Penulis lepas, seringnya berpuisi tapi juga suka bercerita. Memiliki koleksi delapan buku ber-ISBN, salah-satunya mendapatkan penghargaan dari Kemendikbudristekdikti. Sekarang masih menulis dan akan selalu begitu.

Pria Tidak Boleh Menangis, Tidak Bercerita dan Tidak Boleh Kecewa

Minggu, 15 Juni 2025 21:52 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
9 Langkah Meringankan Tantangan Seksual Pria di Usia Pertengahan
Iklan

Sebuah tulisan yang saya buat ini memperlihatkan sisi kerapuhan dari seorang pria yang harus dan wajib kuat dalam mempertahankan perasaannya.

***

Saya melihat seorang pria duduk di bangku taman, sendirian, memandangi ponsel kosong, katanya ia telah dua tahun menjalin hubungan, dan kini ia dibilang "tidak cukup untuk menjadi pasangan." Padahal selama dua tahun itu, ia membayar kesedihan, menjemput pulang-pergi, menahan tangis, dan tetap bekerja meski hatinya tercabik. Tapi itu tak pernah cukup.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Karena lelaki, katanya, harus kuat.

 

Masyarakat suka berpura-pura adil, namun memperlakukan laki-laki dalam percintaan seperti mesin: ia harus selalu tenang, selalu logis, tidak boleh cemburu, tidak boleh genit, tidak boleh kecewa, tidak boleh terlalu sayang-tapi juga tidak boleh terlalu dingin. Harus mapan sebelum mencintai, tapi jangan terlalu sibuk kerja dan menyelesaikan masalah sendiri sampai dibilang tak punya waktu.

 

Jika ia terlalu perhatian, ia disebut posesif. Jika ia cuek, ia dituduh tak peduli. Jika ia patah hati dan menangis, ia lemah. Jika ia menahan diri dan menghilang, ia tidak bertanggung jawab. Jika ia kecewa, itu karena ia tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan perempuannya.

 

Dalam cinta, lelaki diberi kuasa, tapi tidak diberi ruang.

 

Perempuan boleh menceritakan luka dengan airmata, mendapat pelukan, simpati, ruang aman-bahkan menceritakannya kepada teman laki-lakinya. Namun laki-laki? Diberi kalimat: “jalanin aja dulu hidupmu” Bahkan tangisnya pun dianggap lelucon. Kesedihannya menjadi bahan gibah pasangannya. Lukanya menjadi mitos. Dunia tidak mengerti bagaimana caranya mencintai lelaki yang rapuh—karena mereka tak pernah diizinkan untuk rapuh.

 

Standar sosial ini bukan hanya menyakiti pria, tapi juga merusak hubungan. Ia menciptakan pria yang pura-pura kuat, pura-pura tidak terluka, pura-pura mampu menanggung segalanya sendiri. Ia membuat pria menjadi makhluk yang dicintai karena peran, bukan karena jiwanya.

 

Dan saat cintanya gagal, pria harus menanggung dua luka: kehilangan orang yang dicintainya, dan kehilangan hak untuk menunjukkan bahwa ia hancur.

 

Kita hidup di zaman yang katanya modern, tapi masih memaksa lelaki menjadi dinding dalam badai, padahal ia juga ingin sesekali menjadi jendela yang terbuka, tempat angin masuk dan kesedihan pergi.

 

Cinta seharusnya tidak mengandalkan stereotip. Ia butuh keberanian untuk berkata bahwa laki-laki pun punya hak untuk tidak tahu, untuk takut, untuk lelah, dan untuk dicintai meski sedang tidak gagah.

 

Sampai itu terjadi, kita tidak benar-benar mencintai mereka. Kita hanya mencintai imajinasi kita tentang mereka.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rama Kurnia Santosa

Rama Kurnia Santosa

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler