinden. Menjadi pelawak pun keren, membuat orang tertawa itu sulit.
Ahmad Sahroni harusnya tetap menjadi pedagang, Uya Kuya tetaplah menjadi artis, Eko Patrio menjadi pelawak. Dan janganlah karena harta yang berlebih itu lalu tergoda nafsu buruk untuk menjadi anggota DPR yang barangkali dianggap “lebih gengsi dan bermartabat”. Tanpa proses pembelajaran yang baik, kini alam semesta memberikan hukuman. Anggota DPR itu bukan pekerjaan enteng, dia butuh keahlian dan ketrampilan yang khusus dan kepekaan pada rakyat yang diwakili, melebihi kecintaan pada kucing-kucing peliharaan yang sempat dijarah.
Yuk seruput kopinya sampai habis. Dan ucapkan: “Ya Tuhan, kami tobat, kami siap berbenah...”
***

Penulis Indonesiana
6 Pengikut

Ya Tuhan, Kami Bertobat
2 jam lalu
Tunda Dulu Bepergian Ke Bali
Sabtu, 12 Juli 2025 15:13 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler