Penulis bebas untuk mengasah kemampuan dalam mendalami kalimat-kalimat dunia maya
Penutupan Selat Hormuz, Cara Iran Mendefinsikan Ulang Perang di Abad 21
Rabu, 25 Juni 2025 10:16 WIB
Selat Hormuz akan menjadi kunci babak perang baru di wilayah teluk dan berdampak kepada Uni-Eropa hingga Asia-Pasifik saat ini
***
Penutupan Selat Hormuz oleh Iran menandai satu dari sedikit momen dalam sejarah modern. Yakni, ketika sebuah negara dengan kapasitas ekonomi terbatas dan tekanan multidimensi justru berhasil memaksa sistem internasional untuk menatap langsung pada batas kerentanan paling mendasar: energi, logistik, dan stabilitas geostrategis global.
Ini bukan sekadar keputusan politik domestik atau manuver emosional negara yang terdesak. Ini adalah artikulasi strategis yang sangat dalam dari doktrin militer Iran sejak dekade pasca-revolusi: menjadikan kelemahan sebagai keunggulan melalui disrupsi titik vital musuh. Dan dalam konteks global, tidak ada titik vital yang lebih signifikan daripada Selat Hormuz.
Peta Selat Hormuz
Secara geostrategis, Selat Hormuz bukan hanya jalur sempit selebar 33 hingga 40 kilometer, melainkan choke point paling signifikan dalam perdagangan energi dunia. Lebih dari 90% ekspor energi dari Teluk—mencakup sekitar 21 juta barel minyak per hari dan mayoritas gas alam cair Qatar—melewati jalur ini.
Penutupan atau gangguan selama satu minggu saja sudah cukup menciptakan guncangan struktural terhadap harga energi global, menaikkan premi risiko geopolitik, dan menimbulkan efek domino pada inflasi, neraca pembayaran, serta daya beli masyarakat di negara-negara importir energi besar seperti India, Jepang, Korea Selatan, dan sebagian besar Eropa.
Dalam istilah militer, Selat Hormuz bukan sekadar target, melainkan strategic lever, tuas tekanan global yang bisa dikontrol dengan biaya militer rendah tetapi efek geopolitik maksimum.
Banyak pengamat Barat keliru dalam memandang keputusan ini sebagai aksi bunuh diri strategis. Memang benar bahwa Iran juga mengekspor minyak lewat Hormuz, dan bahwa sanksi global semakin memberatkan posisinya. Tetapi pendekatan ini mengabaikan satu prinsip dalam teori konflik asimetris: ketika kekuatan kinetik tidak cukup, maka strategic chaos menjadi opsi logis.
Iran memahami bahwa dalam peta kekuatan konvensional, ia kalah dari Israel dan AS dalam hampir semua lini—dari kemampuan udara, sistem deteksi dini, superioritas maritim, hingga jaringan satelit militer. Namun Iran tidak bermain di atas papan catur yang sama. Ia menciptakan papan sendiri, tempat tidak ada keunggulan absolut selain daya tahan dan kemampuan menciptakan ketidakpastian sistemik.
Kita tengah menyaksikan apa yang disebut oleh beberapa ahli sebagai doctrine of horizontal escalation. Iran tahu bahwa menyerang Israel secara langsung dalam skala penuh akan membuka pintu ke perang terbuka yang bisa menghancurkannya. Maka ia memilih medan lain—ekonomi global.
Menutup Hormuz adalah upaya mengeksternalisasi biaya perang, memaksa negara-negara di luar konflik, seperti India, China, bahkan Eropa, untuk membayar harga atas kelanjutan eskalasi militer Barat. Inilah cara Iran memaksa kekuatan-kekuatan besar dunia duduk di meja konflik, bukan sebagai penonton, tapi sebagai pihak yang ikut terkena tekanan dan dengan demikian punya kepentingan untuk meredakan ketegangan.
Secara militer, penutupan Hormuz bukan mustahil. Iran telah berinvestasi besar dalam kapabilitas perang asimetris maritim: kapal cepat bersenjata, drone laut, ranjau dasar laut, rudal anti-kapal darat-ke-laut, hingga unit pasukan khusus IRGC yang memiliki pengalaman operasi di lingkungan air terbatas.
Tidak perlu ada bentrokan besar untuk membuat pelayaran terhenti; cukup ancaman serangan atau insiden sporadis terhadap tanker minyak. Dan dengan teknologi peperangan elektronik serta cyberwarfare yang terus berkembang, Iran bahkan bisa mengacaukan sistem navigasi atau mengklaim serangan tanpa identitas sebagai bagian dari perang hibrida.
Amerika Serikat, dalam situasi ini, berada dalam dilema strategis. Opsi militer terbuka: mengamankan Hormuz melalui pengerahan Fifth Fleet dan kemungkinan melakukan surgical strikes ke basis IRGC. Tetapi respons semacam itu akan membuka front konflik baru yang berisiko melibatkan seluruh kawasan, bahkan memicu proxy Iran dari Lebanon hingga Yaman untuk mengaktifkan sel-sel mereka. Alternatif lainnya adalah mendorong negosiasi melalui negara-negara regional seperti Qatar atau Oman. Tapi pendekatan ini berisiko terlihat sebagai penurunan posisi dominan AS—dan dalam politik luar negeri, persepsi adalah realitas.
China dan Rusia, sementara itu, mendapat kesempatan strategis emas. Mereka dapat memposisikan diri sebagai aktor penyeimbang. China, dengan ketergantungan energi dari Teluk, akan terdorong melakukan diplomasi intensif. Namun secara geopolitik, Beijing justru diuntungkan dari disrupsi ini karena akan mempercepat proses dedolarisasi dan diversifikasi jalur energi darat melalui Belt and Road Initiative. Rusia juga diuntungkan dengan naiknya harga minyak dan gangguan pasokan pesaing dari Teluk, serta dapat menjadikan Iran sebagai pion geopolitik untuk menekan Barat di meja Ukraina.
Secara global, langkah Iran ini menandai munculnya fase baru dalam konflik internasional: geo-economic warfare. Dunia tidak hanya akan menyaksikan perang senjata, tetapi juga perang distribusi, logistik, jalur pasok, dan stabilitas harga. Dan dalam dunia yang rapuh pasca pandemi dan krisis inflasi global, jenis perang ini lebih sulit diatasi daripada perang militer biasa.
Kesimpulannya, penutupan Selat Hormuz bukanlah aksi putus asa, melainkan bagian dari strategi grand Iran yang memahami batas kekuatannya tetapi juga mengetahui titik lemah musuhnya. Ini adalah momen ketika dunia dipaksa mengakui bahwa dalam peta kekuatan global hari ini, tidak ada monopoli atas kontrol; bahkan negara yang dianggap tertekan sekalipun bisa membalikkan permainan jika memahami arsitektur kerentanan lawannya.
Iran tidak sedang kalah. Ia sedang meredefinisi cara berperang di abad ke-21, dan dunia sedang memutar ulang seluruh nalar strategisnya untuk mengikutinya.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Iran Memimpin dari Krisis: Poros Moskow–Teheran dalam Bayangan Perang Asimetris
Kamis, 26 Juni 2025 07:10 WIB
Penutupan Selat Hormuz, Cara Iran Mendefinsikan Ulang Perang di Abad 21
Rabu, 25 Juni 2025 10:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler