Mengapa Gaji Wartawan Relatif Kecil Dibandingkan Profesi Lain?

Kamis, 3 Juli 2025 17:51 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Wartawan
Iklan

Gaji wartawan sering kecil karena industri media menekan biaya di tengah persaingan digital dan penurunan iklan.

Wartawan memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi, mengawasi kekuasaan, dan menjaga demokrasi. Namun, meski tanggung jawabnya besar, gaji wartawan seringkali jauh lebih rendah dibandingkan profesi lain seperti dokter, pengacara, insinyur, atau bahkan pekerja di sektor digital. Lantas, mengapa gaji wartawan cenderung kecil? 

1. Krisis Industri Media: Pendapatan Menurun Drastis

Industri media, terutama media cetak, mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa faktor penyebabnya antara lain:

  • Penurunan iklan cetak: Data Nielsen Indonesia (2023) menunjukkan bahwa pendapatan iklan koran turun 30% dalam 5 tahun terakhir. Banyak perusahaan beralih ke iklan digital yang lebih murah.

  • Revenue media online tidak stabil: Meski media digital tumbuh, pendapatan dari iklan (Google Adsense, Meta, dll.) sangat kecil. CPM (Cost Per Mille) iklan online hanya Rp5.000–20.000, jauh lebih rendah dibanding iklan cetak.

  • PHK massal di industri media: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 1.200 jurnalis di-PHK sepanjang 2020–2023 karena perusahaan media melakukan efisiensi.

Akibatnya, banyak perusahaan media kesulitan membayar gaji kompetitif, sehingga wartawan seringkali digaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

2. Dominasi Sistem Freelance & Kontrak (Upah Tidak Tetap)

Banyak wartawan tidak memiliki status karyawan tetap, melainkan bekerja sebagai freelancer atau kontrak. Survei AJI 2023 menemukan bahwa:

  • 60% wartawan di Indonesia bekerja sebagai freelancer atau kontrak.

  • Bayaran per artikel hanya Rp 100.000–500.000, padahal pengerjaan bisa memakan waktu berhari-hari.

  • Hanya 30% wartawan yang mendapat BPJS Ketenagakerjaan dari perusahaan.

Kondisi ini membuat penghasilan wartawan tidak stabil dan seringkali jauh di bawah profesi lain yang memiliki kontrak tetap.

3. Oversupply Tenaga Kerja: Banyak Peminat, Sedikit Lowongan

Jurnalisme adalah profesi yang diminati banyak orang, tetapi lapangan kerjanya terbatas. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan:

  • Lebih dari 5.000 lulusan jurnalistik tiap tahun.

  • Lowongan di media besar hanya sekitar 100–200 per tahun.

Akibatnya, persaingan sangat ketat, dan perusahaan bisa menawarkan gaji rendah karena banyak yang bersedia bekerja demi pengalaman atau nama besar media.

4. Ketergantungan pada Platform Digital: Revenue Tidak Langsung untuk Jurnalis

Media modern mengandalkan trafik (pageviews) daripada kualitas konten. Hal ini menyebabkan:

  • Konten clickbait lebih diutamakan daripada jurnalisme investigasi yang membutuhkan waktu dan biaya besar.

  • Pendapatan dari iklan digital (Google Adsense, Meta, dll.) hanya sekitar 10–20% yang dibagikan ke penulis. Sebagian besar masuk ke perusahaan.

Akibatnya, wartawan yang menghasilkan konten berkualitas seringkali tidak mendapat kompensasi yang sepadan.

5. Mindset "Passion Over Profit" yang Dimanfaatkan Perusahaan

Banyak wartawan dianggap bekerja karena "panggilan hati", sehingga perusahaan memanfaatkan ini untuk menekan gaji. Survei AJI menemukan bahwa:

  • 70% wartawan merasa digaji rendah karena dianggap "bukan sekadar pekerjaan, tapi pengabdian".

  • Tuntutan kerja tinggi: Wartawan sering dipaksa kerja lembur tanpa bayaran tambahan, termasuk standby 24/7 untuk liputan darurat.

6. Kurangnya Perlindungan Hukum & Serikat Pekerja yang Kuat

Berbeda dengan profesi lain seperti dokter atau pengacara yang memiliki organisasi kuat (seperti IDI atau PERADI), banyak wartawan tidak tergabung dalam serikat pekerja yang mampu memperjuangkan kenaikan upah.

Solusi: Bagaimana Meningkatkan Kesejahteraan Wartawan?

Agar profesi wartawan lebih sustainable, beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

  1. Regulasi Upah Minimum Khusus Wartawan

    • Contoh: Australia menerapkan upah minimum wartawan AUD 55.000/tahun (Rp550 juta/tahun) melalui Fair Work Commission.

    • Indonesia bisa membuat SK khusus upah minimum jurnalis seperti di sektor perbankan.

  2. Mendorong Model Membership/Subscription

    • Media seperti Kumparan Premium, The New York Times, atau Tempo.co sudah menerapkan sistem berbayar untuk konten berkualitas.

    • Pendapatan dari langganan bisa dialokasikan untuk kesejahteraan wartawan.

  3. Perusahaan Media Harus Lebih Transparan soal Pendapatan

    • Jika pendapatan iklan meningkat, seharusnya ada pembagian keuntungan yang adil untuk jurnalis.

  4. Memperkuat Serikat Pekerja Media

    • Organisasi seperti AJI dan IJTI harus lebih vokal memperjuangkan kenaikan gaji dan hak-hak wartawan.

Kesimpulan

Gaji wartawan kecil bukan karena profesinya tidak penting, melainkan karena krisis industri media, sistem freelance, oversupply tenaga kerja, dan eksploitasi atas nama "passion". Jika ingin jurnalisme berkualitas tetap hidup, kesejahteraan wartawan harus jadi prioritas.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana

80 Pengikut

img-content

Strategi Pertumbuhan Konglomerat

Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
img-content

Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking

Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler