Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Mengapa Kami Harus Bicara Kedaulatan Aspal Buton Sekarang?
Jumat, 13 Juni 2025 19:50 WIB
Kami percaya: mimpi berdiri di atas aspal sendiri tidak pernah sia-sia, ia hanya sedang menunggu bangsa yang cukup berani untuk mewujudkannya.
Indonesia bukan bangsa yang kekurangan. Kita adalah negeri yang terlalu kaya, hingga kekayaan itu kerap tidak tahu harus dibawa ke mana. Tetapi justru di tengah limpahan sumber daya alam, kita masih menjadi bangsa pengimpor. Aspal Buton adalah salah satu saksi bisu dari tragedi nasionalisme yang tertunda. Ketika tanah sendiri mampu memberi, tetapi mengapa kita justru meminta-minta dari luar?
Aspal Buton bukan sekadar bahan pelapis jalan. Ia adalah simbol kedaulatan yang selama puluhan tahun dikubur hidup-hidup. Ketika negara memilih membeli dari luar negeri padahal punya sendiri, itu bukan sekadar salah kelola. Itu adalah pengingkaran terhadap prinsip berdikari, warisan luhur para pendiri republik ini. Dan pengingkaran ini bukan tanpa konsekuensi.
Karena terlalu lama pengingkaran ini terus dibiarkan, maka suara-suara dari timur mulai terdengar. Mengapa kami harus bicara sekarang? Karena terlalu lama kami diam. Terlalu lama masyarakat Buton menjadi penonton di tengah sorotan proyek infrastruktur yang menjanjikan kemajuan tetapi melupakan mereka yang menyediakan bahan bakunya. Negeri ini sedang memoles wajah dengan aspal asing, tetapi membiarkan wajah Buton keriput dan kering.
Setiap kilometer jalan tol yang dibangun dengan aspal impor adalah kuburan kecil bagi harapan swasembada aspal. Setiap tender yang dimenangkan oleh produk luar adalah isyarat bahwa nasionalisme kita rapuh dan bisa dibeli. Kedaulatan bukan hanya soal teritorial dan militer. Kedaulatan adalah hak untuk membangun negeri sendiri dengan sumber daya sendiri. Dan itu yang sedang kita abaikan.
Buton bukan tanah asing. Ia adalah bagian dari tubuh Indonesia. Namun rasanya Buton tidak pernah sungguh diakui dalam agenda besar pembangunan nasional. Aspalnya diambil seperlunya, potensinya dijadikan data presentasi, lalu ditinggalkan tanpa nilai tambah. Kami lelah disebut kaya jika tetap diperlakukan miskin. Maka suara kami bukan sekadar protes, tetapi peringatan bahwa ada luka yang terus dibuka.
Kami harus bicara sekarang karena para generasi muda sudah mulai melupakan bahwa negeri ini punya aspal sendiri. Kurikulum pendidikan lebih mengenalkan nama-nama pabrikan luar negeri ketimbang potensi tambang lokal. Ini bukan sekadar pengabaian. Ini adalah upaya sistemik melumpuhkan daya juang bangsa dari dalam, bahwa kita tidak cukup percaya diri berdiri di atas apa yang kita miliki.
Ketidakpercayaan itulah yang menjadi akar dari ketergantungan. Aspal Buton bukan sekadar isu daerah. Ia adalah batu ujian nasionalisme di era modern. Di tengah wacana hilirisasi, industrialisasi, dan ketahanan energi, mengapa satu komoditas penting seperti aspal tidak pernah masuk radar utama? Apakah karena Buton tidak punya daya tawar politik yang cukup? Atau karena mafia impor aspal terlalu kuat dilawan?
Dan karena itu pula kami harus bicara sekarang, karena kami ingin para generasi mendatang tahu bahwa pernah ada perlawanan dari timur. Bahwa kami tidak diam ketika negeri ini lebih memilih membeli dari luar ketimbang memberdayakan dalam. Bahwa cinta tanah air bukan hanya slogan, tetapi keberanian untuk bersuara dan melawan kelumpuhan nurani.
Presiden boleh berganti. Menteri bisa datang dan pergi. Tetapi tanah kami tetap berdiri. Aspal kami tetap menunggu untuk diakui. Dan jika suara kami terus diabaikan, maka Buton akan menjadi saksi dari kegagalan sejarah bangsa dalam mencintai dirinya sendiri. Sejarah kelak akan mencatat bukan hanya siapa yang membangun, tetapi juga siapa yang terus diam ketika keadilan dibungkam.
Indonesia bangga dengan capaian jalan tol yang mencapai ribuan kilometer. Tetapi siapa yang tahu bahwa sebagian besar jalan itu dibangun dengan aspal dari Timur tengah, Venezuela, Korea, atau Singapura? Bukankah itu ironi ketika Buton memiliki cadangan terbesar se-Asia, bahkan di dunia? Bukankah itu tamparan terhadap harga diri bangsa?
Kami tidak anti-impor. Kami paham dunia global saling terhubung. Tetapi kami ingin bertanya: mengapa pemerintah tidak pernah benar-benar berkomitmen penuh menjadikan aspal Buton sebagai prioritas utama nasional? Mengapa investasi dan teknologi tidak diarahkan untuk memajukan pengolahan aspal di negeri sendiri? Di mana keberpihakan negara?
Jika nasionalisme adalah soal keberpihakan, maka di mana keberpihakan negara pada aspal Buton? Apakah nasionalisme hanya berlaku saat kampanye? Apakah kedaulatan hanya jadi bendera dalam pidato kemerdekaan, tetapi tidak hidup dalam kebijakan nyata? Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di langit Buton, menunggu dijawab bukan dengan janji, tetapi dengan keberanian.
Kami harus bicara sekarang karena bangsa ini sedang dihadapkan pada pilihan besar: melanjutkan ketergantungan atau mulai berani berdiri di atas kaki sendiri. Dan keputusan itu tidak bisa ditunda. Setiap tahun yang kita lewatkan adalah tahun yang kita sia-siakan untuk membangun industri aspal dalam negeri. Dan semakin lama kita menunda, semakin dalam kita tertanam dalam jerat ketergantungan.
Kami bicara bukan karena benci pemerintah. Kami bicara justru karena kami mencintai republik ini terlalu dalam untuk membiarkannya tersesat lebih jauh. Cinta tanah air bukan diam dalam sunyi, tetapi wajib berteriak saat ketidakadilan dibiarkan terjadi. Kami ingin menyelamatkan bangsa ini dari kebiasaan buruk: menyakiti dirinya sendiri dengan berpaling dari kekayaan sendiri.
Aspal Buton adalah peluang emas. Ia bisa menciptakan banyak lapangan kerja baru, membangun industri aspal turunan, dan memperkuat posisi Indonesia di sektor infrastruktur. Tetapi tanpa kehendak politik yang kuat, aspal itu akan terus menghitam dan mengeras di perut bumi, menunggu pemimpin sejati yang berani memimpinnya. Apakah Presiden Prabowo Subianto berani mencatatkan sejarah baru atau hanya sekadar mengulang kegagalan lama?
Kami bukan pemimpi kosong. Kami adalah warga negara yang percaya dan yakin, bahwa kedaulatan tidak datang dari langit, tetapi dari keberanian untuk memilih yang benar meskipun tidak populer. Dan kami memilih untuk menyuarakan yang benar: Indonesia harus berdiri di atas aspal Buton. Sekarang. Bukan besok.
Inilah sebab kami harus bicara sekarang: karena tidak ada bangsa besar yang membangun kejayaan dengan mengabaikan kekayaannya sendiri. Karena kami ingin, sebelum usia habis, melihat semua jalan-jalan negeri ini dilapisi aspal dari tanah ibu pertiwi. Karena kami percaya: mimpi berdiri di atas aspal sendiri tidak pernah sia-sia, ia hanya sedang menunggu bangsa yang cukup berani untuk mewujudkannya.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut

Sehat, Hadiah Terindah di Sisa Usia
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler