Student Hidjo: Konflik Batin Hidjo yang Terjebak Antara Budaya Timur dan Barat

Selasa, 17 Juni 2025 16:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kegelisahan Setelah Membaca Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo
Iklan

Ketika budaya timur bertemu dengan budaya barat yang menyebabkan konflik batin pada tokoh Hidjo dalam novel "Student Hidjo"

***

Pernahkah Anda merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda? Itulah yang dialami oleh Hidjo, tokoh utama dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo yang terbit pada 1919. Novel ini bukan sekadar cerita tentang seorang mahasiswa Indonesia di Belanda, tetapi sebuah potret mendalam tentang pergulatan jiwa manusia yang terjebak antara tradisi dan modernitas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

A. Mengenal Mas Marco Kartodikromo

Mas Marco Kartodikromo adalah sosok yang menarik dalam sejarah sastra Indonesia. Lahir di Cepu pada 1890, ia adalah penulis yang tidak takut bersuara kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Karya-karyanya bahkan tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka, lembaga penerbit resmi kolonial, karena dianggap terlalu berani dan provokatif. Sayangnya, keberaniannya ini berujung pada pengasingan ke Boven Digoel, Papua, tempat ia meninggal dunia pada 1932.

 

B. Benturan Dua Dunia

Novel "Student Hidjo" mengisahkan seorang pemuda Jawa yang belajar di Belanda. Sudah dua bulan Hidjo tinggal di sana, namun ia belum merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Berbeda dengan pemuda kebanyakan yang gemar menikmati hiburan dan bersenang-senang dengan perempuan, Hidjo justru lebih memilih menyendiri dengan buku-bukunya.

Namun, situasi mulai berubah ketika Hidjo mulai bergaul dengan gadis-gadis Eropa, terutama Betje. Di sinilah konflik batin mulai muncul. Hidjo terjebak di antara keinginan untuk menyesuaikan diri dengan budaya Barat dan tekad untuk mempertahankan nilai-nilai Timur yang telah ditanamkan keluarganya.

 

C. Membedah Jiwa Hidjo dengan Teori Freud

Yang menarik dari analisis novel ini adalah penggunaan teori psikoanalisis Sigmund Freud untuk membedah kepribadian Hidjo. Freud membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga bagian: Id, Ego, dan Super Ego.

 

1. Id: Dorongan Naluriah

Id adalah bagian paling primitif dari kepribadian yang mencari kepuasan tanpa batasan. Dalam diri Hidjo, Id terwujud ketika ia mulai tergoda oleh kehidupan bebas ala Barat. Ia mulai berani berdekatan dengan Betje, bahkan sampai pada hubungan yang lebih intim. 

"Gadis-gadis yang saban hari bergaul dengan Hidjo, semakin bertambah berani menggodanya. Begitu juga Hidjo, bertambah hilang kesopanannya,"

Tulis Kartodikromo dalam novelnya.

 

2. Ego: Penyeimbang Realitas

Ego berperan sebagai penengah antara keinginan dan kenyataan. Hidjo sering kali merasa terpaksa mengikuti gaya hidup Eropa bukan karena benar-benar menginginkannya, tetapi karena tuntutan sosial. Ia berusaha menunjukkan kesopanan dan penyesuaian diri, meski dalam hati merasa tidak nyaman.

 

3. Super Ego: Suara Hati Nurani

Super Ego adalah representasi nilai moral yang tertanam dalam diri Hidjo. Di sinilah letak konflik terbesar. Ia selalu teringat pesan ibunya dan adat istiadat Jawa yang mengajarkan kesopanan dan kehormatan. Setiap kali tergoda untuk berperilaku "kebarat-baratan," Super Ego-nya selalu mengingatkan akan konsekuensi dan tanggung jawabnya.

"Tetapi ia harus ingat juga bahwa kedatangannya ke Negeri Belanda itu tidak disuruh untuk main-main. Lebih-lebih kalau Hidjo teringat pesan ibunya,"

Demikian kutipan yang menggambarkan pergulatan batinnya.

 

D. Akhir yang Mengharukan

Klimaks konflik terjadi ketika Hidjo menyadari bahayanya situasi yang ia hadapi. Ia khawatir perbuatannya akan menyusahkan orang tuanya dan mengkhianati bangsanya. Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan untuk pulang ke Tanah Jawa.

"Saya harus pulang kembali ke Tanah Jawa! Sebab kalau saya terus belajar di Negeri Belanda ini, barangkali tidak mustahil kalau saya akan terus menjadi orang Belanda," kata Hidjo dalam monolog batinnya.

 

E. Relevansi di Masa Kini

Meski ditulis lebih dari seabad yang lalu, pergulatan Hidjo masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Di era globalisasi, banyak orang Indonesia yang mengalami dilema serupa: bagaimana menyerap nilai-nilai modern tanpa kehilangan identitas budaya?

Novel ini mengajarkan pentingnya keseimbangan. Kita boleh saja belajar dan mengadopsi hal-hal baik dari budaya lain, tetapi tidak boleh sampai kehilangan jati diri. Hidjo akhirnya memilih pulang bukan karena anti-modernitas, tetapi karena ia sadar akan tanggung jawabnya terhadap keluarga dan bangsa.

 

F. Pesan Moral

"Student Hidjo" bukan sekadar novel sejarah, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang identitas, loyalitas, dan integritas. Mas Marco Kartodikromo berhasil menggambarkan kompleksitas jiwa manusia yang terjebak di antara dua dunia dengan sangat apik.

Pesan utama yang dapat kita petik adalah pentingnya memiliki pegangan moral yang kuat dalam menghadapi berbagai godaan hidup. Seperti Hidjo yang akhirnya memilih jalan yang ia yakini benar, kita pun perlu memiliki prinsip hidup yang tidak mudah tergoyahkan oleh pengaruh luar.

Novel ini mengingatkan kita bahwa kemajuan dan modernitas itu baik, tetapi tidak boleh mengorbankan nilai-nilai luhur yang telah membentuk kepribadian kita. Sebagaimana Hidjo yang memilih pulang dengan membawa pengalaman berharga tanpa kehilangan identitasnya sebagai orang Jawa.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Annisa Insani

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler