Penulis bebas untuk mengasah kemampuan dalam mendalami kalimat-kalimat dunia maya
Iran Memimpin dari Krisis: Poros Moskow–Teheran dalam Bayangan Perang Asimetris
Kamis, 26 Juni 2025 07:10 WIB
Kekuatan Iran kian hari menunjukkan kegigihan dalam strategi perang yang sesuai kondisi kawasan teluk di semenanjung arab
***
Kehadiran pesawat militer Rusia di wilayah Iran pasca-serangan terhadap pangkalan AS di Qatar, yang diikuti dengan lawatan diplomatik tingkat tinggi dari Menlu Iran ke Moskow, bukan sekadar rangkaian peristiwa biasa dalam diplomasi internasional. Ini adalah potret transformasi geopolitik mutakhir di mana Iran tengah mereposisi dirinya dari negara berstatus “pariah” menuju aktor strategis dalam arsitektur keamanan global multipolar. Dalam perspektif ini, Iran dan Rusia tidak sekadar membangun aliansi taktis, melainkan sedang mengartikulasikan ulang narasi kekuasaan yang melampaui batas-batas klasik geopolitik regional.
Iran menyadari bahwa dalam medan kontestasi kekuatan modern, yang berlaku bukan hanya kekuatan kinetik, tetapi juga kapasitas untuk membangun ketahanan diplomatik dan sinyal strategis. Serangan terhadap pangkalan AS di Qatar bukanlah tindakan sembrono, melainkan pesan simbolik bahwa Iran kini tidak hanya mengandalkan proxy war, tetapi telah naik kelas menjadi negara yang berani mengambil risiko konfrontatif langsung terhadap simbol supremasi Barat. Dalam langkah lanjutan, Iran segera mengirim Menlu-nya ke Moskow, bukan hanya untuk mencari dukungan, tetapi untuk membangun narasi baru: bahwa setiap serangan terhadap Iran akan dibalas bukan hanya dengan roket, tetapi juga dengan poros dukungan global yang solid, dari Moskow hingga Beijing.
Rusia, meskipun tampak enggan untuk terlibat langsung secara militer, memahami bahwa Iran adalah kartu as dalam mempertahankan ruang pengaruhnya di Timur Tengah, terutama setelah kehadiran mereka di Suriah pasca-Arab Spring menjadi pondasi politik Kremlin di kawasan itu. Maka tak heran jika keberadaan pesawat tempur Rusia dan penguatan kerja sama pertahanan yang disimbolkan lewat Sukhoi‑35 adalah bentuk dukungan konkret dalam dimensi deterrence strategis, meski belum pada tahap intervensi terbuka. Rusia tidak sedang “dingin” terhadap Iran, sebagaimana dikritik oleh Barat, tapi sedang bermain dengan kalkulasi yang sangat presisi: mendukung tanpa membakar diri, hadir tanpa membuat panggung terbakar. Ini bukan sikap pasif, melainkan bentuk tertinggi dari strategi saling ketergantungan koersif.
Keputusan Iran untuk mengancam penutupan Selat Hormuz, dan pernyataannya untuk menyerang setiap pangkalan AS jika diserang lagi, menandai bahwa Tehran tengah mendikte ulang aturan main kawasan. Dalam situasi di mana Barat—khususnya AS—tengah dililit beban ganda dalam pembiayaan perang Ukraina dan tekanan domestik, Iran melihat celah strategis untuk bergerak lebih agresif. Ia memainkan permainan yang menggabungkan tekanan militer terbatas, perang ekonomi energi, dan diplomasi strategis dengan kekuatan Eurasia. Tidak ada lagi Iran yang hanya bereaksi; kini mereka memimpin orkestrasi krisis.
Yang luput dari banyak pembacaan awam adalah bahwa kehadiran pesawat Rusia di Iran, dan sikap Kremlin yang mengutuk serangan AS, secara tidak langsung menjadi bentuk legitimasi internasional terhadap respons Iran. Ini memperkuat posisi negosiasi Iran bukan hanya terhadap AS, tetapi juga terhadap negara-negara Teluk yang selama ini berada dalam orbit kepentingan Washington. Dalam jangka menengah, kita bisa menyaksikan tatanan baru di mana posisi Iran tidak lagi bisa ditekan semata lewat sanksi atau isolasi, tetapi harus dinegosiasikan sebagai entitas strategis yang punya leverage dan daya pengaruh struktural.
Geopolitik pasca-2024 telah mengalami pergeseran mendasar. Dunia tidak lagi dikendalikan oleh satu pusat kekuasaan. Sementara Barat masih terpaku pada pendekatan unipolar, Iran, dengan segala keterbatasannya, telah memahami bahwa dalam dunia yang terfragmentasi, kekuatan bukan tentang dominasi tunggal, melainkan kemampuan membangun konektivitas strategis lintas blok. Dan di titik inilah, pesawat Rusia di wilayah Iran menjadi simbol baru: bahwa siapa pun yang ingin menyerang Iran, kini harus mempertimbangkan bahwa mereka tak lagi berhadapan dengan satu negara, tetapi dengan sebuah jaringan kekuatan yang menolak tunduk pada tatanan hegemonik lama.
Opini ini bukan sekadar observasi atas peristiwa taktis, tetapi pembacaan bahwa kita sedang menyaksikan transformasi geopolitik global yang tak terelakkan. Dalam dunia pasca-kebenaran, pasca-hegemonik, dan pasca-aturan lama, konflik Iran–Israel–AS bukan hanya perang tiga kutub, melainkan panggung di mana poros multipolar global sedang menguji keberanian, ketahanan, dan kecerdasan diplomasi masing-masing. Dan sejauh ini, Iran membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar negara perlawanan: mereka adalah pionir dari resistensi global baru.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Iran Memimpin dari Krisis: Poros Moskow–Teheran dalam Bayangan Perang Asimetris
Kamis, 26 Juni 2025 07:10 WIB
Penutupan Selat Hormuz, Cara Iran Mendefinsikan Ulang Perang di Abad 21
Rabu, 25 Juni 2025 10:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler