Penulis bebas untuk mengasah kemampuan dalam mendalami kalimat-kalimat dunia maya
Raja Ampat dalam Cengkeraman Ekspansi Tambang Ekstraktif Berbahaya
Selasa, 10 Juni 2025 09:35 WIB
Lebih dari 170 hektare hutan telah hilang akibat aktivitas pembukaan lahan tambang.
Alarm untuk Hukum dan Ekologi Indonesia
Raja Ampat, gugusan pulau di ujung barat Papua Barat Daya, dikenal sebagai Amazon of the Ocean. Kawasan ini bukan hanya rumah bagi lebih dari 75% spesies karang dunia dan 1.600 spesies ikan, tetapi juga menjadi simbol warisan ekologis Indonesia di mata dunia. Ironisnya, kawasan dengan nilai konservasi tertinggi itu justru menjadi sasaran baru ekspansi pertambangan, terutama nikel—komoditas strategis dalam transisi energi global.
Sejak 2020, tekanan terhadap lingkungan di Raja Ampat meningkat drastis. Laporan Auriga Nusantara pada 2024 mengungkapkan bahwa luas wilayah yang telah diberi izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 22.420 hektare. Aktivitas pertambangan ini merambah pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag, Waigeo, dan Kawe, yang menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014, seharusnya memperoleh perlindungan khusus dari kegiatan ekstraktif.
Dampak lingkungan dari aktivitas ini tak bisa diabaikan. Citra satelit dari SIMONTINI (Sistem Monitoring Hutan Indonesia) menunjukkan bahwa lebih dari 170 hektare hutan telah hilang akibat aktivitas pembukaan lahan tambang. Deforestasi ini menyebabkan sedimentasi berat di wilayah pesisir, memutihkan karang dan merusak ekosistem laut. Penelitian dari LIPI juga memperingatkan bahwa gangguan ini bisa mengakibatkan kepunahan lokal spesies penting seperti pari manta dan penyu belimbing, yang menjadi ikon pariwisata bahari Raja Ampat.
Namun permasalahan tidak berhenti di ranah lingkungan semata. Ada krisis hukum yang menyertai ekspansi ini. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 secara tegas melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil, namun hingga hari ini, izin tambang terus saja diterbitkan. Bahkan beberapa perusahaan, seperti PT Gag Nikel (anak usaha PT Aneka Tambang), tetap beroperasi di wilayah konservasi yang masuk dalam cakupan UNESCO Global Geopark, yang seharusnya memiliki proteksi ketat. Ini menunjukkan adanya inkonsistensi serius antara kebijakan pusat dan pelaksanaannya di lapangan.
Di sisi lain, konflik kepentingan antara ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang semakin terasa. Pemerintah daerah dan perusahaan menjustifikasi aktivitas pertambangan dengan alasan membuka lapangan kerja dan mendongkrak ekonomi lokal. Namun faktanya, kontribusi sektor pertambangan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal tidak signifikan. Studi LIPI dan data BPS Papua Barat Daya menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Raja Ampat masih berada di atas 25%, dan mayoritas warga tetap bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata.
Pariwisata berbasis alam yang menjadi tumpuan ekonomi alternatif justru terancam. Pada 2023, Raja Ampat mencatat lebih dari 19.000 wisatawan domestik dan mancanegara yang menyumbang pendapatan langsung hingga Rp60 miliar. Jika kualitas lingkungan terus menurun, sektor ini akan runtuh, menghancurkan sumber penghidupan masyarakat lokal yang lebih berkelanjutan dibanding pertambangan.
Dari perspektif hukum tata ruang dan lingkungan, kondisi ini menunjukkan adanya kegagalan serius dalam implementasi prinsip kehati-hatian (precautionary principle), asas keberlanjutan, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh Pasal 28H UUD 1945. Negara lalai melindungi hak konstitusional warganya demi kepentingan korporasi global yang menumpang pada tren energi hijau, tetapi meninggalkan jejak kehancuran lokal.
Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah korektif yang terukur. Pertama, audit dan review seluruh izin tambang di wilayah Raja Ampat, dan mencabut izin yang bertentangan dengan aturan hukum dan prinsip konservasi. Kedua, menegakkan sanksi administratif dan pidana terhadap pelanggaran lingkungan, serta menuntut ganti rugi dan pemulihan dari perusahaan pelaku. Ketiga, memperkuat partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pengambilan keputusan, serta membangun sistem pengawasan berbasis komunitas dan teknologi. Terakhir, pemerintah harus menata ulang prioritas pembangunan daerah, beralih dari ekstraktivisme menuju ekonomi berbasis ekowisata, riset kelautan, dan konservasi.
Raja Ampat adalah laboratorium keindahan alam dan warisan bumi yang tak tergantikan. Jika negara gagal melindunginya, bukan hanya kekayaan hayati yang musnah, tetapi juga legitimasi moral dan hukum dari pemerintah itu sendiri. Kita tidak boleh membiarkan energi hijau dunia dibangun di atas puing-puing keadilan lingkungan di Papua.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Iran Memimpin dari Krisis: Poros Moskow–Teheran dalam Bayangan Perang Asimetris
Kamis, 26 Juni 2025 07:10 WIB
Penutupan Selat Hormuz, Cara Iran Mendefinsikan Ulang Perang di Abad 21
Rabu, 25 Juni 2025 10:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler